Sakustik Junior Menyuguhkan Monolog di Pekan Kebudayaan Nasional 2023

Muhamad Rafi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
3 November 2023 13:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Rafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Alih Wahana: Menyadarkan Penonton Melalui Monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo pada Pekan Kebudayaan Nasional 2023

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan salah satu titik penyelenggara ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Pekan Kebudayaan Nasional 2023 bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pekan Kebudayaan Nasional 2023 mengusung tema “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan, Kebudayaan Milik Semua”, sedangkan tema yang diusung pada ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berkolaborasi dengan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah “Resonansi Budaya Islam dari Ciputat untuk Dunia”.
ADVERTISEMENT
Tema tersebut ingin menghadirkan adanya semangat pengenalan budaya yang diracik pada rangkaian acara. Dari rangkaian acara itulah nantinya akan dijadikan wadah kolektif yang melibatkan berbagai aspek dan juga akan menjadi wadah mahasiswa untuk menampilkan bakat yang dimilikinya, seperti membaca puisi, teatrikal puisi, dramatisasi puisi, monolog, dan lain sebagainya.
Ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional yang berkolaborasi dengan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mempunyai sasaran yang ingin digapai. Pada rangkaian acara ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional 2023, program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengaktivasi ruang lobi serta selasar lobi timur Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai ruang publik untuk bersemangat dalam kebudayaan.
Adanya aktivasi ruang publik tersebut, dosen, mahasiswa, alumni, komunitas budaya, sampai masyarakat umum diundang dalam ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional agar terlibat aktif mengapresiasi kebudayaan Islam di kampus Ciputat, salah satunya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun rangkaian acara ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional 2023, yaitu semakan puisi, workshop inventarisasi Pojok Baca Danarto, bedah buku “Surat Jibril” karya Maftuhah Jakfar, workshop Stand Up Comedy, diskusi lukisan Islam, hingga tribute budayawan muslim Ciputat.
dokumentasi pribadi
Pada kesempatan kali ini, Sakustik menjadi kolaborator dari rangkaian acara ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional 2023, yaitu pada acara Semakan Puisi. Pada hari Jum’at, 20 Oktober 2023 Sakustik menampilkan sebuah pertunjukan monolog. Sakustik pertama kalinya membawakan monolog yang biasanya Sakustik hanya membawakan musikalisasi puisi, teatrikal puisi, dramatisasi puisi, atau pembacaan puisi. Bukan hal yang mudah untuk menggarap monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo.
ADVERTISEMENT
Apalagi monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dipentaskan di acara yang terbilang penting. Pengalaman yang luar biasa bagi orang-orang yang ada di belakang maupun depan panggung bisa membawakan monolog tersebut di acara Pekan Kebudayaan Nasional. Naskah Dilarang Mencintai Bunga-Bunga merupakan sebuah cerita pendek yang diadaptasi menjadi naskah monolog. Naskah tersebut diadaptasi oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta semester 5 yang bernama Ajie Dzulvian Akbar dan Hesti. Monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga disutradarai oleh Ajie dan Hesti. Aktor atau pemain dari monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga adalah Muhamad Rafi alias penulis.
Tema yang diangkat pada ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional 2023 yang berkolaborasi dengan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah religius. Dalam monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo banyak mengandung nilai-nilai yang secara tidak sadar bisa menyadarkan para pembaca cerita pendeknya atau yang menonton monolog di Semakan Puisi.
ADVERTISEMENT
Naskah monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga diadaptasi dari buku cerita pendeknya, lalu cerita pendek tersebut dialih wahanakan menjadi sebuah pertunjukan monolog. Pada cerita pendek yang diadaptasi menjadi naskah monolog sebenarnya tidak banyak perbandingan yang spesifik untuk dibandingkan.
Melihat berdasarkan unsur intrinsiknya cerita pendek dengan naskah monolog sebenarnya sama saja, akan tetapi pada saat dipentaskan menjadi monolog, Rafi selaku aktor atau pemain monolog tersebut mempunyai representasi sendiri dari berbagai tokoh yang dimainkan pada saat bermonolog. Pada saat dipentaskan menjadi monolog, tokoh yang terdapat dalam naskah Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dibuat sedikit berbeda, salah satunya pada tokoh Buyung.
