Konten dari Pengguna

Gagasan Persatuan Suku Dayak (1905-1960)

Mentari Laila Arvi
Mahasiswa ILMU SEJARAH UNNES
17 November 2022 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mentari Laila Arvi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Alvian Hasby/shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Alvian Hasby/shutterstock.com
Sumber: Ainun Jamila/shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Ainun Jamila/shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gagasan tentang perdamaian dan persatuan sub-sub etnis Dayak di Kalimantan, pada awalnya dilatarbelakangi oleh adanya adat mengayau, saling membunuh, dan saling memotong kepala. Pengayauan dan peperangan antarsuku terjadi pada hakikatnya untuk memperkuat eksistensi bagi si pengayau, agar diakui oleh kelompoknya maupun oleh musuhnya. Dalam perkembangannya, kondisi ini menyadarkan masyarakat Dayak sendiri untuk segera mengakhiri tradisi yang tidak menguntungkan bagi siapa pun, sebab pengayauan dan perang antar etnis akan terus menerus terjadi, balas-membalas, dan akhirnya akan merugikan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan para kepala suku atau etnis yang terlibat sengketa diundang ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Pertemuan tersebut menghasilkan suatu ide untuk mempertemukan lagi seluruh kepala suku dalam pertemuan besar yang melibatkan seluruh sub etnis Dayak se-Borneo, agar dapat menyelesaikan semua akar permasalahan.
Perjanjian besar itu adalah perjanjian Tumbang Anoi, sesuai dengan nama tempat dilaksanakan perjanjian tersebut. Seseorang yang sangat berjasa dalam mewujudkan perjanjian Tumbang Anoi adalah Damang Batu, salah seorang kepala sub etnis Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi. Meskipun usianya pada waktu itu sudah mencapai 79 tahun, semangatnya untuk mewujudkan pertemuan itu layak dikagumi. Dengan melakukan perjalanan ke daerah-daerah guna mengumpulkan bahan logistik, Damang Batu juga mengundang sendiri para kepala suku Dayak yang berjumlah 152 suku. Pertemuan yang juga dihadiri oleh Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin, dan dilaksanakan dari tanggal 22 Mei hingga 24 Juni 1894 tersebut menghasilkan keputusan keputusan penting yang akan mengubah kehidupan etnis Dayak pada masa yang akan datang. Keputusan-keputusan penting itu adalah dihapuskannya asang kayau, diberlakukannya hukum adat, dan dihapuskannya adat perbudakan yaitu jipen/ulun.
ADVERTISEMENT
Peristiwa Tumbang Anoi ini menjadi titik kebangkitan etnis Dayak untuk menjaga persatuan di antara sub etnis Dayak yang berjumlah 405 sub-sub etnis kecil. Gagasan persatuan inilah yang muncul untuk mengangkat derajat dan martabat etnis Dayak sendiri, tanpa membedakan etnis, agama, maupun golongan. Hausman Baboe adalah salah satu tokoh pergerakan Dayak yang mempunyai pemikiran yang sangat cemerlang. Pemikiran Hausman bahwa semua orang Dayak harus memperoleh pendidikan yang layak tanpa membeda-bedakan golongan, suku, dan agama agar sejajar dengan bangsa dan suku-suku lain benar-benar berpengaruh terhadap perubahan rakyat Dayak.
Hausman Baboe membuka keran kebebasan pemuda Dayak untuk memperoleh pendidikan ke luar daerah, yang selama ini ditutup oleh Zending dan Pemerintah Kolonial. Pemikiran Hausman Baboe tentang pers yang penting bagi peningkatan kualitas intelektual Dayak dan kemandirian, mendorongnya untuk mendirikan surat kabar Soeara Borneo, dan kantor berita Borpena. Pemikiran Hausman tentang menyatukan kekuatan dan tujuan dan kepentingan terwujud dalam organisasi Pakat Dayak. Apa pun dilakukan Hausman dalam membela kepentingan rakyat Dayak, hingga harus menerima pemecatan dengan tidak hormat sebagai pegawai Belanda dan pengasingan dari kaum Gereja, dan yang terakhir mengalami pembunuhan yang keji oleh Jepang. Pembunuhan tanpa perikemanusiaan oleh Jepang tidak hanya menimpa Hausman tetapi juga ketiga putranya tanpa diketahui jasad mereka dibuang ke mana. Ketiga putra Hausman yang dibantai juga oleh Jepang adalah Ginther Baboe, Leonard Baboe, dan Wolter Baboe.
