Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dampak Sanksi Ekonomi terhadap Pemenuhan HAM di Afghanistan
4 Oktober 2021 15:53 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Mettio Basara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Afghanistan adalah salah satu negara termiskin di dunia, hampir setengah populasinya termasuk jutaan anak membutuhkan bantuan kemanusiaan dan ratusan ribu warga telah kehilangan tempat tinggal akibat perang. Hal ini diperparah dengan sebagian besar devisa Afghanistan yang disimpan di luar negeri sekarang dibekukan oleh Amerika Serikat semenjak Taliban mendeklarasikan kembali Emirat Islam Afghanistan pada tanggal 15 Agustus 2021, yang berdampak pada perekonomian dan kebutuhan sehari-hari warga Afghanistan. Sehingga, menimbulkan pertanyaan mengenai jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di kala pemberlakuan sanksi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Sanksi ekonomi seperti embargo dan kenaikan tarif memang semakin sering dijatuhkan beberapa tahun kebelakang, mengingat ketegangan di panggung internasional semakin meningkat. Selama satu abad terakhir, negara-negara adidaya bergantung pada sanksi ekonomi daripada langsung menggunakan pendekatan militer untuk mencapai tujuan kebijakan luar negerinya. Sanksi ekonomi sudah lama menjadi pusat kontroversi karena penerapannya mengakibatkan dampak ekonomi dan sosial yang cukup signifikan harus ditanggung oleh negara.
“Embargo oleh negara-negara barat merupakan sebuah ketidakadilan bagi rakyat Afghanistan, mengingat kami sedang berada dalam situasi kritis.” jelas Suhail Shaheen dalam cuitannya.
Dengan pemerintahan Afghanistan di bawah tekanan sanksi embargo, Amerika Serikat menghentikan semua pengiriman mata uang ke Afghanistan dan bantuan ekonomi. Dua perusahaan pengiriman uang yaitu Western Union dan MoneyGram juga berhenti mengirim uang ke negara tersebut, khawatir pengirimannya akan melanggar peraturan sanksi Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Kedudukan Sanksi dalam Hukum Internasional?
Hukum internasional tampaknya hanya mengakui sanksi kolektif (multilateral sanction) melalui organ DK PBB sesuai dalam Pasal 41 Bab VII Piagam PBB. Meskipun sanksi kolektif bisa dijatuhkan, tetap tidak bisa diterima untuk DK PBB, berdasarkan keputusannya di bawah Bab VII, untuk melanggar hak asasi manusia yang fundamental. Sehingga diperlukan langkah sistematis dan terstruktur dalam menjatuhkan sanksi agar tidak berdampak luas terhadap ekonomi masyarakat. Yaitu dengan memberlakukan embargo terhadap barang-barang yang sifatnya tidak esensial bagi masyarakat.
Lebih lanjut, tindakan pemaksaan seperti embargo sesuai Bab VII hanya bisa dijatuhkan dalam hal terjadi ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran atau tindakan agresi dengan tujuan untuk memulihkan perdamaian. Tindakan pembalasan diperbolehkan bagi negara anggota dalam Pasal 51 Piagam PBB, tetapi hanya terhadap serangan bersenjata yang bersifat aktual, sehingga ketentuan ini membatasi kebebasan yang sebelumnya dinikmati negara anggota untuk menjatuhkan tindakan pemaksaan yang di dalamnya termasuk pemberian sanksi.
ADVERTISEMENT
Jika mendasarkan pada prinsip hak atas pembangunan (right to development), yang di dalamnya termasuk hak untuk hidup, makan, kesehatan, dan obat-obatan. Hak ini dikatakan menjadi hak yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh karenanya akses terhadap hal di atas tidak boleh ada pembatasan.
Resolusi UNHRC A/HRC/46/L.4 yang diadopsi oleh Human Rights Commission juga mengklasifikasi embargo, blokade dan pembatasan perdagangan secara sepihak sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Resolusi ini memang tidak mengikat, tetapi bisa dijadikan sebagai acuan bagi negara untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Saya berpendapat ini memunculkan 4 (empat) permasalahan.
Pertama, selain bertentangan dengan hukum internasional, sanksi ini mempengaruhi lintas pertumbuhan masyarakat dan ekonomi negara secara keseluruhan. Sehingga, merupakan instrumen buruk dalam politik luar negeri karena mereka yang terdampak, ditarget tanpa pandang bulu dan dirugikan dengan tujuan mengubah arah politik negara tersebut. Padahal, ada cukup banyak rakyat Afghanistan yang mendukung pemerintahan Taliban.
ADVERTISEMENT
Kedua, mengingat penjatuhan sanksi dalam hukum internasional umumnya didasari pada ada tidaknya ancaman yang bersifat aktual atau yang mengancam perdamaian dan keamanan. Bisa disimpulkan bahwa situasi di Afghanistan semenjak penarikan mundur pasukan AS tidak menunjukkan adanya ancaman militer yang mengganggu kestabilan global baik kepada warga asing. Bahkan Taliban telah memenuhi janjinya dalam menjamin proses evakuasi staf kedutaan dan warga negara asing. Walaupun terlalu cepat untuk menyimpulkan motif Taliban, tapi setidaknya menurut saya belum ada cukup alasan atas ancaman perdamaian global untuk menjustifikasi pemberian sanksi.
