Mencermati Makna Berketuhanan

Muhammad Fhandra Hardiyon
Mahasiswa Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta. Menulis itu bagian dari siklus anak muda.
Konten dari Pengguna
20 April 2024 23:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fhandra Hardiyon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Vihara Mahacetya Dhanagun, Bogor (Dok Pribadi/M Fhandra H)
zoom-in-whitePerbesar
Vihara Mahacetya Dhanagun, Bogor (Dok Pribadi/M Fhandra H)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia, satu bangsa untuk semua suku bangsa dan bangsa yang ada dan hidup di Bumi Nusantara. Semua suku bangsa memiliki kebebasan berkebudayaan demi kemajuan Indonesia yang dimiliki bersama. Aspek berkebudayaan di dalamnya mengandung aspek religius atau aspek berkepercayaan terhadap “Tuhan” yang diyakininya.
ADVERTISEMENT
Kalaulah merujuk pada keanekaragaman kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara, kita akan melihat keanekaragaman kepercayaan kepada Tuhan dengan berbagai ekpresi budaya spiritual dan dalam berbagai ritual yang dilakukannya.
Semua bentuk kehidupan berkepercayaan itu dijadikan landasan bersama sebagai bangsa Indonesia dalam kerangka sistem nilai kepercayaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan Itu Satu
Berlatar malam hari menjelang 1 Juni 1945, sang founding fathers Soekarno bercakap-cakap dengan KH. Masjkur, Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir, dan Yamin. Dari percakapan itu, tampak nilai ketuhanan sedari awal diajukan dalam soal penentuan dasar negara. Soekarno mengatakan dengan lantang,
“Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan. Cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan. Kalau begitu, negara kita dari dulu sudah ketuhanan. Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan. Bagaimana Islam? Ketuhanan. Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Tulis. Tulis Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?”
ADVERTISEMENT
Melalui percakapan di atas, kiranya memang masyarakat Nusantara dahulu telah mencari ‘sosok’ Tuhan dalam berbagai lawatannya. Konsep berketuhanan telah berkembang seiring modernisasi manusia itu sendiri, tentunya lewat berbagai pendekatan teologis dan dogmatis kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, era kolonialisme bangsa Eropa, hingga masuknya Islam ke Nusantara.
Seorang pemuka agama Buddha di lingkup Vihara Mahacetya Dhanagun Bogor, Kusumah atau eksis disapa Koh Ayung pernah mengatakan bahwa konsep Tuhan itu sebenarnya satu. Menurutnya gambaran Tuhan bisa berupa banyak, tapi tak menambah eksistensi sesuatu yang menjadi objek bayangan ‘Tuhan’ itu sendiri.
“Gini, kalau menurut saya konsep Tuhan itu satu. Gambaran Tuhan emang bisa berupa banyak sekali, ragamnya, macamnya, menurut penganut tiap agama. Namun, hal tersebut tak menambah eksistensi sesuatu yang menjadi objek bayangan ‘Tuhan’ itu sendiri,” ungkapnya sambil memperlihatkan bingkai foto sejarah Viraha Dhanagun.
ADVERTISEMENT
Terlihat belantara Vihara dari ujung ke ujung dipenuhi ornamen khas orang Tionghoa, warna merah pekat mendominasi penglihatan. Ternyata, Vihara ini bukan sembarang Vihara, tapi tempat sakral ini memiliki tiga aliran kepercayaan Tao, Buddha, dan Konghucu. “Ho Tek Bio” artinya “Tempat Kebijakan Dewa”.
Bukan Sekadar Ungkapan Bernegara
Sambil menyeruput teh panas di Kota Hujan, melampaui ruang-ruang realitas dari sebuah bangunan yang sekarang dinobatkan menjadi cagar budaya di kota itu, Koh Ayung menuturkan konsep berketuhanan harus dimaknai sebagai cita-cita luhur bangsa Indonesia yang telah merdeka. Konsep berketuhanan sudah seayalnya menemukan dimensi ruang khusus agar tak lagi mudah dikotak-kotakkan.
“Ketuhanan itu seharusnya dipandang sebagai akar untuk menyatukan kita sebagai masyarakat Indonesia, para pendiri bangsa sepakat di dalam Pancasila sila pertama disebut mengenai berketuhanan, gunanya ya agar Indonesia tak gampang dipecah-pecah satu sama lain. Ingat, kita itu pluralitas,” ujar Koh Ayung dengan semangat yang menggebu-gebu.
ADVERTISEMENT
Kalau kata pepatah Sunda, sesama manusia itu “Kudu silih asih silih asah jeung silih asuh,” saling mengasihi, saling mengajari, dan saling menjaga satu sama lain. Menurut Koh Ayung sebagai orang yang bisa agama Buddha di hati setiap insan manusia sudah ada perasaan batiniah tersebut, landasannya satu, tiang keagamaan.
“Kalau menyinggung tentang toleransi, memang sejak dahulu kita orang sudah bersatu. Bisa dibilang dahulu nenek moyang yang mendiami wilayah Bogor kan sangat beragam ya, jika tarik ke sejarah itu dahulu Bogor dihuni oleh kemajemukan yang luar biasa banyak,” paparnya.
Bulan, semakin terlihat memuncaki senja kala itu. Sebelum tutup percakapan, Koh Ayung yang sedang diselimuti rasa kecemasan sebab khawatir akan masa depan generasi muda mengatakan pluralitas dalam berketuhanan akan menghasilkan nilai-nilai toleran. Menurutnya, kunci untuk jadi manusia toleran hanya satu yaitu saling menghargai.
ADVERTISEMENT
“Pluraritas dan toleransi itu hal yang tidak bisa dipisahkan, kunci untuk menjadi manusia toleran hanya satu yaitu saling menghargai, dengan saling menghargai manusia sudah lebih selangkah maju dari orang lain,” tutup Koh Ayung dengan bisikan lirihnya berharap besar pada para generasi muda.