Konten dari Pengguna

Antara Bottom Line dan Martabat Manusia: Menimbang Ulang Peran Human Capital

Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Malang melintang di dunia perbankan sejak tahun 1990, dan 15 tahun diantaranya bergabung dengan sebuah Bank Syariah terbesar di Indonesia yang merupakan grup perbankan papan atas, membuat Merza siap sharing knowledge dan experience-nya.
1 Mei 2025 16:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Di Simpang Jalan Peradaban
ADVERTISEMENT
Dunia kerja sedang berubah drastis. Kita hidup di tengah era ekonomi baru—masa ketika efisiensi, profitabilitas, dan teknologi menjadi poros utama pengambilan keputusan. Di satu sisi, inovasi teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) menawarkan kemudahan dan efisiensi. Di sisi lain, nilai-nilai tradisional yang menjunjung loyalitas, dedikasi, dan hubungan manusia dalam organisasi mulai tergerus oleh semangat bottom line: keuntungan bersih sebagai indikator utama keberhasilan.
Prinsip bottom line ini telah menjelma menjadi mantra utama dalam manajemen modern. Segala keputusan, dari rekrutmen hingga pemutusan hubungan kerja, diukur dari hitungan laba dan rugi. Sebuah idiom baru bahkan lahir dari kondisi ini: “Pecat pegawaimu saat tak dibutuhkan, karena mereka bisa disewa lagi nanti.” Bahkan menahan pekerja loyal dianggap melemahkan posisi perusahaan: “Biarkan satu pergi, seribu lamaran baru siap menggantikan dengan gaji lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Bottom line vs Martabat manusia, Sumber: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Generative AI
Era Ekonomi Baru: Kompetisi, Krisis, dan Ketidakpastian
Setelah pandemi Covid-19 dan kemajuan teknologi yang luar biasa pesat, kita menyaksikan kelahiran tatanan ekonomi baru yang sangat kompetitif. Model bisnis berubah cepat, pasar tidak lagi linear, dan perusahaan dituntut untuk gesit beradaptasi dalam menghadapi krisis demi krisis yang muncul nyaris tanpa jeda—baik geopolitik, iklim, hingga kegagalan sistem digital seperti baru-baru ini terjadi secara global.
Ironisnya, pada saat kita mengagungkan “inovasi,” kita justru memperlakukan pekerja sebagai komoditas. Outsourcing menjadi norma, kontrak jangka pendek menjadi kebijakan, dan loyalitas tidak lagi dianggap sebagai aset strategis. Bahkan, dalam beberapa industri, tenaga kerja tidak lagi menjadi bagian inti dari rencana jangka panjang.
ADVERTISEMENT
AI dan Otomatisasi: Solusi Cepat yang Tak Sepenuhnya Manusiawi
Benar bahwa AI dapat menggantikan banyak fungsi: entri data, analisis prediktif, bahkan menjawab pertanyaan pelanggan. Tapi kecerdasan buatan tidak (dan belum akan) bisa menggantikan empati seorang perawat, intuisi seorang pemimpin, ataupun kreativitas seorang seniman dan pendidik. Mesin tidak punya nurani. Mesin tidak bisa membangun kepercayaan.
Jika sistem ekonomi mulai menanggalkan peran manusia hanya karena AI terlihat lebih murah dan cepat, maka yang kita hadapi bukan sekadar transformasi teknologi, tetapi potensi krisis kemanusiaan.
Mengapa Human Capital Tidak Bisa Digantikan
Sumber daya manusia bukan hanya faktor produksi. Mereka adalah jiwa dari organisasi. Mereka membawa nilai, inovasi, dan karakter. Perusahaan yang ingin bertahan dari waktu ke waktu, dari satu krisis ke krisis lain, adalah perusahaan yang membangun fondasi kepercayaan dan loyalitas dari para pekerjanya.
ADVERTISEMENT
Studi global menunjukkan bahwa tingginya biaya pergantian karyawan (employee turnover) berdampak signifikan pada produktivitas dan reputasi perusahaan. Menurut Gallup, biaya kehilangan karyawan dapat mencapai 1,5–2 kali gaji tahunan mereka, tergantung pada posisi dan pengalaman. Bahkan perusahaan teknologi paling modern pun, seperti Google dan Microsoft, kini mulai menekankan kembali pentingnya people-centered leadership.
Kembali ke Nilai Dasar: Martabat Manusia
Peringatan Hari Buruh tahun ini mestinya bukan hanya seremoni. Ia adalah momen reflektif bagi kita semua untuk menimbang ulang: untuk siapa sesungguhnya ekonomi ini dibangun? Ketika manusia dikesampingkan, pada akhirnya mesin dan laba tidak akan bisa menjawab pertanyaan mendasar tentang makna, keadilan, dan keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Penutup: Melampaui Bottom Line
Mengembalikan martabat pekerja di era ekonomi baru bukanlah kemunduran, melainkan kemajuan yang sesungguhnya. Kita bisa dan harus membangun sistem ekonomi yang canggih namun tetap manusiawi. Di tengah segala disrupsi, satu hal tetap abadi: manusia adalah pusat dari peradaban.
Selamat Hari Buruh.