Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kaji Ulang Pengawasan Kemitraan UMKM di Indonesia
21 Januari 2023 15:37 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mhd Hadyan Yunhas Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Untuk itu pengembangan model bisnis UMKM merupakan hal yang sangat penting. Sebagai upaya mengembangkan UMKM pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU No.20/2008). Peraturan tersebut merumuskan kemitraan sebagai kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung dengan dilakukan berdasarkan prinsip saling memerlukan, saling percaya, saling menguatkan, dan saling menguntungkan antara pelaku usaha yang bermitra yaitu UMKM dengan Usaha Besar.
ADVERTISEMENT
Kemitraan tersebut dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk seperti: (i) inti-plasma; (ii) subkontrak; (iii) waralaba; (iv) perdagangan umum; (v) distribusi dan (vi) keagenan; dan (vii) bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).
Penyelenggaraan kemitraan antara pelaku usaha besar/menengah dengan pelaku UMKM memiliki beberapa tujuan antara lain:
a. mendorong terwujudnya struktur ekonomi nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
b. mendorong pertumbuhan dan pengembangan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah bertransformasi menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
c. mendorong peningkatan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam penciptaan lapangan kerja, pembangunan daerah, pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, serta pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Melihat berbagai tujuan positif yang dapat dicapai dengan pelaksanaan program kemitraan tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan dalam program tersebut seperti penguasaan dan eksploitasi UMKM oleh pelaku usaha besar, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mencegah munculnya penyimpangan dalam pelaksanaan kemitraan, UU No.20/2008 mengamanatkan untuk dilakukan pengawasan atas pelaksanaan kemitraan oleh lembaga yang berkompeten dan berwenang untuk mengawasi persaingan usaha yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ketentuan tersebut, KPPU ditafsirkan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menjalankan amanat UU No.20/2008. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (PP No.17/2013) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP No.7/2021) mempertegas bahwa kewenangan pengawasan kemitraan UMKM dengan pelaku usaha besar ada pada lembaga tersebut.
Distorsi berpikir dalam melihat kemitraan semakin parah ketika KPPU memandang pendekatan kemitraan tidak lagi dengan pendekatan pencegahan, melainkan dengan pendekatan penegakan hukum. Padahal, semangat adanya pengaturan pengawasan kemitraan pada UU UMKM bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Sebab, melalui pencegahan, pelaku usaha masih diberikan kesempatan untuk mengubah perilaku menjadi lebih baik sehingga kemitraan yang dilaksanakan dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Paradigma penegakan hukum yang diterapkan KPPU dalam pengawasan kemitraan merupakan hal yang wajar karena budaya penegak hukum yang melekat pada KPPU. Sebab, KPPU merupakan lembaga penegak hukum persaingan usaha di Indonesia yang didirikan berdasarkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Perpres No.75/1999). KPPU dimandatkan oleh negara sebagai institusi yang bertugas untuk menegakkan UU No.5/1999.
Peraturan tersebut menentukan serangkaian fungsi yang dimiliki KPPU dalam melakukan penegakan UU No.5/1999 antara lain:
a. Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan;
ADVERTISEMENT
b. pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan;
c. pelaksanaan administratif.
Hingga hari ini, KPPU sudah memutus 5 (lima) perkara terkait dengan pelanggaran kemitraan UMKM. Dari keseluruhan perkara tersebut, terdapat 2 (dua) putusan yang menghukum pelaku usaha terlapor karena terbukti melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 35 UU No.20/2008 yaitu dalam putusan Perkara nomor 03/KPPU-K/2021 atas nama terlapor PT Suryabumi Tunggal Perkasa dan putusan Perkara Nomor 09/KPPU-K/2020 atas nama terlapor PT Sinar Ternak Sejahtera. KPPU memposisikan dirinya sebagai penegak hukum. Hal ini dapat dikatakan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika kita melihat pada konteks penegakan UU No.5/1999.
UU No.20/2008 membatasi kewenangan KPPU hanya sebatas mengawasi, bukan melakukan serangkaian tindakan Pro Justitia dalam pengawasan kemitraan meskipun akhirnya diperluas kembali melalui PP No.17/2013 jo. PP No.7/2021 yang membuka ruang KPPU untuk menghukum pelaku usaha yang melakukan penindakan atas pelanggaran pada Pasal 35 UU No.20/2008.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan baru: apakah norma yang memberikan seluruh kewenangan penegakan hukum kepada satu institusi sudah tepat? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Pemerintah dapat memperluas kewenangan suatu institusi penegak hukum yang notebenya kewenangan institusi tersebut sudah diatur berdasarkan Undang-Undang yang secara hierarki kedudukannya lebih tinggi?
Hal ini dapat dikatakan tidak biasa jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam dalam pengawasan pelaksanaan kemitraan antara pelaku usaha besar/menengah dengan pelaku usaha UMK. Negara-negara tersebut menentukan bahwa pengawasan kemitraan harus dilakukan oleh institusi tersendiri yang fokus mengawasi pelaksanaan kemitraan.
Sebagai contoh, Malaysia dan Vietnam memiliki regulasi yang mengatur tentang kemitraan antara pelaku UMKM dengan pelaku usaha besar. Malaysia sebagai negara dengan sistem hukum Common Law, menentukan bahwa pengawasan kemitraan dilakukan oleh Kementerian Koperasi Malaysia melalui Small Medium Enterprise Body (SME Body). Kewenangan SME Body hanya sebatas mengevaluasi dan tidak memiliki kewenangan untuk menghukum. Fokus utama pengawasan kemitraan oleh SME Body di Malaysia hanya sebatas pada pengembangan bisnis pelaku usaha kecil dan menengah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Vietnam sebagai negara dengan sistem hukum Civil Law yang sama dengan Indonesia membentuk Agency for Enterprise Development (AED). AED memiliki tugas untuk mengurusi segala hal terkait dengan kemitraan di Vietnam mulai dari pengembangan bisnis hingga pengawasan pelaksanaan kegiatan tersebut. Kedua negara tersebut, penegakan hukum dilakukan sebagai upaya terakhir jika pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran dalam kemitraan tidak mematuhi anjuran yang disampaikan oleh otoritas yang mengawasi kemitraan.
Rekonstruksi pengawasan kemitraan merupakan hal yang penting. Hal ini untuk meluruskan distorsi paradigma pengawasan kemitraan yang dilakukan oleh KPPU. Sebab, semangat adanya UU No.20/2008 adalah mendorong sinergi antara UMK dan pelaku usaha besar atau menengah untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan dan tentunya dapat mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Bukan untuk mencari-cari kesalahan para pihak yang sedang berjuang untuk mengembangkan perekonomian Indonesia khususnya pada sektor UMKM.
ADVERTISEMENT