Konten dari Pengguna

Menjadikan Machiaveli sebagai Mesin Pendorong Negara Demokrasi

Muhammad Habibullah
Seorang Mahasiswa UIN Jakarta
18 Juni 2024 6:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Habibullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Rosemary Ketchum: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-berunjuk-rasa-di-jalan-1464223/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Rosemary Ketchum: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-berunjuk-rasa-di-jalan-1464223/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap bidang keilmuan pastilah akan ada persamaan juga perbedaan, dalam praktiknya terkadang disiplin keilmuan saling menentang. Ketika bidang ilmu politik mengatakan, bahwa semua yang dilakukan dalam rangka mempertahankan kedaulatan negara, diutamakan, sekalipun hal tersebut melanggar hak asasi warga negara. Namun berbeda pendapat jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan, salah-satunya kebudayaan di Jawa. Seorang penguasa dalam menjalankan tugas negara, tidak boleh sedikit pun menelantarkan nasib masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada abad ini, setelah adanya penstrukturan bidang-bidang dalam keilmuan, banyak pelanggaran yang dilakukan, oleh oknum pemerintahan salah-satunya. Melangkahi satu bidang keilmuan, demi terlaksananya ego yang mengakar di dalam kepala. Tanpa rasa bersalah, merekayasa bahwa tindakan yang mereka buat adalah benar. Semua masyarakat akan setuju dan harus patuh terhadap keputusan yang dia buat.
Pencerahan adalah transisi dari abat kegelapan menuju abat modern (14-16 M). Sekali dalam sejarah kemanusiaan, menjadi sebuah rekam jejak yang pernah tercipta. Akhir dari muramnya keilmuan yang diredupkan oleh agama selama berabad-abad. Menuju zaman puritanisme para agamawan yang merasa kekuasaannya tidak lagi superior.
Pemicu munculnya gerakan pencerahan ini adalah sikap muak para ilmuan yang telah lama geram akan perilaku kaum agamawan, yang selalu menempatkan ajaran mereka di atas segalanya. Bersamaan pula melemahnya kekuatan agama, disebabkan terpecahnya persatuan gereja di Eropa barat.
ADVERTISEMENT
Tumbangnya sistem feodal, yaitu sistem politik yang selalu dipegang oleh kaum bangsawan. Menciptakan tatanan sosial tuan tanah dan pekerja, menuju terbentuknya dan berkembangnya embrio negara nasional, menjadi hiasan pada masa-masa pencerahan. Banyak negara yang membebaskan diri dan mengubah haluan politik negara mereka, menjadi negara yang lebih demokrasi dan lebih manusiawi.
Di wajah abad yang baru ini, dikatakan negara yang baik, ketika tidak ada lagi diskriminasi mayoritas terhadap minoritas, tidak ada lagi kekuasaan yang hanya untuk kepentingan pribadi. Semua sistem yang berlaku tidak lain hanya sebatas untuk kebaikan bangsa dan umum. Kebenaran riil atau kebaikan umum, satu-satunya yang dapat terlihat dalam setiap kebijakan pemerintahan. Tidak ada manipulasi politik, yang menguntungkan sebagian pihak.
ADVERTISEMENT
Semua tindakan penguasa, semata karena cinta terhadap tanah air, itu kebenaran bagi umum. Machiavelli mengatakan hal tersebut bukan tanpa sebab, dia juga mengajukan syarat dalam melaksanakannya. Betapa tidak beretika dan juga buas, seorang pemimpin yang hanya memuaskan nafsu politik, memperkosa konstitusi, dan merampas hak pengikutnya. Membutakan keadaan, seakan sedang baik-baik saja. Merekayasa jalannya pemerintahan sesuai keinginan sendiri, tidak boleh ada orang yang menentang, atau itu akan mendatangkan musibah. Dengan kekuasaan yang mereka pegang, tuhan pun tidak ada hak di hadapan mereka.
Kebaikan bangsa bagi mereka, mungkin tidak bagi masyarakat. ketika menghalalkan semua cara, demi mencapai apa yang mereka anggap paling benar. Namun, apakah kebaikan bangsa, menurut mereka itu telah benar adanya. Itu adalah rahasia, belum ada transparansi terhadap banyak orang, sebab kebenarannya hanya berlaku di wilayah orang-orang yang juga mendapat keuntungan, sesama penguasa yang haus akan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
ST. Thomas dan Marsilius mengatakan, bahwa otoritas kekuasaan berada di tangan rakyat. Legislatif membuat hukum berdasarkan tujuan hukum, bukan kemanfaatan bagi semua warganya. Mereka berdua juga mendefinisikan kegunaan hukum dengan narasi yang sama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan dasar dan biologis masyarakat. Untuk sekian kalinya, ada beberapa oknum yang menafsirkan definisi hukum mereka, dengan definisi yang berpaling dari kebaikan masyarakat dan bangsa.
Foto oleh fauxels: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-orang-berpegangan-tangan-satu-sama-lain-3184423/
Kesepakatan orang banyak, atau suara mayoritas itu adalah adil dan syah. Sebuah jargon yang cocok digunakan untuk negara yang menganut sistem demokrasi. Tidak ada lagi keputusan negara yang tertutup, semuanya harus dilandasi dengan mendengar suara rakyat. Jangan sampai ada perang ego, hanya boleh perang gagasan. Gagasan dalam memajukan bangsa dan kebaikan warga negara, menjadi utama dalam setiap keputusan penguasa. Tidak lagi ditempatkan pada prinsip kenegarawanan.
ADVERTISEMENT
Membungkam hak bersuara, sudah sepatutnya dihindari. Kebebasan berpendapat, sangat diutamakan bagi bangsa demokrasi, jangan ada pembatasan dalam berpendapat. Pendapat adalah buah pemikiran, tidak butuh terhadap sebuah penilaian. Cara penyampaian, sepatutnya tidak dirumuskan menjadi sebuah frasa, sebab kata perumusan akan mengubah, jalan kebebasan menuju jalan kebisuan.
Masyarakat tidak lagi punya muka di hadapan penguasa, mereka yang tidak sepakat dengan kebijakan, tidak ada hak untuk mengoreksi. Dengan kata lain, negara tidak lagi menjalankan kekuasaannya, sebagaimana mestinya. Tapi melakukan dengan apa adanya. Di situlah benih-benih parasit demokrasi mulai tumbuh. Menggerogoti isi otak penguasa, demi keberlangsungan keluarga tercinta.
Dalam memimpin negara, penguasa jangan hanya mengandalkan isi kepala. Isi hati juga penting dalam menjalankan takhta. Namun, apabila hati sang penguasa telah mati, waktunya bagi dia untuk undur diri. Sebab tidak ada kebaikan lagi dalam dirinya, hanya kerusuhan yang akan dia perbuat lagi dan lagi.
ADVERTISEMENT