Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Koran Fisik dan Mahasiswa Jurnalistik
11 Juni 2024 11:06 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Fhandra Hardiyon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak kemunculan koran cetak di tahun 1605 oleh seorang penulis kenamaan Jerman bernama Johann Carolus, informasi tak lagi disiarkan dari mulut ke mulut tanpa ada bukti yang substantif.
ADVERTISEMENT
Dahulu, informasi menemui medianya sendiri, dalam bentuk cetak. Berita, koran, dan pembaca menjadi elemen yang utuh dan tak bisa dipisahkan, bak rantai makanan makhluk hidup, hubungan trilogi itu kerap bersitegang panas – dingin nan berkecamuk tiada tara.
Lantas, apa hubungannya dengan mahasiswa jurnalistik? Sederhananya, ayam menghasilkan telur dan sapi menghasilkan susu. Begitu pula, jurnalistik menghasilkan produk turunan asli, berita.
Mahasiswa jurnalistik yang mempelajari seluk-beluk fakta, peristiwa atau proses disertai penjelasan riwayat terjadinya, duduk perkara, dan cara kerjanya bisa dibilang kental pendekatannya melalui pemberitaan di koran.
Menelaah di Setiap Bait Koran Fisik
Di tengah zaman yang semakin terdigitalisasi ini, informasi atas pemberitaan semakin masif terjadi. Dibuktikan lewat gempuran berita di media online, jenis media satu ini memainkan peran yang luar biasa dan tak bisa dipandang sebelah mata.
ADVERTISEMENT
Bagi mahasiswa jurnalistik, khususnya yang mengeyam perkuliahan di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), rasa-rasanya sudah tak asing lagi meski ditengah gempuran tersebut malah menganalisa pemberitaan lewat media cetak yang dinilai telah ‘usang’ ini.
“Jangan lupa ya, besok ada tugas analisa koran fisik. Bebas medianya apa aja, yang penting analisa pemberitaannya yang teliti, ya,” tutur ketua kelas.
Pasti, jika ketua kelas sudah memberikan arahan seperti itu, mahasiswa di dalam kelas seakan dibuat jantungan, napasnya terengah-engah, membayangkan betapa sulitnya menemukan secercah prasasti yang bernama koran fisik.
“Allahu,” ungkap kagetnya mahasiswa.
Tiga semester awal merupakan masa-masa kritis mahasiswa jurnalistik PNJ yang kerjaannya mengotak-atik setiap lembar koran, merangkai validitas pemberitaan sesuai dengan kaidah jurnalistik, menganalisa fraud secara teknikal pemberitaan yang seharusnya tak layak untuk ditayangkan.
ADVERTISEMENT
Menyenangkan rasanya dapat menelisik variabel-variabel di atas, makanya tak heran kalau mahasiswa jurnalistik sering dicap sebagai mahasiswa yang paling apik, paling up to date, dan paling berpedoman alias etikal dalam hal mencerna fakta.
Wahai Loper Koran
Disisi lain, bukan hanya kesusahan ketika mulai menganalisa berita, apalagi yang bernuansa politik. Tantangan sebelumnya adalah bagaimana cara menemukan koran fisik yang terbit di hari itu juga, bukan hal yang gampang mencari sang loper koran di era sekarang.
“Astaga, gue aja nemu abang-abang koran ini di Stasiun Bogor, sedangkan rumah gue di perbatasan Depok. Bersyukur banget deh ketemu abang-abang ini. Kalau nggak ketemu, gue nggak tau gimana nasib nilai ini,” kata salah satu mahasiswa.
Saat-saat semester itu lah mahasiswa sering kali ‘mendewakan’ sang loper koran. Kehadirannya bak mampu mengubah masa depan, tetapi memang seperti itu kenyataannya, media cetak semakin kesini semakin tergerus dan hanya tinggal kenangan.
ADVERTISEMENT
Bekal yang Terkenang
Sebagai informasi, sekitar 50 persen para dosen jurnalisme di PNJ merupakan mantan reporter, mantan redaktur surat kabar di beragam media, mereka sudah melanglang buana puluhan tahun menggoreskan karya jurnalistiknya. Terhormat dapat dibimbing oleh mereka-mereka yang ahli di bidangnya.
Kenangan itu lah yang membawa mahasiswa jurnalistik lekat dengan koran.
Semangat koran cetak di tengah arus media online mampu membawa sumbu percaya diri sekaligus refleksi bagi mahasiswa bahwa tak ada yang tak mungkin selama produk jurnalistik tersebut bisa bermanfaat, beradaptasi, dan berdampak bagi masyarakat.
“Di Amerika, presiden memerintah selama empat tahun, dan jurnalisme memerintah selama-lamanya.” – Oscar Wilde (1854-1900).