Akan tetapi, yang menjadi perbedaan antara naskah monolog dengan naskah aslinya terutama dari segi karakter tokoh tidak keluar dari pesan yang disampaikannya. Selain itu, karena keterbatasan tata panggung atau artistik, naskah monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dibuat secara sederhana dan menghilangkan atau mengubahnya beberapa kalimat yang sekiranya sulit untuk bisa melakukan adegan dan tentunya tanpa menghilangkan pesan yang ingin disampaikan pada naskah aslinya.
ADVERTISEMENT
Karakter tokoh Buyung sedikit berbeda dengan karakter yang dimainkan pada pertunjukan monolog. Perbedaan karakter tersebut terjadi karena adanya penambahan karakter pada tokoh Buyung. Walaupun sedikit penambahan karakter tetap saja masih bisa dibandingkan. Tokoh Buyung di naskah aslinya memiliki karakter yang haus dengan pengetahuan, penuh rasa penasaran, sedangkan jika dipentaskan ke dalam monolog, Buyung adalah orang yang pasrah dengan keadaan.
Ia harus menuruti perintah Ayahnya yang menyuruh kerja karena Buyung adalah seorang laki-laki. Selain itu, dalam monolog tersebut, Buyung digambarkan sebagai anak yang lelah dengan keadaan karena selalu disudutkan oleh Ayahnya untuk bekerja.
Tentu saja, baik dalam cerita pendeknya atau dalam pementasan monolog, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga memberikan nilai-nilai kehidupan yang dapat menyadarkan para penonton. Karena tema yang diangkat pada ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional dengan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah religiusitas, maka pada monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga lebih menekankan pada nilai religiusnya, akan tetapi bukan hanya nilai religius saja ada nilai-nilai lainnya yang secara tidak sadar juga mampu menyadarkan penonton.
ADVERTISEMENT
Nilai religius dalam monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga tergambar pada dialog kakek yang menyadarkan bahwa hidup seperti layang-layang.
“Jangan sedih, Cuk hidup adalah permainan layang-layang. Setiap orang suka bermain layang-layang. Layang-layang bisa putus, engkau bisa sedih, engkau bisa sengsara. Tetapi engkau akan terus memainkan layang-layang”
Dialog di atas menyadarkan bahwa hidup di dunia seperti layang-layang yang sifatnya hanya sementara. Bermain layang-layang bisa putus, digambarkan bahwa manusia di dunia hanya sementara dan kembali kepada Tuhan. Nilai religius selanjutnya tergambar pada tokoh kakek dan Buyung. Cinta persaudaran antara kakek dan Buyung adalah penggambaran bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain dan dari situlah tumbuh rasa cinta antar sesama. Sepatutnya secara agama kita harus bersaudara, walaupun bukan sekandung. Hal tersebut juga tergambar dalam dialog Ibu “kita harus hidup bersama dengan orang-orang lain”.
ADVERTISEMENT
Nilai lainnya yang terdapat pada monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga secara tidak sadar terdapat pergulatan antara maskulinitas dan feminisme. Maskulinitas tergambar pada sosok Ayah yang selalu memarahi Buyung karena kecintaannya pada bunga. Ayah melarang Buyung untuk memelihara bunga-bunga. Penggambaran bunga memang identik dengan perempuan, ketika ada laki-laki yang menyukai bunga tidak jarang orang akan mengatakan bahwa laki-laki tidak perlu bunga. Pada monolog tersebut feminisme digambarkan pada dialog Ayah yang mengatakan bahwa “jika kau perempuan boleh kau memelihara bunga ini, tapi engkau laki-laki, Buyung!”.
Memang bahwa sejatinya hanya perempuan dapat memelihara bunga-bunga. Padahal jika kita sadar bunga adalah jenis tanaman atau tumbuhan. Siapapun bisa memelihara tanaman tidak mengenal laki atau perempuan. Hanya saja semua tergantung pada pemikiran masing-masing orang. Pergulatan yang terjadi antara maskulinitas dan feminisme di dalam cerita pendek atau naskah monolog menjadi poin utama juga yang sebenarnya ingin disampaikan. Hanya yang menjadi masalah adalah apakah penonton bisa menerima pesan yang disampaikan pada monolog tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi, dapat disimpulkan cerita pendek Dilarang Mencintai Bunga-Bunga diadaptasi menjadi naskah monolog dan kemudian dipentaskan adanya perbedaan. Perbandingan antara naskah asli dengan monolog terlihat pada perubahan atau penambahan karakter, terutama pada tokoh Buyung. Secara tidak sadar banyak nilai-nilai yang terkandung dalam pementasan monolog tersebut. Hanya saja penonton sadar atau tidak pada pesan yang disampaikan dari monolog Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.