Konten dari Pengguna

Bunga sebagai Simbol Pencarian Makna Hidup dalam Karya Kuntowijoyo

Milatunnajiah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
22 Juni 2024 12:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Milatunnajiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar bunga. Sumber: Foto milik sendiri
zoom-in-whitePerbesar
Gambar bunga. Sumber: Foto milik sendiri
ADVERTISEMENT
“Kalau nafsu mengalahkan budi, orang tidak mendapatkan ketenangan jiwa. Perbuatannya menjadi kasar, karena dorongan nafsu. Perbuatan itu menimbulkan kesengsaraan. Dunia rusak oleh nafsu.”
ADVERTISEMENT
Karya sastra seringkali merefleksikan kondisi sosial budaya masyarakat dengan segala dinamika dan permasalahannya. Dalam cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga", Kuntowijoyo mengeksplorasi pergulatan batin seorang anak laki-laki dalam mencari makna dan jati dirinya di tengah tuntutan konsep maskulinitas yang dianut ayahnya. Melalui simbol bunga sebagai representasi keindahan dan ketenangan jiwa, pengarang menghadirkan konflik antar-generasi yang melatari dinamika pencarian identitas tokoh utama. Oleh karena itu, saya akan mengulik cerpen ini dari sisi tema sampai relevansi cerpen dengan kehidupan zaman sekarang.
Cerpen ini mengeksplorasi beberapa tema penting secara mendalam, yakni pencarian makna hidup, konsep maskulinitas, serta ketenangan batin. Pergulatan tokoh anak dalam mencari makna kehidupan terungkap dari pertanyaannya "Apa kerja Kakek yang sebenarnya?" yang disambut Kakek dengan jawaban "Pekerjaanku, cucu? Mencari hidup sempurna." Perbedaan sudut pandang atas makna hidup kemudian dipertegas dengan pemikiran Ayah yang menganggap makna hidup ditemukan dalam kerja keras "Ya, aku mencari itu, buyung...Dalam kerja!".
ADVERTISEMENT
Konsep maskulinitas kaku yang dianut Ayah tergambarkan dari tegurannya berkali-kali "Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti bekerja." Ayah menganggap seorang laki-laki sejati harus bekerja keras, tidak peduli pada hal-hal lain seperti kecintaan anak pada bunga yang dianggapnya tidak maskulin "Untuk apa bunga-bunga ini, buyung?". Berbeda dengan Ayah, Kakek justru mengajarkan bahwa makna hidup sesungguhnya ditemukan dalam meraih ketenangan jiwa dan keteguhan batin "Tidak ada yang lebih baik daripada ketenangan jiwa dan keteguhan batin." Dualisme pemikiran ini mencerminkan konflik antar-generasi yang dialami tokoh anak.
Dalam cerpen ini, bunga menjadi simbol sentral yang begitu kuat merepresentasikan keindahan, kesegaran, serta ketenangan jiwa yang dicari tokoh anak. Melalui bunga, Kuntowijoyo menyampaikan pesan tentang makna kehidupan sejati yang seharusnya dipenuhi keindahan alami dan kedamaian batin. Seperti dinyatakan Kakek, "Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar, memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Ia lahir untuk membuat dunia indah."
ADVERTISEMENT
Penggambaran bunga sebagai simbol keindahan sejati, kesegaran dan keremajaan hidup ini menjadi kontras dengan kehidupan hiruk-pikuk penuh kerja keras yang dipaksakan Ayah pada si anak. Bunga merepresentasikan keteduhan yang dicari anak di tengah tuntutan keras dari lingkungannya untuk menjadi "laki-laki sejati". Melalui simbolisme bunga, sang pengarang mengajak pembaca merenungi sisi lain makna hidup yang lebih lembut dan mendamaikan jiwa.
Tokoh anak sebagai karakter utama digambarkan polos namun sekaligus diliputi kegelisahan filosofis dalam mencari makna hidup sejati. Kecintaannya pada bunga serta kedekatan dengan Kakek merefleksikan riak keterbukaannya untuk menemukan kebenaran sejati di luar pakem yang dipaksakan Ayahnya. Ayah dihadirkan sebagai tokoh dengan kepribadian otoriter yang menganut paham maskulinitas kaku "Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti bekerja." Hingga ia tidak segan menyingkirkan bunga-bunga kesayangan sang anak dengan kasar "Untuk apa bunga-bunga ini, buyung?"
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Kakek merupakan mentor bijaksana yang dengan penuh kelembutan menuntun sang anak menemukan makna ketenangan dan keindahan hidup melalui bunga-bunga "Engkau jadi orang gede, cucu!". Keramahan, kesabaran dan kasih sayangnya pada sang anak seolah mewakili potret keindahan hidup itu sendiri yang ingin ia ajarkan. Terdapat kontras nilai yang disampaikan oleh Ayah dan Kakek yang masing-masing mewakili kehidupan keras penuh hiruk-pikuk dan sisi lain yang teduh dan mendamaikan jiwa.
Dalam menyampaikan pesan dalam karyanya, Kuntowijoyo menggunakan gaya bahasa yang begitu kaya filosofis dan simbolis. Deskripsi seperti "Ia mekar, memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan" menggambarkan bunga sebagai simbol keindahan dan energi baru hidup dengan begitu memikat. Kata-kata bernada puitis seperti "Tataplah sekuntum bunga dan dunia akan terkembang dalam keindahan di depan hidungmu" mempertontonkan kelembutan sudut pandang pengarang dalam memaknai kehidupan.
