Konten dari Pengguna

Pandemi COVID-19: Apakah Ini Waktu yang Tepat untuk Mengurangi Leverage Emiten?

Mohamad Fany Alfarisi
Penulis dalah Direktur Lembaga Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas dan anggota Islamic Economic For Indonesia Development (ISEFID).
19 Juni 2020 22:06 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Fany Alfarisi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi virus corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi virus corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia sedang dilanda pandemi Covid-19. Sejauh ini penyakit yang disebabkan oleh virus Sars-Cov 2 ini telah menginfeksi lebih dari 6 juta orang penduduk bumi dan menyebabkan kematian hampir 400 ribu jiwa. Penyebaran penyakit yang bermula dari Wuhan, Tiongkok ini sudah menyebar hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu di Indonesia, sebaran infeksi Covid-19 masih menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Sejauh ini prospek recovery dari krisis kesehatan ini masih belum jelas diantaranya karena belum ada vaksin atau obat yang efektif dapat menyembuhkan Covid-19 ini.
Pandemi Covid-19 ini bisa dianggap krisis kesehatan yang multidimensi. Selain berdampak pada kesehatan masyarakat, bencana kesehatan ini juga berpengaruh negatif pada ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat. Di sisi ekonomi dan bisnis, pandemi Covid-19 menyebabkan berkurangnya permintaan barang dan jasa karena implementasi lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) oleh beberapa negara dan wilayah. Akibatnya sektor usaha mengalami penurunan kegiatan dan arus kas. Konsekuensi dari situasi ini adalah banyak perusahaan harus menutup kegiatan operasionalnya dan merumahkan sebagian karyawan.
ADVERTISEMENT
Selain berpengaruh pada sektor rill, pandemi Covid-19 juga berpengaruh pada sektor keuangan. Salah satu sektor yang terpuruk pada saat situasi pandemi ini adalah pasar modal khususnya pasar saham. Indikasi ini bisa dilihat dari data IHSG yang telah menurun sebesar 23 persen sejak awal tahun 2020 (year to date). Tren penurunan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga dirasakan pasar saham di berbagai negara. Misalnya beberapa indeks pasar saham dunia seperti Dow Jones, FTSE, Hang Seng dan Shanghai Composite telah terkoreksi signifikan sejak awal tahun 2020.
Untuk merespon penurunan harga saham, pada bulan Maret 2020 OJK telah mengeluarkan Surat Edaran No 3/SEOJK.04/2020 tentang pembelian kembali saham dalam kondisi pasar yang berfluktuasi. Secara garis besar surat edaran ini merupakan bentuk deregulasi untuk memberikan kemudahan bagi emiten dalam membeli kembali saham. Di antara kemudahan tersebut adalah pembelian kembali saham dapat dilakukan tanpa melalui RUPS dan jumlahnya bisa lebih 10% dari modal disetor. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah agar laju penurunan harga saham dapat diperlambat dan pasar saham bisa kembali bergairah.
ADVERTISEMENT
Beberapa emiten bereaksi terhadap surat edaran ini dengan mengumumkan rencana pembelian kembali saham. Menurut catatan BEI ada 67 perusahaan yang sudah menyampaikan maksud untuk melakuan pembelian kembali. Di antara rencana pembelian kembali yang terbesar dari sisi nilai adalah BRI (BBRI) mengumumkan akan melakukan pembeli sebesar Rp 3 triliun, diikuti BNI (BNI) sebesar Rp 1,8 triliun dan Barito Pacific (BRPT) senilai Rp 1 triliun. Selain itu, bagi BUMN memang ada semacam instruksi dari Kementerian BUMN untuk melakukan pembelian kembali saham.
Pembelian kembali saham (share buyback atau share repurchase) merupakan tindakan korporasi membeli kembali saham sendiri dari pemegang saham atau investor. Setelah pembelian kembali saham terealisasi, maka jumlah saham beredar akan berkurang dan saham yang dibeli akan menjadi treasury stocks. Untuk membeli kembali saham, emiten dapat menggunakan tiga metode berikut, yaitu (1) melalui transaksi di pasar saham, (2) melalui tender offer, (3) menggunakan Dutch auction.
ADVERTISEMENT
Pembelian kembali saham terkait dengan kebijakan struktur modal perusahaan. Kebijakan mengenai struktur modal merupakan salah satu kebijakan penting dan strategis perusahaan. Kebijakan ini terkait dengan bagaimana perusahaan membagi proporsi sumber dana utang (leverage) dan ekuitas (saham) untuk membiayai kegiatannya. Selain itu manajer keuangan juga perlu mencari bauran sumber dana yang biayanya paling murah (weighted average cost of capital).
