Konten dari Pengguna

Analisis terkait Tindakan Diskriminatif Pihak Rumah Sakit Terhadap "Pasien BPJS"

Mesy Yoseli hutabarat
Saya adalah Mahasiswa fakultas hukum, Universitas Sumatera Utara yang sedang menempuh semester 7
7 Oktober 2024 10:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mesy Yoseli hutabarat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
layanan kesehatan oleh rumah sakit (sumber : https://www.pexels.com/photo/a-medical-practitioner-showing-a-patient-paper-7578808/)
zoom-in-whitePerbesar
layanan kesehatan oleh rumah sakit (sumber : https://www.pexels.com/photo/a-medical-practitioner-showing-a-patient-paper-7578808/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berdasarkan salah satu informasi terkait diskriminatif pengguna BPJS dari web BBC tahun 2022, semua perlakuan diskriminasi itu bermula karena tarif Inasibijis atau INA-CBGs (Indonesia Case Base Groups) di rumah sakit dan kapitasi di puskesmas 'sangat rendah' serta 'tak ada kenaikan sejak 2016 sampai 2022'. Untuk diketahui tarif INA-CBGs adalah paket layanan yang didasarkan pada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur, meliputi seluruh sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun nonmedis.Sedangkan kapitasi merupakan standar tarif yang dibayarkan untuk fasilitas kesehatan dan praktik dokter. Bedanya tarif kapitasi di puskesmas telah dibayarkan terlebih dahulu sesuai dengan jumlah peserta, Sementara rumah sakit sistemnya klaim. Maka dari itu perlu dilakukan analisis mendalam terkait penyelesaian masalah dari isu ini dan mengatasi penyebab awal terjadinya diskriminasi bagi pengguna BPJS Kesehatan ini.
ADVERTISEMENT
Catatan BPJS Watch selama tahun 2022 terdapat 109 kasus diskriminasi yang dialami pasien pengguna kartu BPJS Kesehatan terkait pemberian obat, re-admisi, dan kepesertaan yang dinonaktifkan. Di Puskesmas Tindakan diskriminasi yang dilaporkan seperti pemberian obat yang tidak sesuai jatah sehingga pasien harus membeli kekurangan obat sendiri. Sedangkan di rumah sakit, kasus yang paling banyak diadukan adalah re-admisi di mana pasien yang sedang dalam perawatan dan belum sembuh total disuruh pulang ke rumah. Setelah itu, pasien akan masuk kembali ke rumah sakit untuk berobat. Praktik tersebut, kata Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, merupakan bentuk kecurangan yang dilakukan pihak rumah sakit demi mengakali pembengkakan keuangan. Mayoritas pengaduan yang diterima soal penolakan pasien BPJS Kesehatan di rumah sakit dengan alasan kuota terbatas. Tindakan seperti itu semestinya tidak dibolehkan kalau merujuk pada UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 di pasal 32 huruf (c) yang berbunyi “memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi”.
ADVERTISEMENT
Namun Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyatakan bahwa laporan diskriminasi kepesertaan BPJS Kesehatan sudah menurun yang mengacu pada penilaian kepuasan peserta yang mencapai nyaris 90 persen. Namun beliau juga mengakui kasus diskriminasi oleh sejumlah oknum tenaga kesehatan masih ada. Padahal, pihaknya sudah menetapkan janji pelayanan, yang salah satu poinnya menggarisbawahi pelayanan untuk peserta BPJS Kesehatan secara ramah tanpa diskriminasi. Menurut Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Agustian Fardianto, mengakui masih adanya perilaku diskriminatif terhadap pasien BPJS. Jadi untuk menekan tindakan-tindakan seperti itu, ia mengaku pihaknya terus mengimbau manajemen fasilitas kesehatan agar setara memperlakukan pasien BPJS. Jika ada kesulitan, dia mengimbau pasien BPJS mengadukan ke layanan yang ada seperti call center atau pusat panggilan 165, aplikasi JKN Mobile, kantor cabang terdekat, hingga akun media sosial resmi BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Terkait Solusi untuk isu ini pihak Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar, menilai imbauan menghubungi call center sampai mengadu lewat media sosial, kurang mempan. Ia mengusulkan agar pihak BPJS Kesehatan membuka nomor pengaduan khusus di tiap fasilitas kesehatan dan ditempel di ruang-ruang yang gampang dilihat orang. Sehingga kalau ada pasien yang mengalami diskriminasi atau dipersulit bisa langsung menghubungi. Disisi lain, fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit harus menindak tegas pegawainya yang mendiskriminasi pasien, Semisal diberhentikan supaya ada efek jera. Jadi ada efek jera ke pelaku/oknumnya. Karena jika hanya peringatan, maka hal ini mungkin akan terjadi lagi.
Mungkin Tingkat diskriminatif pasien pengguna BPJS Kesehatan sudah menurun namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada oknum yang melakukan diskriminasi kepada pasien pengguna kartu BPJS Kesehatan. Maka dari itu perlu campur tangan pemerintah dan pihak kantor BPJS Kesehatan untuk mengatasi masalah ini karena Masyarakat belum tentu bisa untuk menuntut hak mereka di layanan Kesehatan khususnya di rumah sakit. Perlunya dukungan dan bantuan langsung pihak pemerintah dan pihak PBJS Kesehatan ini diharapkan dapat mengurangi dan memberantas tindak diskriminatif oknum tenaga medis/tenaga Kesehatan terhadap pasien BPJS Kesehatan. Solusi mendasar seperti menghubungi call center BPJS Kesehatan jika mengalami Tindakan diskriminatif sampai melakukan PHK bagi oknum Kesehatan yang melakukan diskriminatif ini merupakan bentuk kepedulian pemerintah dan pihak BPJS Kesehatan terhadap pasien yang memberikan aduan atas hal yang mereka alami di rumah sakit. Diharapkan juga kedepannya dengan adanya Solusi ini maka bisa memberi kesadaran kepada pihak tenaga medis/tenaga Kesehatan untuk mengetahui kewajibannya sesuai dengan pasal 189 huruf (b) dan pasal 274 huruf (a) UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dan pasal 735 huruf (a) PP Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Mesy Yoseli Hutabarat, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara