Konten dari Pengguna

Akibat Keterikatan Mahasiswa Terhadap Teman Cerita Lawan Jenis

Muhammad Habibullah
Seorang Mahasiswa UIN Jakarta
18 Juni 2024 6:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 28 Juni 2024 17:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Habibullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahasiswa dalam kesehariannya dituntut untuk melakukan segala yang mereka butuhkan secara mandiri, hal itu yang menjadikan mereka tumbuh menjadi individu yang lebih kuat dan mandiri. Namun, ada saja keluhan yang harus dicurahkan, entah kepada teman atau kepada pasangan _bagi mereka yang memilikinya.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja, seorang pria melekat padanya kekuatan, sementara pada wanita melekat sebuah kelembutan. Dalam kondisi seperti ini, timbul anggapan bahwa bercerita tentang masalah lebih tepat diungkapkan kepada teman lawan jenis, sebab dengan karakter yang berbeda dari keduanya akan menuju pada titik untuk menemukan solusi atau sekadar tanggapan yang lebih hangat.
https://www.pexels.com/id-id/foto/kota-restoran-rumah-makan-pria-26087386/
Jadi, kelembutan dari seorang wanita dibutuhkan oleh pria, pun sebaliknya kekuatan seorang pria dibutuhkan oleh wanita. Kondisi semacam ini terus terjadi dalam kehidupan mahasiswa yang ingin melepas penat ketika di luar kampus, entah di tempat perkopian atau tempat-tempat yang membuat mereka nyaman untuk melakukan kegiatan mengadu nasib.
Beranjak dari tempat dan waktu yang pertama dilanjutkan ke tempat dan waktu kedua dan seterusnya, pada akhirnya mereka akan merasa nyaman, menjadikan mereka memiliki ketergantungan antara satu dan lainnya. Keduanya sama-sama memiliki solusi yang sama ketika masalah sedang mengguyur satu atau keduanya.
ADVERTISEMENT
Bagi mahasiswa yang memiliki pasangan, akan lebih mudah untuk melakukannya. Tapi bagaimana nasib mereka yang belum memilikinya, apakah bercerita kepada orang tua? Atau kepada teman satu kos? Jawabannya adalah sedikit dari mereka akan bercerita kepada orang tua, entah anggapan bahwa bercerita hal semacam itu tidak pantas ataupun malu, sebab masalah dari seorang mahasiswa tidak hanya sebatas masalah belajar, lebih dari itu juga terkait asmara yang sedang mereka jalani atau perasaan dalam lubuk hati.
Dalam posisi semacam ini, pilihan yang mereka ambil adalah mencari teman lawan jenis, dalam tanda petik sekalipun hal itu bukan niat awal namun itu kenyataan yang sering terjadi. Mungkin pepatah bahwa “tidak mungkin dua orang lawan jenis yang sering bertemu dan berinteraksi antara keduanya tidak timbul rasa suka walau sebutir pasir” menjadi problem yang akan menambah masalah atau malah mendatangkan kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Dalam memahami maksud dari kalimat “timbul rasa suka” sebenarnya bukanlah rasa cinta, tetapi rasa kenyamanan. Ketika rasa nyaman itu timbul di antara pria dan wanita, hal itu tidak lagi menjadi perasaan yang lumrah karena ada sesuatu yang spesial di antara dua karakter. Berbeda konteks ketika nyaman itu timbul antara orang tua dan anak atau pun teman sesama jenis, sebab keduanya memiliki karakter yang sama, orang tua dan anak disebabkan genetik sedangkan yang nomor dua memiliki jenis yang sama.
https://www.pexels.com/id-id/foto/restoran-rumah-makan-pengusaha-pebisnis-23496904/
Kalimat witing tresno jalaran soko kulino merupakan pepatah dalam bahasa Jawa yang memiliki makna "cinta tumbuh karena terbiasa." Maksud dari pepatah ini adalah bahwa rasa cinta atau kasih sayang sering kali muncul atau berkembang seiring dengan seringnya interaksi atau kebersamaan dengan seseorang. Kebiasaan bertemu dan berinteraksi dapat menumbuhkan perasaan yang lebih dalam dari sekadar perkenalan awal.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan nasib dari interaksi semacam ini adalah memendam bahkan mengkhianati perasaan mereka sendiri sekalipun hal itu menyakitkan. Namun, juga tidak sedikit yang sampai mengungkapkan perasaannya, di antaranya ada yang diterima ada juga yang ditolak, artinya tidak selalu dampak dari interaksi sosial semacam ini berdampak positif ataupun negatif terhadap pelakunya. Semuanya tergantung bagaimana mereka menanggapinya. Pada akhirnya, hal ini adalah tradisi yang sulit untuk diubah dan menggantinya dengan yang lain. Yang patut dilakukan adalah menjaga perasaan kita supaya tidak berkeliaran sebebas mungkin.