ADVERTISEMENT
Bahasa yang digunakan sangat mendalam dan penuh pesan sufistik, seperti pernyataan Kakek "Kalau nafsu mengalahkan budi, orang tidak mendapatkan ketenangan jiwa. Perbuatannya menjadi kasar, karena dorongan nafsu. Perbuatan itu menimbulkan kesengsaraan." Pilihan diksi dan gaya bahasa yang mendalam seperti ini membantu pengarang dalam menyampaikan pesan moral dan makna kehidupan yang ingin disampaikannya dengan kuat.
Secara keseluruhan, cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" ini mengajak pembaca untuk merenungi pergulatan menemukan makna dan ketenangan hidup di tengah tuntutan serta konsep-konsep kaku yang mengungkung dari lingkungan sosial. Melalui simbol bunga yang begitu kuat merepresentasikan keindahan, kesegaran dan keremajaan hidup, Kuntowijoyo mengajak pembaca untuk menginterpretasikan makna kehidupan sejati dari sudut pandang yang berbeda, tidak terjebak pada konsep-konsep seperti maskulinitas yang justru memasung manusia dari menemukan esensi hidup yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu mendalam dan kritis mengeksplorasi dilema pencarian makna hidup dari perspektif seorang anak yang terjebak kontradiksi pemikiran ayah dan Kakek, pengarang bermaksud mengajak pembaca untuk merefleksikan nilai hidup sejati yang seharusnya dikejar tanpa terbatasi pakem-pakem usang yang membatasi. Pesan moral utamanya adalah mengajak manusia untuk menemukan makna hidup sejati dengan cara mendapatkan ketenangan batin dan keteguhan jiwa, bukan hanya terjebak pada rutinitas hiruk-pikuk kehidupan.
Salah satu kelebihan utama cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" adalah penggunaan simbol bunga yang begitu kuat melambangkan keindahan, kesegaran dan makna sejati kehidupan untuk mengonter paham maskulinitas yang mengungkung. Bahasa indah dan mendalam yang digunakan Kuntowijoyo juga berhasil mempertegas pesan filosofis yang ingin disampaikan. Kekurangan dalam pengembangan aspek alur dan perwatakan tokoh ini tidak terlalu mengurangi kekuatan pesan cerpen yang disampaikan melalui simbol bunga. Namun jika digarap lebih dalam dan mendalam, tentu saja cerpen ini bisa menjadi karya yang lebih utuh dan sempurna secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penggunaan sudut pandang orang ketiga terbatas juga bisa menjadi kelemahan tersendiri. Dengan memilih sudut pandang itu, pengarang kehilangan akses menggali lebih dalam dimensi internal psikologis dan pergulatan batin tokoh utama anak laki-laki tersebut. Padahal pergulatan batin inilah sesungguhnya inti konflik yang diangkat cerpen ini. Sudut pandang orang pertama atau ketiga akrab (third-person limited omniscient) mungkin bisa menjadi alternatif yang lebih baik untuk eksplorasi aspek ini.
Isu pencarian jati diri, makna hidup sejati, serta tuntutan serta batasan konsep maskulinitas yang diangkat cerpen ini masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Konsep maskulinitas yang kaku dan mengungkung ekspresi diri masih banyak dianut di berbagai belahan dunia saat ini. Tidak jarang hal tersebut justru membelenggu pria untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam dan mendamaikan jiwa.
ADVERTISEMENT
Melalui simbol bunga, Kuntowijoyo mengajak kita untuk merefleksikan kembali konsep-konsep usang yang terlanjur mengakar di masyarakat. Ia mengkritik paham maskulinitas picik yang menganggap laki-laki sejati hanya berkutat pada aspek kerja keras, kesibukan hiruk-pikuk dunia, tanpa memberi ruang untuk merenungi hakikat hidup yang sesungguhnya. Cerpen ini mengajak untuk keluar dari sangkar konsep-konsep kaku tersebut, membuka mata pada keindahan sejati kehidupan yang terlepas dari rutinitas duniawi. Bunga, alam, serta pencarian spiritualitas menjadi alternatif jalan untuk menemukan kedamaian batin dan makna hidup yang sesungguhnya.
Pesan untuk merenungi kembali nilai-nilai hidup yang selama ini kita anut masih begitu relevan di era modern seperti sekarang. Konsumerisme, karir, kesibukan duniawi, masih kerap menghalangi manusia untuk benar-benar hidup dengan makna yang sejati. Maka dari itu, ajakan untuk mencari keindahan, kesegaran, dan pencerahan jiwa layaknya bunga yang mekar masih amat penting untuk digali dan direnungi bersama. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, cerpen Kuntowijoyo ini bisa menjadi pintu pembuka kesadaran baru bagi manusia modern untuk mulai mempertanyakan kembali makna hidup sejati yang selama ini mungkin terlalu sering diabaikan. Sebuah karya yang layak diapresiasi dan direfleksikan maknanya untuk kehidupan yang lebih bermakna.
Sumber foto: milik diri sendiri