Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Upaya Diplomasi Dalam Krisis Geopolitik Di Laut China Selatan
22 November 2024 18:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Meyuven Randani Poneea tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Krisis Geopolitik
Krisis geopolitik merujuk pada ketegangan dan konflik yang muncul akibat interaksi antara negara-negara dengan kepentingan politik, ekonomi, dan militer yang saling bertentangan. Latar belakang krisis geopolitik sering kali melibatkan beberapa faktor, termasuk sejarah kolonialisme, persaingan kekuatan global, perbedaan ideologi, kontrol atas sumber daya alam, serta pergeseran kekuatan ekonomi dan politik dunia.
ADVERTISEMENT
Banyak konflik geopolitik, terutama di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, memiliki akar yang dalam pada pembagian wilayah yang dilakukan oleh kekuatan kolonial pada abad ke-19 dan ke-20. Pembagian wilayah yang dilakukan oleh kekuatan kolonial pada abad ke-19 dan ke-20, khususnya oleh negara-negara Eropa, seringkali mengabaikan realitas sosial, etnis, dan budaya di wilayah-wilayah yang mereka kolonisasi. Peta-peta yang digambar tanpa mempertimbangkan keberagaman suku bangsa dan hubungan antar kelompok, menciptakan garis batas yang memisahkan kelompok-kelompok yang sebelumnya hidup berdampingan atau memaksa kelompok-kelompok yang memiliki sejarah konflik untuk berada dalam satu negara.
Sebagai contoh, di Afrika, Konferensi Berlin (1884-1885) membagi benua tersebut tanpa memperhatikan pembagian etnis atau suku, yang menyebabkan ketegangan antara kelompok-kelompok yang berbeda. Di Timur Tengah, pembagian wilayah pasca-Perang Dunia I oleh kekuatan kolonial Inggris dan Prancis (seperti dalam perjanjian Sykes-Picot) mengabaikan kekayaan etnis dan agama yang ada, yang kini masih berkontribusi pada ketidakstabilan politik dan konflik di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Di Asia, negara-negara seperti India dan Pakistan juga mengalami dampak dari pembagian kolonial oleh Inggris, yang memicu konflik agama dan etnis yang berlangsung lama setelah kemerdekaan. Semua ini menunjukkan betapa pentingnya konteks sosial dan etnis dalam membentuk batas negara, dan bagaimana keputusan-keputusan kolonial yang diambil jauh dari kepentingan lokal sering kali mewariskan ketegangan yang berlangsung lama setelah kolonialisme berakhir.
Krisis Geopolitik Di Laut China Selatan
Krisis geopolitik di Laut China Selatan adalah salah satu perselisihan internasional yang paling kompleks dan berlarut-larut di dunia saat ini. Laut ini, yang kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, serta memiliki jalur pelayaran internasional yang sangat penting, menjadi ajang klaim teritorial dari beberapa negara di Asia Tenggara dan China. Berikut adalah beberapa unsur utama yang membentuk krisis ini:
ADVERTISEMENT
1. Laut China Selatan mencakup wilayah yang diklaim oleh beberapa negara:
• China: Mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan “garis sembilan titik” (nine-dash line) yang memiliki sejarah panjang sejak abad ke-20. China menganggap klaim ini berdasarkan sejarah dan peta kuno.
• Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan: Negara-negara ini juga memiliki klaim tumpang tindih atas berbagai pulau dan wilayah laut, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel, yang merupakan titik fokus ketegangan.
2. Kepentingan Ekonomi dan Strategis
Laut China Selatan memiliki cadangan sumber daya alam yang sangat berharga. Sumber daya energi seperti minyak dan gas serta potensi penangkapan ikan yang melimpah membuat kawasan ini sangat penting dari sudut pandang ekonomi. Selain itu, lebih dari sepertiga perdagangan dunia melintasi Laut China Selatan, menjadikannya jalur pelayaran yang sangat vital bagi perdagangan internasional.
ADVERTISEMENT
3. Militerisasi dan Ketegangan
China telah membangun dan memodernisasi infrastruktur militernya di pulau-pulau yang diklaim, termasuk pulau-pulau yang terletak di Kepulauan Spratly dan Paracel. Ini mencakup pembangunan landasan pacu, radar, dan fasilitas militer lainnya. Tindakan ini memicu kekhawatiran negara-negara tetangga dan Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan dalam menjaga kebebasan navigasi di kawasan tersebut.
Upaya Diplomasi
1. Dialog dan Perundingan Multilateral: Salah satu inisiatif utama dalam meredakan ketegangan di Laut China Selatan adalah forum perundingan multilateral seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS). Dalam forum-forum ini, negara-negara anggota ASEAN berusaha untuk mengkomunikasikan kepentingan mereka dan mengupayakan penyelesaian damai dengan China dan negara-negara lain yang terlibat.
2. Deklarasi Perilaku Pihak-pihak di Laut China Selatan (DOC): Pada tahun 2002, negara-negara ASEAN dan China sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Perilaku Pihak-pihak di Laut China Selatan (DOC) yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi dialog. DOC berfokus pada penghindaran penggunaan kekerasan dan pentingnya penyelesaian sengketa melalui diplomasi.
ADVERTISEMENT
3. Perjanjian atau Kode Etik (COC): Untuk memperkuat DOC, ASEAN dan China juga berupaya merundingkan Kode Etik (COC) yang lebih formal dan mengikat. Perundingan mengenai COC dimulai pada 2013, dan meskipun belum sepenuhnya tercapai, tujuan utama dari COC adalah untuk mencegah eskalasi konflik dan meningkatkan transparansi dalam aktivitas militer di Laut China Selatan.
4. Penggunaan Penyelesaian Hukum Internasional: Negara-negara seperti Filipina mengandalkan saluran hukum internasional untuk menyelesaikan perselisihan mereka dengan China. Salah satu contoh yang menonjol adalah putusan Pengadilan Arbitrase PBB pada 2016, yang menguatkan klaim Filipina atas hak-hak maritim di Laut China Selatan dan menolak klaim China yang berbasis pada “sembilan garis putus” (nine-dash line). Meskipun China tidak mengakui keputusan tersebut, keputusan ini memberikan preseden penting dalam memperjuangkan penyelesaian damai melalui hukum internasional.
ADVERTISEMENT
5. Pendekatan Bilateral: Selain diplomasi multilateral, negara-negara yang terlibat, seperti China dan Vietnam atau China dan Filipina, juga melakukan dialog bilateral untuk meredakan ketegangan dan mencari solusi yang lebih spesifik untuk masing-masing negara. China sendiri seringkali menekankan penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung tanpa melibatkan pihak ketiga atau forum internasional.
Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa kemajuan dalam diplomasi di Laut China Selatan, tantangan besar tetap ada. Perbedaan klaim teritorial, kekhawatiran akan dominasi China, serta ketegangan militer di kawasan ini tetap menjadi hambatan besar dalam mencapai solusi yang langgeng. Namun, diplomasi tetap dianggap sebagai jalur utama untuk mengurangi risiko konflik terbuka dan menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efektif.
ADVERTISEMENT