Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bahasa Ny(s)astra yang Katanya Menye-menye
25 Desember 2021 6:43 WIB
Tulisan dari Meyvia Natallia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernah nggak sih, kamu denger lagu-lagu yang liriknya puitis atau terlalu nyastra, sampai-sampai kamu nggak paham sama makna lagunya?
ADVERTISEMENT
Atau mungkin kamu sering menemukan quotes-quotes yang menurut kamu bahasanya nyastra banget di media sosial?
Mungkin juga, kamu nggak suka karya sastra yang sifatnya terlalu serius akan bahasa nyastranya sehingga memilih untuk menggandrungi karya sastra yang bersifat populer karena bahasanya lebih mudah dipahami.
Tidak semua masyarakat Indonesia dapat benar-benar memahami bahasanya sendiri, apalagi diksi-diksi bahasa yang bernilai estetika. Masyarakat Indonesia biasanya lebih menyukai bahasa-bahasa yang lebih mudah dimaknai dan tidak banyak menggunakan bahasa kiasan. Penggunaan bahasa yang nyastra banget sering dipandang sebelah mata karena, dianggap sok puitis, terlalu menye-menye dan hiperbola alias berlebihan bin alay.
Sudah lama sekali, saya pernah membaca perdebatan antar netizen di salah satu platform media sosial. Topik perdebatan mereka membahas tentang bahasa yang dianggap kelewatan nyastra pada lirik lagu musik bergenre indie. Beberapa di antaranya masih ada yang memandang dan menilai bahwa lagu-lagu bergenre indie di zaman now cenderung sok puitis dan berlebihan. Selain itu, saya juga memiliki teman yang sering memperlihatkan karya-karyanya yang menggunakan bahasa sastra berupa puisi atau quotes di media sosial. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari tak jarang ia menggunakan bahasa yang nyastra banget saat berkomunikasi atau mengungkapkan sesuatu kepada lawan tuturnya. Hal tersebut mungkin saja dapat mempersulit lawan tuturnya dalam memahami apa yang disampaikan oleh si penutur.
ADVERTISEMENT
Tetapi, bukankah memahami setiap makna diksi-diksi bahasa Indonesia yang dianggap nyastra banget juga merupakan kewajiban kita sebagai masyarakat Indonesia?
Setiap orang pasti memiliki pendapat dan pandangannya sendiri dalam menilai sesuatu. Setiap orang juga memiliki selera dan kesukaan yang berbeda. Namun, pendapat yang cenderung menilai sesuatu dengan sebelah mata dan menganggap bahwa selera dan kesukaannya yang terbaik, dapat menimbulkan masalah. Pendapat seseorang yang cenderung memojokkan, dapat memunculkan stigma dan stereotip yang bersifat negatif. Bagi seseorang yang menggunakan bahasa sastra dalam kehidupan sehari-hari cenderung diberi stigma negatif. Stigma ‘alay’, ‘lebay’, ‘sok puitis’, dan 'menye-menye' juga disematkan kepada orang yang menggunakan diksi-diksi bahasa sastra.
Menurut saya, pendapat yang memunculkan stigma negatif seperti itu, dapat membuat semangat seseorang mengendur untuk mempelajari diksi-diksi bahasa Indonesia yang bernilai estetika. Semangat mereka untuk mempelajari bahasa akan mudah luntur karena takut diberi label yang cenderung mendiskreditkan. Mereka akan lebih memilih untuk mengikuti arus yang diikuti oleh mayoritas agar dianggap normal dan tidak diberi stigma negatif.
ADVERTISEMENT
Jika mempelajari dan menguasai bahasa nyastra yang bernilai estetika dianggap alay dan menye-menye, bagaimana dengan orang-orang yang lebih memilih untuk menguasai bahasa asing?
Bagaimana dengan penggunaan bahasa Inggris yang cenderung digunakan saat berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari?
Mengapa orang-orang yang menguasai bahasa asing sering dianggap keren?
Bukankah penggunaan bahasa asing yang berlebihan dapat menghilangkan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia sehingga menjadikan bahasa Indonesia punah?
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai bangsa Indonesia untuk terus mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia bukanlah sebatas bahasa yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, kita dapat mempelajarinya secara mendalam setiap kata-katanya. Banyak diksi-diksi bahasa Indonesia yang bernilai estetika sehingga mampu melahirkan karya-karya sastra yang bernilai. Oleh sebab itu, sebagai generasi penerus bangsa sudah sepatutnya kita terus mempelajari dan menguasai kekayaan bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ingat, selain menguasai bahasa asing, kita juga harus mengutamakan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia.