Asuransi Covid-19 dan Kaitannya dengan Informasi Asimetris

Mercy
ASN dan Mahasiswa Akuntansi di PKN STAN
Konten dari Pengguna
28 Januari 2022 18:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mercy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap peningkatan kesadaran masyarakat soal pentingnya asuransi. Dalam penelitian 2022 Insurance Industry Outlook oleh Gary Shaw, diperkirakan bahwa permintaan asuransi akan terus meningkat di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Hal ini sejalan dengan pernyataan Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) bahwa tren pertumbuhan stabil positif industri asuransi jiwa bisa ditingkatkan pada tahun 2022.
Asuransi kesehatan kian diminati dan permintaannya diperkirakan terus meningkat dikarenakan pandemi Covid-19 yang belum usai. Ketidakpastian dari pandemi tentu menimbulkan kekhawatiran di masyarakat, apalagi melihat mahalnya biaya pengobatan dan adanya risiko kematian akibat Covid-19.
Worldometer bahkan menempatkan angka kasus di Indonesia di urutan 4 tertinggi Asia. Dengan mempunyai asuransi, setidaknya masyarakat merasa lebih aman dan terlindungi.

Pasar Asuransi dan Informasi Asimetris

Penelitian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan bahwa sekitar 92 persen lansia DKI Jakarta memiliki jaminan atau asuransi kesehatan dengan 60 persen di antaranya non penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional.
ADVERTISEMENT
Kelompok masyarakat yang berisiko lebih tinggi terinfeksi Covid-19 cenderung menginginkan asuransi. Kelompok itu adalah orang-orang yang berusia lebih tua atau memiliki kondisi medis yang sudah ada sebelumnya.
Masyarakat sebagai konsumen lebih paham mengenai kesehatan mereka dibandingkan perusahaan asuransi itu sendiri, sekalipun perusahaan mengharuskan konsumen melakukan berbagai tes kesehatan.
Situasi di mana pembeli dan penjual memiliki informasi yang berbeda mengenai suatu transaksi ini disebut sebagai informasi asimetris (asymmetric information), yang berakibat pada seleksi negatif (adverse selection) hingga berujung pada kegagalan pasar.
Informasi asimetris ini akan berdampak pada peningkatan harga asuransi sehingga orang berisiko rendah memilih untuk tidak memiliki asuransi. Akhirnya, sebagian besar orang yang mau membeli asuransi adalah orang-orang berisiko tinggi. Hal ini bisa berdampak buruk, jangan sampai perusahaan asuransi berhenti menjual produk asuransinya.
ADVERTISEMENT
Untuk mengurangi keterbatasan informasi, beberapa upaya dan kebijakan dilakukan oleh perusahaan asuransi. Salah satunya penggunaan jasa aktuaris yang berperan penting sebagai penilai kemungkinan terjadinya risiko.
Perusahaan asuransi publik juga mengambil langkah. Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan paternalis melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang mewajibkan warga negara Indonesia mengikuti program BPJS Kesehatan. Jadi, peluang bahwa hanya orang berisiko tinggi yang membeli asuransi akan berkurang.

Risiko Moral sebagai Dampak Informasi Asimetris

Perusahaan asuransi tidak bisa mengawasi pihak tertanggung secara ketat akibat adanya keterbatasan informasi. Pihak tertanggung bisa saja melakukan hal-hal yang meningkatkan angka cideranya. Kemungkinan dari perubahan perilaku seseorang akibat memiliki asuransi merupakan contoh dari risiko moral (moral hazard).
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari pihak tertanggung, mereka sering tidak berhati-hati dan tidak mengacuhkan protokol kesehatan sehingga risiko terkena Covid-19 pun meningkat. Ekstremnya seperti kasus yang sedang viral di negara Thailand.
Bersumber dari thaipbsworld, seorang pria mencari teman (social companion) dengan syarat positif Covid-19 agar dirinya tertular. Bukan tanpa alasan, setelah diselidiki ternyata pria ini rela menderita demi klaim asuransi kesehatannya. Sangat tidak patut dicontoh. Dalam kasus ini, klaim asuransinya pun kemungkinan besar ditolak.

Klaim Asuransi yang Terkesan Dipersulit

Perusahaan asuransi memang lebih mengetahui tentang produk asuransi yang dimilikinya. Bahkan dalam menjabarkan syarat dan ketentuan seringkali perusahaan asuransi memakai istilah hukum yang sulit dipahami masyarakat umum, alhasil, klaim yang dilakukan oleh peserta asuransi ditolak karena tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta agar perusahaan asuransi selalu memastikan agen-agennya bersertifikat dan memberikan informasi yang jelas kepada nasabah atas produk yang dijualnya. Artinya, tidak ada klaim asuransi yang dipersulit, hanya saja pembeli asuransi seringkali kurang memahami syarat dan ketentuan yang berlaku.

Syarat dan Ketentuan Perlu Dipahami

Penjelasan informasi dari agen asuransi harus diterima sebaik mungkin. Dalam perjanjian asuransi dinyatakan syarat, hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta ketentuan dari prinsip kerja asuransi yang akan dijalankan. Masyarakat harus lebih teliti dalam membaca serta memahami syarat dan ketentuan sebelum menyetujui perjanjian.
Jika perlu, masyarakat dapat meminta bantuan jasa notaris hukum dengan mempertimbangkan adanya cost of information yakni pengeluaran waktu dan uang yang diperlukan dalam perolehan informasi. Pemahaman syarat dan ketentuan diperlukan untuk menghindari informasi yang asimetris. Masyarakat diharapkan lebih bijaksana dalam bertindak. Harus disadari bahwa kesehatan tetap prioritas utama.
ADVERTISEMENT