Konten dari Pengguna

Jangan Lagi Ucapkan 'Tidak Ada Sepakbola Seharga Nyawa'

Kotik Ariningsih
Ibu rumah tangga yang sibuk mengelola usaha dan mengasuh anak dan berusaha melek mata untuk melihat dunia.
7 Oktober 2022 10:00 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kotik Ariningsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada bulan Maret 2020 pelatih Persib Bandung saat itu, Robert Rene Alberts, mengucapkan, “Tidak ada sepakbola seharga nyawa manusia." Ia mengatakan hal ini setelah PSSI mengambil keputusan menghentikan sementara liga sepakbola Indonesia akibat virus Covid-19 menyergap negara kita. "Tentu kami akan mengikuti perintah tersebut jika kami bisa menyelamatkan nyawa dengan menghentikan laga," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Juni 2022 pemain Persib Bandung, Marc Klok, juga mengutip adagium yang sama ketika dua orang pendukung Persib Bandung meninggal di stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) pada hajatan Piala Presiden 2022. Akibat berdesakan di pintu stadion, kedua bobotoh harus kehilangan nyawa saat ingin menyaksikan tim kesayangannya melawan Persebaya Surabaya.
Kerusuhan sepakbola di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu (1/10). Foto dikirim teman yang menyaksikan pertandingan ini.
zoom-in-whitePerbesar
Kerusuhan sepakbola di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu (1/10). Foto dikirim teman yang menyaksikan pertandingan ini.
Saat ini kembali ungkapan 'Tidak ada sepakbola seharga nyawa' terdengar dan beredar di mana-mana. Video di Youtube dan TikTok, meme di Facebook dan Instagram, pegiat sepakbola dan artikel di semua media seperti berlomba menggaungkannya. Apa lagi yang memicunya kalau bukan tragedi sepakbola di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu (1/10)?
Adakah kita dengan sadar dan sepenuh hati mengucapkannya? Ataukah kita hanya mengutip karena kalimat ini terdengar indah di telinga? Kita menulis dan menjadikan status Facebook dan WA karena elok rimanya? Apakah kita pernah sebagai manusia memikirkan secara mendalam maknanya dan melakukan sesuatu agar tidak ada lagi nyawa melayang atas nama apapun, tidak cuma sepakbola?
ADVERTISEMENT
Sedikitnya 131 orang meregang nyawa karena sesak napas atau terinjak di sebuah acara olahraga favorit sedunia yang seharusnya membuat kita riang dan tertawa gembira. Dan 32 di antara mereka adalah anak-anak, bahkan balita. Puluhan korban masih harus dirawat di rumah sakit karena cedera. Dan tiba-tiba kita merasa berbuat sesuatu dengan copy paste kalimat 'Tidak ada sepakbola seharga nyawa manusia' tanpa melakukan apa-apa. Ingin sekali saya berteriak, ”Stop sepakbola!” Tapi siapa saya? Cuma seorang ibu rumah tangga yang masih saja terhenyak dengan sejuta tanya.
Ada yang berkata ini bencana bagi sepakbola Indonesia. Coba datangi keluarga korban yang meninggal dunia, tatap mata mereka dan tanyakan kepada ibu bapaknya, “Apakah kematian anakmu ini bencana bagi sepakbola Indonesia?” Coba tanyakan itu dan dengar jawab mereka. Ajak juga Menpora yang dengan tenangnya bicara, “Semoga kita tidak kena sanksi FIFA karena kita akan menyelenggarakan FIFA World Cup U-20 pada tahun 2023.”
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan menunjuk jari ke mana-mana. Lagipula siapa saya yang cuma orang biasa dan tidak mengerti apa-apa tentang sepakbola? Toh sudah banyak yang melakukannya dan berkata seharusnya dari awal mereka bisa mencegahnya. Kalau saja panitia penyelenggara tidak hanya fokus keuntungan semata dan memikirkan potensi risiko yang nyata dengan menjual tiket tidak melebihi kapasitas yang tersedia, pasti beda ceritanya.
Kalau saja Arema mengedukasi suporternya agar berlapang dada dan mau menerima skor akhir yang tercipta, pasti semua Aremania kembali dengan selamat ke rumahnya, bukan cuma nama. Kalau saja pihak keamanan dan polisi tidak bertindak gegabah dengan melepaskan gas air mata, mungkin tidak semakin terpuruk citranya. Tapi sekarang apalah guna berandai-andai dengan mengucap 'kalau saja.'
ADVERTISEMENT
Mungkin lebih baik saya berandai-andai yang lain saja. Bisakah Indonesia fokus di bulutangkis yang jelas-jelas pernah melahirkan raja? Di situ atlet-atlet kita digdaya. Dari dulu sampai sekarang di banyak arena pemain kita menjadi juara. Tidak tunggal, tidak ganda, kita masih cukup perkasa. Jadikan anak-anak kita seperti Alan Budi Kusuma, Kevin Sanjaya atau Apriyani Rahayu dan Siti Fadia.
Sekarang ijinkan saya lancang bertanya tentang kesebelasan kita, “Apa, kapan dan di mana prestasi timnas sepakbola Indonesia?” Ada 275 juta penduduk di negara kita tapi bikin satu tim perkasa dan mampu bicara di tingkat Asia saja kita tidak bisa, apalagi level dunia. Juara Piala Dunia? Ahh, sudah lupakan saja. Mari, kita semua berbenah dan lakukan sesuatu yang nyata agar tidak lagi terdengar ungkapan 'Tidak ada sepakbola seharga nyawa manusia' yang kosong tanpa makna.
ADVERTISEMENT