Konten dari Pengguna

Gampang! Siapa pun bisa Mengajar Anak Calistung

Kotik Ariningsih
Ibu rumah tangga yang sibuk mengelola usaha dan mengasuh anak dan berusaha melek mata untuk melihat dunia.
17 Oktober 2022 17:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kotik Ariningsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semua orang tua tentu mengharapkan anaknya pintar dan berprestasi. Dengan bermacam cara mereka berusaha membekali buah hatinya dengan berbagai kemampuan termasuk belajar membaca, menulis dan berhitung (calistung). Yang membuat saya heran adalah fenomena orang tua menitipkan anak belajar pada orang lain, bukan mengajar calistung sendiri di rumah. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya lembaga bimbingan belajar anak usia prasekolah di mana-mana dengan berbagai fasilitas dan biaya.
ADVERTISEMENT
Terbersit pertanyaan dalam hati, “Sesulit itukah calistung sehingga harus menitipkan anak pada orang lain untuk melakukannya?” Bukankah lebih nyaman dan lebih murah mengajari anak calistung di rumah? Tidak perlu uang ekstra untuk transportasi dan jajan kalau belajar sendiri di rumah. Mending uang yang dipakai membayar les calistung buat beli skin care.
Anak belajar calistung. Foto: Koleksi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Anak belajar calistung. Foto: Koleksi pribadi.
Belum lagi terciptanya bonding antara ayah ibu dengan anak ketika melakukan aktifitas bersama. Lagi pula orang tua mana yang saat ini tidak bisa membaca, menulis dan melakukan perhitungan dasar? Toh anak-anak itu maksimal baru kelas 1 SD. Masalah berhitung cuma masalah penjumlahan dan pengurangan angka yang masih kecil-kecil, kan? Bukan menghitung luas jajar genjang atau keliling trapezium.
Ada yang beralasan, “Mungkin orang tuanya tidak sempat mengajari karena sibuk bekerja.” Memang berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang anak 7 tahun untuk belajar membaca? Paling lama 30 menit per hari. Kalau mereka bisa antar jemput anak ke tempat les dan menunggu sampai selesai belajar berarti mereka punya waktu, kan? Kenapa tidak gunakan waktunya untuk mengajar anak di rumah sendiri dengan benefit yang sudah disebutkan di atas?
ADVERTISEMENT
~~~~~~
Saya pikir ini cuma perkara kemauan. Dulu ketika tidak ada kelompok bermain atau PAUD -apalagi bimbingan calistung- anak-anak tetap bisa membaca dan menulis sewaktu di kelas 1 SD. Mengalami kebingungan di awal mengajar merupakan hal yang wajar. Yang penting mulai saja saat anak siap belajar calistung yaitu 7 tahun. Sampaikan yang Anda tahu atau miliki semampunya saja. Buku-buku panduan belajar calistung secara mandiri juga sangat mudah diperoleh.
Itu pula yang saya lakukan saat anak berumur hampir 7 tahun. Dua bulan sebelum anak masuk SD dengan tekad mulia mencerdaskan kehidupan bangsa, pelan-pelan saya mengenalkan huruf kepadanya. Sebelumnya saya sudah membeli satu buku belajar calistung dan mempelajarinya. Ada flash card yang disertakan dalam buku panduan itu yang kalau mau bisa kita bikin sendiri dengan mudah. Memang buku beserta flash card ini membuat proses mengajar calistung pada anak menjadi gampang karena saya tidak mempunyai latar belakang pendidikan mengajar apalagi pengalaman mengajar.
ADVERTISEMENT
Sesuai panduan, vokal atau huruf hidup a, i, u, e, o merupakan huruf-huruf pertama yang dipelajari. Sambil menunjuk huruf ‘a’ saya ucapkan, “Aaa” dan meminta anak menirukan bunyi tersebut dan mengulangi dengan huruf hidup lainnya. Kami lakukan proses ini berkali-kali sampai anak hapal. Kegiatan ini juga saya sisipkan di sela-sela anak bermain atau menggambar. Kadang saya sodorkan pola-pola huruf dan memintanya menebalkan pola itu dengan pensil sehingga secara perlahan dia pun belajar menulis.