Ketiga, sanksi yang dijatuhkan cukup tidak masuk akal mengingat negara barat khususnya Amerika Serikat mendesak Taliban untuk memberikan jaminan hak-hak dasar warga negaranya, tapi disisi lain mereka menutup peluang untuk Afghanistan bisa keluar dari jeratan krisis ekonomi yang berlarut-larut. Perlu diingat bahwa Amerika Serikat tidak hanya sekadar menjadi aktor utama dalam mendukung penjaminan hak warga afghanistan, bahkan tujuan intervensi militer semenjak tahun 2001 adalah untuk "melindungi hak asasi" terutama hak untuk perempuan.
ADVERTISEMENT
Keempat, sanksi sepihak (unilateral sanction) menimbulkan kontroversi dalam perspektif hukum internasional karena merupakan produk legislasi nasional tetapi memiliki dampak yang bersifat ekstrateritorial. Padahal, jika mengacu pada Yurisprudensi North Atlantic Coast Fisheries Case, prinsip dasarnya adalah dampak dari perundang-undangan nasional tidak boleh melampaui batas teritorial. Oleh karenanya, sanksi sepihak bisa dibilang melanggar asas kedaulatan nasional dan asas non-intervensi terhadap urusan internal negara lain.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah dan karakter rezim Taliban memang mengerikan bagi beberapa warga lokal dan kecil kemungkinan pemerintahan Taliban akan memenuhi standar HAM internasional. Meskipun begitu, sanksi ekonomi sepihak tidak memberikan justifikasi apa pun mengapa jutaan rakyat yang tidak bersalah harus menanggung akibatnya.
Bagaimana seharusnya sikap Pemerintah Indonesia?
Dapat disimpulkan bahwa semenjak berkuasanya Taliban, aktivitas perdagangan Indonesia-Afghanistan tidak mengalami kendala dan bahkan meningkat. Justru menurut saya ini merupakan langkah tepat yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia karena dalam situasi krisis, aktivitas perdagangan menjadi sangat esensial dalam menjaga perputaran roda ekonomi bagi rakyat Afghanistan.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, "Ekspor Indonesia ke Afghanistan naik 361,70 persen secara month to month di bulan Agustus 2021,". Ekspor Indonesia paling banyak berada dalam sektor non-migas, antara lain berupa buah-buahan, bahan untuk industri farmasi, dan barang berbahan karet.
Sikap ini memberikan refleksi terhadap pandangan Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jaelani, bahwa warga Afghanistan semestinya menjadi prioritas dalam rekonsiliasi politik ini melalui Afghan owned dan Afghan led-principle. Artinya, semua keputusan akan di timbang melalui dampak apa yang akan diberikan kepada masyarakat.
Atas pandangan ini menurut saya, pemerintah Indonesia juga perlu memimpin upaya baru yang tidak hanya memberikan bantuan kemanusiaan di Afghanistan tapi juga dalam konteks pengungsi Afghanistan yang saat ini berada di Indonesia. Hal ini penting karena setidaknya membantu pengungsi di Indonesia adalah langkah yang paling aksesibel dan mudah untuk dilakukan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sekilas Indonesia tidak terikat pada hukum mengenai pengungsi mengingat Pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Indonesia hanya sebagai negara transit. Tetapi tetap ada kewajiban untuk menjamin HAM di wilayah teritorial Indonesia terlepas dari status yang terlekat pada individu yang terletak pada Pasal 2 (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Pasal 7 perjanjian serupa juga melarang perlakuan yang tidak manusiawi dibebankan pada siapa pun selama berada di teritori negara tersebut. Dan dalam hukum nasional dijamin oleh Pasal 2 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sehinga pengungsi yang berada di Indonesia dijamin haknya tidak hanya dengan instrumen hukum internasional melainkan juga dengan hukum nasional.
ADVERTISEMENT
Apa solusinya?
Kembali lagi menangani isu sanksi dan dampaknya terhadap pemenuhan HAM, dihadiri dengan potensi bencana kemanusiaan dalam skala besar yang semakin meningkat, diperlukan langkah untuk memikirkan kembali instrumen sanksi yang lebih fleksibel.
Sangat mungkin untuk mengembangkan rezim sanksi yang menarget individu saja atau organisasi tertentu yang jika memang terbukti mendukung gerakan teroris, sembari tetap memberikan bantuan kemanusiaan dan akses atas aset negara Afghanistan agar bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat Afghanistan dalam rangka pemenuhan HAM-nya. Sehingga tidak perlu mengorbankan rakyat sipil.
Kebijakan sanksi yang lebih terarah misalnya terhadap pejabat politik juga dinilai efektif. Misalnya, pembatasan perjalanan dan akses finansial mereka bisa dibuat lebih ketat dengan memberikan konsekuensi bagi siapa pun yang berbisnis dengan mereka mengingat para senior Taliban ini memiliki banyak kepentingan bisnis dan properti di negara lain seperti Arab Saudi, Pakistan, dan Qatar sehingga ini akan memberikan standar yang harus diikuti oleh negara lain.
ADVERTISEMENT
***
Perlu dipahami bahwa Taliban tidak mungkin menyimpang terlalu jauh dari ideologi maupun arah politiknya yang sudah lama mereka bangun dan perjuangkan, terlepas dari seberapa banyak sanksi yang dijatuhkan. Tetapi apa pun tujuan yang ingin dicapai saat menjatuhkan sanksi harus diimbangi dengan konsiderasi kemanusiaan guna melindungi HAM di Afghanistan.