ADVERTISEMENT
Estafet kepemimpinan rakyat Dayak diteruskan oleh seorang George Obus, yang pada waktu itu perjuangannya dilakukan sejak masa pergerakan hingga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada masa pergerakan George Obus menjalani pendidikan di sekolah pelayaran di Surabaya. Ketertarikannya pada pelayaran kemungkinan disebabkan oleh kedekatannya dengan lingkungan alam sebagai orang Dayak. Pemikiran George Obus tentang persatuan dan kebebasan bagi rakyat Dayak diwujudkan dalam aktivitasnya di berbagai organisasi pemuda di Surabaya. Bersama dengan teman-temannya, George Obus mendirikan Persatuan Pemuda Borneo yang kemudian menjadi Jong Borneo. George Obus terpilih sebagai wakil dari Jong Borneo dalam Kongres Pemuda Indonesia II pada tanggal 27-28 Oktober 1928, dan menjadi bagian dari semangat pemuda Indonesia dalam menyuarakan persatuan dalam tanah air, bangsa, bahasa Indonesia. Keikutsertaannya dalam organisasi Partai Persatuan Bangsa Indonesia yang dipimpin oleh Soetomo menunjukkan pemikirannya tentang pentingnya persatuan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari NKRI. Semangatnya tentang persatuan bagi rakyat Dayak terlihat juga pada saat George Obus ikut membidani lahirnya Provinsi Kalimantan Tengah.
ADVERTISEMENT
Kiprah George Obus ternyata diikuti oleh tokoh lain yang tidak kalah menariknya dengan Hausman dan George Obus, yaitu Tjilik Riwut. Meskipun ketiga tokoh ini lahir dari masa yang tidak terlalu jauh kurun waktunya, ketiganya mengalami perubahan situasi dan kondisi yang berbeda. Hausman berjuang di dalam wilayah Dayak, sementara George Obus berkiprah di Jawa, begitu juga dengan Tjilik Riwut yang lebih banyak melakukan perjuangannya di Banjarmasin dan Jawa.
Tjilik memiliki pemikiran bahwa kepentingan lokal dapat diintegrasikan dalam wacana nasional. Gerry mengungkapkan bahwa kaum elite Dayak memperoleh provinsi tersendiri yaitu Kalimantan Tengah pada 1957, walau daerah mereka tidak berada dekat pusat pemberontakan, dan berhasil mendapatkan provinsi tersendiri berkat kombinasi strategi yang jitu, yaitu di satu sisi dengan merangkul pemerintah pusat dan di sisi lain mensponsori kerusuhan etnis di pedalaman. Ungkapan Gerry tidak seluruhnya benar, karena kerusuhan yang terjadi bermuara pada keinginan rakyat Dayak untuk memperoleh otonomi sendiri. Namun, di sisi lain pemerintah pusat dengan berbagai alasan menolak keinginan tersebut. Di sinilah peran Tjilik Riwut dalam menjembatani kepentingan lokal untuk pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah dan keinginan pemerintah pusat agar tetap dalam bingkai NKRI.
ADVERTISEMENT
Adat istiadat yang berkembang pada masyarakat Dayak adalah identitas etnik dari etnis Dayak. Istilah identitas sendiri secara umum adalah ciri dari individu atau kelompok yang membedakan dengan individu atau kelompok lain. Mengutip pendapat dari Hall dan Ningsih dalam Toha, identitas merupakan sesuatu yang tidak pernah sempurna, selalu dalam proses, dan selalu dibangun dari dalam. Sejalan dengan pendapat itu adalah Woodward yang mengatakan identitas dapat mengalami perubahan sesuai konteks yang dihadapi oleh manusia bagaimana manusia memosisikan dirinya dalam suatu kondisi. Oleh sebab itu, identitas bersifat dinamis dan menyesuaikan diri dengan posisi perkembangan manusia itu sendiri. Identitas diri seseorang juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri fisik, disposisi yang dianut dan diyakininya, serta daya-daya kemampuan yang dimiliki. Kesemuanya merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain, sekaligus merupakan integrasi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kata etnis merupakan satu predikat terhadap identitas seseorang atau sekelompok orang. Kelompok etnik, etnis, atau suku bangsa juga diartikan sebgai suatu golongan manusia yang anggotanya-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesama, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.
Referensi:
Lisyawati Nurcahyani, Juniar Purba, dan Yusri Darmadi. 2019. Gagasan Persatuan Etnis Dayak: Masa Pergerakan Nasional dan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah (1905-1960). Bandung: CV Media Jaya Abadi.