Beres dengan lima vokal, kami lanjutkan belajar calistung dengan mengenalkan suku kata. Saya tunjukkan flash card suku kata ‘ba’ dan mengucapkan, “Ba” dan anak saya pun menirukannya. Lanjut dengan ‘be’, ‘bi’, ‘bo’ dan ‘bu’. Proses belajar calistung ini tidak selalu berjalan mulus. Ada kalanya saya hentikan kegiatan ini meskipun baru berjalan lima menit dengan berbagai alasan: mood anak memburuk, ada tamu atau teman datang, anak ngantuk atau saya yang ngantuk. Yang saya jaga adalah mood anak agar selalu gembira. Dengan demikian dia akan menemukan belajar adalah kegiatan yang menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Saya tidak mengenalkan huruf sesuai urutan abjad. Setelah ‘ba, be, bi, bo, bu’ dia kuasai, saya tidak melanjutkan dengan ‘ca, ce, ci, co, cu’ tapi ‘ka, ke, ki, ko, ku’. Dengan cara demikian saya bisa mulai mengenalkan anak pada kata-kata yang bisa disusun berdasarkan suku kata yang telah dipelajari dan dipahami sebelumnya, misal kata buka, buku, kaki, dan kuku. Anda juga bisa melakukannya sekehendak hati. Bebas. Jangan lupa untuk melanjutkan proses membunyikan suku kata dan kata ini dengan menebalkan pola sehingga proses belajar membaca beriringan dengan belajar menulis.
Mengenai angka juga demikian, tidak saya sampaikan secara berurutan. Sambil lalu saja kerap saya tunjukkan padanya angka 7, 10 atau angka lain yang tercantum di baju bola yang dia miliki atau dipakai oleh teman-temannya. Kadang saya bacakan plat nomer motor atau mobil satu per satu. Apa pun bisa saya pakai untuk mengenalkan angka padanya. Di lain kesempatan saya menanyakan angka-angka itu kembali padanya dan ternyata dia masih mengingatnya.
ADVERTISEMENT
Kenapa tidak saya kenalkan secara berurutan dari angka 1, 2, 3 dan seterusnya sampai 10? Dari pengalaman beberapa teman ternyata hal itu membuat anak lambat saat harus menuliskan angka. Begini maksud saya. Ada anak yang ketika diminta menulis angka 'enam', dia tidak langsung menulis '6' tapi harus menuliskan angka sebelumnya (1, 2, 3, 4, 5) terlebih dahulu sebelum sampai pada angka '6'.
Begitu pula saat saya menyodorkan kertas berisi pola angka untuk ditebalkan dengan pensil. Sengaja saya acak angkanya agar dia bisa belajar menulis dan mengingatnya. Setelah cukup memahami bentuk-bentuk angka 1 sampai 10 dan bisa menuliskannya, baru saya beritahukan urutannya. Setelah itu saya ajarkan padanya mengenai penjumlahan.
Dari satu buku Matematika saya mengetahui bahwa kita harus mengenalkan sesuatu yang konkret kepada anak sebelum dia mempelajari hal yang abstrak. Jadi saya manfaatkan saja barang-barang yang ada di lingkungan rumah seperti batu kerikil atau mainan lego untuk membantunya belajar berhitung.
ADVERTISEMENT
Untuk membantunya memahami bahwa 1+1=2, inilah yang saya lakukan. Saya ambil satu kerikil dan mengucapkan 'satu' dan meletakkannya di telapak tangan. Kemudian saya mengambil satu kerikil lagi dan mengucapkan, “Tambah satu” dan meletakkannya di samping kerikil yang pertama dan memintanya menghitung sesuai urutan.
Kadang saya ajarkan konsep berhitung dengan cara bercerita. Misalnya, "Lihat, dik. Di pohon kelengkeng itu sekarang ada dua burung. Kalau nanti datang satu burung lagi, jadi berapa jumlahnya ya?" Atau tentang pengurangan, "Tadi ibu bikin dua telur dadar terus ayah makan satu. Jadi sekarang masih berapa?"
Tidak terasa dua bulan berlalu dan anak saya sudah bisa membaca, menulis dan berhitung meskipun perlahan. Selanjutnya ‘tugas’ ini terasa lebih mudah karena proses calistung dilanjutkan oleh guru di sekolah. Memang daya tangkap dan pencapaian tiap anak akan berbeda tetapi percayalah bahwa mengajar anak calistung itu gampang. Cukup lakukan hal di atas secara konsisten di rumah. Dengan cinta. Itu saja.
ADVERTISEMENT