Konten dari Pengguna

Resistensi Dalihan Natolu di Tengah Gempuran Modernitas Generasi Muda Kota Medan

Fikri Haikal
Fikri Haikal merupakan seorang mahasiswa yang memiliki ketertarikan di bidang kepenulisan dan desain grafis. Ia juga aktif dalam organisasi pers kampus bernama Persma Pijar USU.
10 Oktober 2024 11:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Haikal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dalihan Natolu diibaratkan sebagai tungku masak yang memiliki tiga kali | Sumber foto: Dokumentasi Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Dalihan Natolu diibaratkan sebagai tungku masak yang memiliki tiga kali | Sumber foto: Dokumentasi Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hukum Adat Dalihan Natolu mungkin sudah terasa famiiliar bagi sebagian orang, akan tetapi untuk sebagian orang lain istilah ini sedikit terdengar asing. Hukum Adat Dalihan Natolu sendiri merupakan falsafah kehidupan bagi masyarakat Batak, khususnya Suku Batak Toba yang diwariskan secara turun-temurun. Hukum ini memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sosial sebagian masyarakat karena bertujuan untuk memperlihatkan kesamaan peran, kewajiban, serta hak setiap anggota keluarga yang ada di Suku Batak Toba.
ADVERTISEMENT
Dalihan Natolu diumpamakan sebagai tungku masak yang memiliki tiga kaki. Ketiga kaki tersebut melambangkan tiga unsur hubungan kekeluargaan yang ada di dalam Suku Batak yaitu Somba Marhulahula (Tulang), Boru (Anak Perempuan), dan Dongan Tubu (Teman Marga). Somba Marhulahula memiliki makna hormat kepada hulahula, yakni kelompok marga dari istri, sedangkan Elek Marboru adalah sikap lembut kepada boru atau anak perempuan, dan yang terakhir yaitu sikap berhati-hati terhadap sesama marga atau Dongan Tubu pada saat dilaksanakannya kegiatan adat.
Dalihan Natolu sangat menarik untuk diulik karena dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan seperti dijadikan pengatur interaksi sosial untuk menjaga kerukunan dan kekerabatan masyarakat Suku Batak Toba. Sistem ini mengatur bagaimana individu dalam berperilaku dan berinteraksi satu sama lain khususnya dengan orang-orang yang memiliki kesamaan silsilah marga dan keluarga. Hukum adat ini juga dapat dijadikan sebagai mediasi yang aman dan damai dalam penyelesaian masalah kehidupan.
ADVERTISEMENT
Hukum Adat Dalihan Natolu sangat penting peranannya dalam hubungan kekeluargaan, namun penulis menyayangkan bahwa pada saat ini masih banyak pihak, khususnya generasi muda Suku Batak Toba di Kota Medan kurang memahami dengan baik hukum adat ini. Penulis memandang hal ini disebabkan karena berbagai faktor, seperti lingkungan, pengalaman orang tua, dan pengaruh dari globalisasi. Faktor lingkungan memiliki pengaruh penting dalam membangun pemahaman terkait hukum adat yang ada, contohnya anak yang hidup pada lingkungan yang masih kental dengan adat, dimana hukum adat digunakan dalam berbagai hal, seperti pemenuhan kebutuhan, kegiatan rutin, dan sistem norma. Hal ini tentunya akan berbeda dengan anak lain yang hidup di daerah dengan keterbatasan adat istiadat, salah satunya adalah Kota Medan. Selain itu orang tua juga memiliki andil besar dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum adat terhadap anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
Argumen penulis turut diperkuat dengan hasil wawancara bersama salah seorang mahasiswi Universitas Sumatera Utara (USU) yang berasal dari daerah Samosir yaitu Dormaulina Sitanggang. Pada hasil wawancara, Dormaulina menilai bahwa orang tuanya memiliki andil yang penting dalam mengajarkannya pengetahuan tentang budaya di Samosir, termasuk Hukum Adat Dalihan Natolu. Bentuk pengajaran ini diaplikasikan lewat ajakan untuk menghadiri berbagai upacara adat serta berkenalan dengan berbagai sanak saudara. Modernitas juga menjadi faktor utama sekaligus tantangan terhadap eksistensi hukum adat ini, dimana sebagian orang menilai jika hukum adat yang berlaku sulit untuk dilakukan maka akan ditinggalkan akibat dari sudah banyak orang-orang untuk memilih kegiatan yang lebih praktis.
Dalihan Natolu dinilai tidak akan mudah hilang begitu saja, karena setiap hukum adat pasti akan selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, hal ini juga sesuai dengan pendapat dari Fikarwin, selaku Dosen Antropologi USU. Ia mengungkapkan bahwa Hukum Adat Dalihan Natolu akan tetap bertahan apabila dilakukan modifikasi dan pembauran, yang berarti hukum-hukum adat akan menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada sehingga akan terus ada di masyarakat dengan berbagai pembaruan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai generasi muda untuk tetap melestarikannya agar tidak hilang tergerus oleh zaman. Dalam menjaganya dibutuhkan peranan dari berbagai pihak, seperti peran dari pemerintah, masyarakat, dan diri sendiri. Pemerintah berperan dalam membentuk cagar budaya atau komunnitas yang bergerak di bidang pelestarian budaya dan membuat peraturan perundang-undangan untuk menjaga nilai-nilai dalam hukum adat yang ada, seperti dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang kemajuan kebudayaan yang bertujuan untuk meningkatkan kontribusi dan ketahanan budaya Indonesia.
Di lain sisi, masyarakat dapat mengambil peran untuk melestarikan hukum adat melalui berbagai kegiatan yang dapat dilakukan seperti upacara adat dan melakukan inovasi produk daerah seperti ulos, serta penerapan hukum adat ke kegiatan yang sederhana, agar pengetahuan terkait hukum adat tetap bisa diwariskan dari masa ke masa. Dan yang utama adalah kesadaran dari diri sendiri untuk tetap belajar dan mempraktikkan hukum adat ini dalam kehidupan sosial budaya, khususnya generasi muda agar selalu aktif dalam mengambil peran menjaga kelestarian budaya dan berani untuk ikut serta dalam setiap kegiatan adat sebagai bentuk menjaga identitas suku Batak Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan.
ADVERTISEMENT