Ketika perusahaan memutuskan membeli kembali saham, maka ini berimplikasi pada menurunnya proporsi ekuitas relatif terhadap utang perusahaan. Jika asumsinya adalah nilai aset perusahaan tidak berubah, maka perusahaan menurunkan jumlah ekuitas dan meningkatkan jumlah utang. Sehingga rasio utang terhadap ekuitas akan meningkat dari sebelumnya.
Terkait dengan kebijakan pembelian saham perusahaan yang marak beberapa bulan ini, pertanyaanya apakah kebijakan tersebut dapat memberikan manfaat untuk perusahaan dan pemegang saham? Jawaban dari pertanyaan ini bisa jadi ada manfaat atau bisa jadi juga tidak ada manfaat.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi mereka yang mendapat manfaat dari pembelian kembali saham adalah para pemegang saham yang membutuhkan dana cepat, atau mereka yang ingin mengurangi kerugian dalam jangka pendek atau mengubah portofolio aset. Mungkin juga manfaat dari pembelian kembali saham oleh banyak perusahaan untuk mengurangi laju penurunan harga saham dan angka indeks pasar saham.
Namun jika kita lihat dari perspektif lain, pembelian kembali saham ketika ketidakpastian sedang tinggi bisa jadi tidak terlalu bermanfaat untuk perusahaan dan pemegang saham. Ketika kondisi pasar yang sangat tidak menentu seperti saat ini maka harga saham cenderung turun. Emiten dapat membeli kembali saham dengan harga rendah sementara pemegang saham bisa jadi tidak mendapat keuntungan atau sekadar mengurangi potensi kerugian investasi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ketika perusahaan membeli kembali saham, maka akan meningkatkan porsi utang (leverage) dalam struktur modal perusahaan. Leverage dapat meningkatkan atau mengungkit kinerja perusahaan di kala situasi ekonomi sedang bagus. Namun ketika situasi ekonomi sedang terpuruk, maka leverage justru akan semakin menekan profitabilitas perusahaan.
Hal ini disebabkan sifat leverage yang merupakan biaya tetap. Maksudnya, perusahaan tetap harus membayar biaya penggunaan leverage (bunga) meskipun kinerja perusahaan sedang menurun. Ketika pendapatan perusahaan menurun, karena dibelakukannya PSBB, sementara biaya tidak berubah maka laba akan berkurang. Implikasi berikutnya adalah dividen bagi pemegang saham akan berkurang. Berdasarkan penjelasan tadi dapat dikatakan, leverage lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat bagi perusahaan dan pemegang saham khususnya di masa-masa sulit.
ADVERTISEMENT
Maka menurut hemat kami, perusahaan dengan kas yang memadai seharusnya mengurangi porsi leverage di struktur modal khususnya di tengah situasi penuh risiko seperti saat ini. Perusahaan dapat melakukan pengurangan leverage melalui percepatan pelunasan obligasi yang berbentuk callable bonds, mengkonversi convertible bonds menjadi saham atau mempercepat pembayaran kembali kredit dari bank atau lembaga keuangan lainnya. Jika ini dilakukan maka perusahaan akan memiliki struktur modal dengan porsi leverage yang lebih sedikit.
Dengan jumlah leverage yang rendah, perusahaan dapat mengurangi biaya tetap yang harus ditanggung. Selanjutnya hal ini dapat diterjemahkan menjadi postur keuangan perusahaan yang lebih fleksibel dan mudah beradaptasi di tengah situasi yang penuh ketidakpastian. Selain itu struktur modal yang rendah leverage juga bermanfaat bagi pemegang saham. Ketika, jumlah leverage menurun maka beban bunga bisa ditekan sehingga profitabilitas bisa dinaikkan. Kemudian, perusahaan dapat lebih banyak memiliki laba ditahan atau memberikan dividen kepada pemegang saham.
ADVERTISEMENT
Jadi perlu dipahami bahwa pimpinan perusahaan perlu mengambil kebijakan yang paling bermanfaat bagi perusahaan dan pemegang saham. Oleh karena itu emiten tidak perlu sekedar mengikuti tren atau saran yang tidak mendukung meningkatnya nilai dan kinerja keuangan perusahaan. Sebagian besar emiten sepertinya masih menunggu di mana per 27 Mei 2020 realisasi pembelian kembali saham baru mencapai 8,1 persen. Mudah-mudahan pengambil kebijakan di korporasi bisa lebih tenang dan tidak panik dalam menghadapi situasi seperti saat ini.
Bercermin dari krisis keuangan global 2008, leverage yang berlebihan telah dituding menjadi pemicu utama bankrutnya lembaga keuangan dan perusahaan di berbagai negara. Oleh karena itu, kita perlu belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dengan kata lain, pengurangan leverage perlu dilakukan untuk melindungi perusahaan dan pemegang saham dari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi di tengah Pandemi Covid-19 ini.
ADVERTISEMENT