Teknologi Digital, Post-truth, dan Politik

M Hafid
Mantan Ketua FKMSB Jabodetabek periode 2018-2019. Alumni Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konten dari Pengguna
6 Juni 2023 16:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Hafid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi teknologi blockchain. Foto: NicoElNino/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teknologi blockchain. Foto: NicoElNino/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dewasa ini, manusia kian akrab dengan teknologi digital, di mana hampir seluruh waktunya tidak terpisahkan dengan "makhluk jadi-jadian" ini. Kehidupan realitas semakin "sepi" dari tindak tanduk laku masyarakat, teknologi digital menggiring manusia untuk meninggalkan dunia realitas dengan memasuki realitas palsu atau jika meminjam istilah yang digaungkan oleh Jean Baudrillard, dunia hyper reality.
ADVERTISEMENT
Kondisi itulah yang kini tengah dihadapi masyarakat di dunia tak terkecuali Indonesia, di mana terdapat dua kehidupan yang mesti dijalani sepanjang nafasnya. Manusia dipaksa dan sekaligus terpaksa untuk menyandang dua identitas bahkan lebih, manusia bisa menjadi apa dan siapa saja dalam dunia ini. Fenomena itu kalau dalam diskursus Filsafat Teknologi dapat disebut sebagai world polygamy, yaitu manusia yang hidup dalam banyak dunia, termasuk juga yang memiliki berbagai identitas.
Dunia teknologi digital telah membawa manusia kepada sifat ganda dalam waktu yang bersamaan, menjadi orang baik di dunia realitas sekaligus menjadi buruk di realitas palsu dan begitu pun sebaliknya. Ada pergeseran nilai secara ugal-ugalan, juga pergeseran peradaban dan keadaban sosial yang sudah bergumul sepanjang kehidupan realitas manusia.
ADVERTISEMENT
Peradaban manusia terdistorsi dan menjelma menjadi kebiadaban dengan berbagai tindakan amoral yang memenuhi dunia digital terlebih media massa. Segala bentuk ujaran kebencian, hoaks, saling menghina dan tindakan buruk lainnya telah mengancam ruang publik sehingga menimbulkan kecemasan sosial yang berkepanjangan. Kebohongan demi kebohongan kian membanjiri jagat digital yang diakibatkan derasnya arus informasi yang mengkoyak-koyak persepsi masyarakat akan realitas yang ada.
Tidak terbendungnya arus informasi tersebut menciptakan cacat informasi di dunia digital dan menyebabkan masyarakat mengkonsumsi informasi dengan tanpa tindakan kritis dan skeptis, dalam artian masyarakat menelan informasi secara mentah-mentah tanpa menguji validitas dan kebenaran informasi tersebut, ditambah lagi produksi informasi saat ini meninggalkan fakta, data, dan realita tapi lebih mengedepankan emosi, atensi, dan sensasi. Fenomena ini yang kemudian dikenal dengan istilah Post-truth (pasca kebenaran).
ADVERTISEMENT
Post-truth sebagai suatu era di mana kebenaran semakin tampak buram, pendapat masyarakat tidak dibentuk oleh fakta dan data yang valid, tetapi sentimen. Kebohongan dan manipulasi menjadi bahan bakar yang dengan cepat menyulut emosi sehingga terjadi prahara yang berkelindan di tengah masyarakat, terlebih di tahun politik seperti sekarang ini.
Stuart Sim dalam bukunya "Post-Truth, Scapticism and Power" mengungkapkan bahwa post-truth bukan hanya perkara relativitas kebenaran yang menjadi perdebatan masyarakat, akan tetapi terdapat suatu kekuatan untuk mengontrol masyarakat demi suatu tujuan. Kontrol tersebut dengan cara mengaduk emosi dan sengaja membunuh penalaran masyarakat.
Artinya, lahirnya fenomena ini sangat bersinggungan dengan skema politik yang menggunakan teknologi digital sebagai komoditas untuk mengaburkan fakta dan kebenaran sehingga yang terjadi hanya pembenaran terhadap suatu golongan yang memiliki kekuatan penuh atas media massa dan digital.
ADVERTISEMENT
Akal dan penalaran masyarakat "dibunuh" perlahan sehingga mereka yang memiliki niat bulus politik dengan gampang mengaduk emosi masyarakat. Alhasil objektivitas dan "truth" yang semestinya dipanjangkan umurnya hilang begitu saja dan musnah.
Bencana yang lain pun akan lahir, seperti perpecahan, intoleransi hingga tindakan anarkis antar golongan atau jika meminjam istilah dari Ulil Abshar Abdalla, terjadi pengutuban politik, di mana setiap golongan akan mengumpulkan kekuatan untuk saling menyerang dan membabat golongan yang berseberangan baik secara identitas keagamaan, ideologi, dan keimanan politiknya.
Pengutuban tidak hanya terjadi di dunia digital tapi juga merambat ke dalam realitas sosial kemasyarakatan, mereka yang berbeda secara golongan akan saling mencacimaki dan tak sedikit juga yang sampai memakan korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Maraknya pengutuban di era pasca kebenaran ini karena jagat digital memberikan ruang gema (echo chamber) yang memantulkan narasi seirama dalam hal keyakinan politik dari suatu golongan yang secara berulang-ulang dan dikonsumsi tanpa menerima narasi dari golongan lainnya.
Kemelut sosial ini akan terus menjalar dan tumbuh subur seiring saling merasa menjadi pemilik kebenaran politik di antara golongan tersebut. Harus ada pihak atau cara dalam memutus mata rantai kekacauan ini sehingga masyarakat tidak terus terperangkap dalam ruang gema informasi palsu.
Ada salah satu cara yang diajukan oleh seorang filsuf kontemporer, Karl Popper untuk setidaknya meminimalisir kemelut sosial yang diakibatkan ketergesaan dalam menelan informasi yang mengandung provokasi, yaitu metode falsifikasi. Metode ini bekerja untuk melihat atau menilai sesuatu dari sisi kesalahannya.
ADVERTISEMENT
Artinya, dalam proses mencari kebenaran informasi yang dilakukan terlebih dahulu bukan mencari pembenaran, melainkan pencarian kebenaran dalam kemungkinan kesalahan dari informasi tersebut. Dalam hal ini, ada upaya kritis yang dilakukan dan tidak tergesa-gesa dalam mencerna informasi.
Upaya falsifikasi memang tidak mudah dalam derasnya arus informasi bohong atau hoaks seperti saat ini. Diperlukan filterasi yang ketat serta check and recheck terhadap suatu informasi yang diterima sehingga tidak terjerumus ke dalam kesesatan informasi.