Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Serba Salah Tinggal di Pondok Mertua Indah
17 Februari 2020 0:31 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bila Anda memilih tinggal serumah dengan mertua atau yang populer disebut Pondok Mertua Indah, siap-siap saja menghadapi banyak drama. Sebagai “Queen of the house”, ibu mertua tentu punya sejumlah aturan di rumahnya. Lalu datanglah Anda, queen baru dengan kebiasaan yang mungkin sangat berbeda. Seperti kisah Yuni, perempuan baru menikah yang masih berjuang mendapatkan hati si ibu mertua.
ADVERTISEMENT
----
Aku dan ibu mertua tidak punya banyak waktu untuk saling akrab. Kami tidak sempat berbagi resep masakan, jalan ke mall bareng, atau saling curhat. Aku cuma dua-tiga kali bertemu dengannya sebelum menikah dengan suami. Setelah menikah pun tak berbeda. Kami hanya bertegur sapa seperlunya.
Dulu saat pertama kali dikenalkan oleh calon suami, dia memang tak terlihat berusaha mengakrabkan diri denganku. Sedikit sekali senyumnya. Bikin aku makin tegang. Dia cuma cerita anak sulungnya itu agak manja sehingga pekerjaan rumah hampir semua dikerjakan sendiri meski ia juga bekerja.
Sesuai kesepakatan, aku bersedia ikut tinggal di rumah ibu suamiku setelah menikah. Selain karena kami belum punya rumah sendiri, suamiku juga belum tega meninggalkan ibunya sendirian. Maklum, ibunya single parent. Aku pun mengerti.
Beberapa hari pertama tinggal di rumah mertua, aku tentu agak canggung. Suamiku tidak memberikan banyak orientasi seputar kebiasaan ibunya. Melihat ekspresi ibu mertua yang mostly dingin, aku juga jadi malas bertanya atau membuka obrolan.
ADVERTISEMENT
Suamiku pernah bilang, ibunya sangat jago masak. Kuakui, masakannya memang enak. Katanya sih resep turun-temurun keluarganya. Karena merasa skill memasakku sangat kurang, aku pun membiarkan dapur jadi area kekuasaannya. Ibu mertua pun tidak pernah menyuruhku masak. Sebagai gantinya, aku membantu beres-beres rumah setelah pulang kerja dan tiap weekend.
Tapi pada suatu subuh, aku ingin memasak untuk bekal suamiku. Masa sudah sebulan menikah, dia tidak pernah mencicipi masakanku sama sekali? Kuputuskan untuk masak nasi goreng, satu-satunya menu yang aku kuasai. Sebenarnya aku ragu, takut dikritik oleh ibu mertua.
Entah kenapa sepanjang merajang bawang, aku merasa deg-degan. Takut ibu mertuaku bangun, takut ditanya ini-itu. Aku mempercepat tanganku bekerja, berharap masakanku cepat selesai.
ADVERTISEMENT
Nasi kutuang ke dalam wajan. Setelah ku bolak-balik, aku baru sadar aku tidak tahu tempat mertuaku menyimpan kecap dan saus. Aku cari di kabinet atas, tidak ada. Semua lemari di dapur aku buka, belum juga ketemu. Suamiku sedang mandi, jadi tidak bisa kutanyai.
Aku jadi panik. Khawatir nasi gorengku jadi gosong dan gagal. Khawatir suamiku keburu berangkat kerja dan bekalnya belum siap. Khawatir mertuaku keburu bangun. Untungnya tak lama kemudian aku menemukan kecap di sebelah botol minyak, yang entah kenapa tadi terlewat olehku.
Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba ibu mertuaku sudah ada di belakangku. Jeng jeng... Aku deg-degan tidak karuan. Kurasakan tanganku yang menggenggam spatula sedikit gemetaran.
Aku sedikit menoleh, ia rupanya sedang mengambil sesuatu di lemari. Aku rasakan pandangannya melihat ke wajan nasi gorengku, dengan tatapan menyelidik. Hanya beberapa detik, tapi rasanya lama sekali.
ADVERTISEMENT
Aku sudah bersiap dikomentari macam-macam, karena nasi gorengku memang terlihat kurang layak. Agak gosong dan terlihat benyek. Tapi ia cuma diam seribu kata, kemudian berlalu kembali ke kamarnya. Ternyata begini rasanya takut sama ibu mertua sendiri.
Setelah suamiku berangkat ke kantor, barulah ia mengkritik.
“Habis masak itu langsung diberesin ya. Wajan sama talenan dicuci. Garam dikembalikan ke tempatnya. Dibiasakan ya,” ujarnya dengan nada dingin. Membuatku merinding.
Memang sih salahku tidak langsung membereskan dapur. Tadinya akan kukerjakan setelah suamiku berangkat, tapi keburu dikomentari. Dengan pasrah, ku cuci peralatan masak yang tadi kupakai.
Hingga kini, ibu mertuaku memang belum merelakan “kekuasaannya” di dapur. Tapi sejak aku menunjukkan niatku untuk memasak, kadang-kadang ibu memintaku untuk belanja sayur ke pasar. Lalu bila ia keluar kota dan menginap, ibu mertuaku biasanya berpesan agar aku memasak bahan mentah yang ada di kulkas.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, aku sudah dapat kepercayaan untuk memasak untuk anak sulung tercintanya. Meski serba salah, aku tetap harus berusaha. (sam)
----
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Yuni? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua ? Kirim email aja! Ke: [email protected]