Konten dari Pengguna
Bagaimana Memahami Budaya di Era Modern Terhadap Ragam Mitos Tak Masuk Akalnya?
13 Juni 2025 12:59 WIB
·
waktu baca 6 menitKiriman Pengguna
Bagaimana Memahami Budaya di Era Modern Terhadap Ragam Mitos Tak Masuk Akalnya?
Di era modern, budaya dengan mitos lokal yang sakral seringkali dianggal irasional. Namun, ini bukan tentang logis atau ilogis, melainkan tentang bagaimana mitos tersebut merawat kehidupan alam kita!Nazam

Tulisan dari Nazam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hari ini, ilmu pengetahuan sudah sangat maju sehingga memudahkan semua orang terutama kalangan muda untuk mendapatkan informasi yang utuh atas berbagai informasi dinamika kehidupan sosial, mulai dari karya-karya ilmiah di tingkat nasional hingga internasional.
ADVERTISEMENT
Seiring akses pendidikan dan informasi mudah ditemukan, kita juga perlahan memperbaharui gaya-gaya pengetahuan atas klaim-klaim tidak berdasar atas beragam fenomena budaya sosial dari orang tua dan warisan nenek moyang bahari. Hal ini mungkin mirip seperti zaman filsafat Pra-Socrates di Yunani Kono pada 2.500 tahun silam, di mana mereka meninggalkan mitos-mitos dan menggunakan nalar (logos) dalam memahami semesta.
Sekarang, segala sesuatu harus bisa diukur, dibuktikan, dan dijelaskan secara logis. Lantas, bagaimana kita menyikapi warisan budaya dan klaim berbagai mitos yang tidak masuk akal, seperti cerita buaya sungai yang dianggap sebagai leluhur, atau pohon keramat yang ada penunggunya?
Narasi-narasi ini seringkali dicap irasional, tak berdasar, bahkan ketinggalan zaman. Namun, apakah benar demikian? Atau, jangan-jangan, kita justru kehilangan sebuah perspektif krusial yang dulu pernah menjaga keseimbangan hidup manusia dengan alam sekitarnya?
ADVERTISEMENT
Contoh, mitos buaya sebagai leluhur di beberapa daerah diantaranya seperti masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan dan Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Bagi akal modern, gagasan ini mungkin terdengar aneh, bahkan lucu. Bagaimana mungkin reptil berdarah dingin yang ganas itu adalah nenek moyang manusia atau seorang manusia yang menjelma buaya? Dari sudut pandang biologis, tentu saja irasional dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Tapi, mari coba geser lensa kita dari sekadar biologis ke sosiologis dan ekologis. Di masa lalu, ketika pengetahuan ilmiah modern tentang ekosistem belum menyentuh semua lapisan masyarakat, keyakinan bahwa buaya adalah penjaga atau leluhur justru menanamkan rasa hormat dan bahkan ketakutan tersendiri terhadap makhluk tersebut dan habitatnya.
Sungai menjadi tempat yang dijaga, dihindari dari perusakan, dan keberadaannya tidak diganggu sembarangan. Mitos ini secara efektif berfungsi sebagai mekanisme konservasi alam purba, jauh sebelum ada konsep cagar alam atau undang-undang lingkungan hidup. Bukankah ironis, di saat kita sekarang berjuang mati-matian mengatasi pencemaran sungai dan kepunahan spesies, nenek moyang kita sudah memiliki cara yang kita anggap irasional, tidak logis, namun sangat efektif untuk merawat ekosistemnya?
ADVERTISEMENT
Mitos, pada dasarnya bukanlah sekadar cerita dongeng pengantar tidur. Ia adalah sebuah struktur naratif yang sarat makna, berfungsi sebagai jembatan antara yang tak terlihat dengan yang terlihat, antara alam gaib dengan alam nyata. Dalam konteks budaya lokal, mitos seringkali menjadi perekat sosial yang kuat, pedoman etika, dan bahkan peta jalan untuk berinteraksi dengan lingkungan.
Profesor Clifford Geertz, dalam karyanya The Interpretation of Cultures (1973) menunjukkan bagaimana sistem simbol, termasuk mitos, adalah kerangka yang memungkinkan manusia memahami dunia dan menata perilakunya. Geertz menekankan bahwa budaya adalah jaring makna yang ditenun oleh manusia, dan analisis budaya bukanlah ilmu eksperimental yang mencari hukum, melainkan ilmu interpretatif yang mencari makna. Maka, ketika kita melabelinya sebagai irasional, kita mungkin telah gagal memahami fungsi laten yang jauh lebih dalam dari narasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Lihat saja bagaimana mitos-mitos tentang hutan larangan atau pohon-pohon besar yang dianggap memiliki penunggu di berbagai daerah Indonesia. Keyakinan bahwa ada entitas tak kasat mata yang menghuni tempat-tempat itu, dan bisa mendatangkan malapetaka jika diganggu, mungkin tampak seperti takhayul belaka. Namun, efek riilnya adalah pencegahan deforestasi yang brutal. Masyarakat berpikir dua kali sebelum menebang pohon sembarangan atau membuka lahan di area yang dianggap sakral.
Ini adalah regulasi sosial yang tidak tertulis zaman dulu, dan jauh lebih efektif daripada banyak aturan pemerintah modern yang seringkali dilanggar hari ini. Mitos semacam itu, di tengah keterbatasan teknologi dan pemahaman ilmiah, menjadi penjaga keseimbangan ekologis yang luar biasa. Ia adalah bentuk kearifan lokal yang terbungkus dalam jubah cerita dan kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Menghormati budaya lokal, dengan segala mitosnya yang mungkin terdengar aneh bagi kita bukanlah tentang logis atau tidak logis, tapi bagaimana memahami konteks historis, sosiologis, dan ekologis di baliknya. Ini bukan berarti kita harus percaya pada setiap detail mitos tersebut secara harfiah. Kita tidak perlu meyakini bahwa buaya adalah manusia leluhur atau kembaran gaib yang berubah wujud. Namun, kita perlu mengakui bahwa di balik cerita-cerita itu, terkandung prinsip-prinsip hidup yang berharga, nilai-nilai yang mengajarkan pentingnya menjaga alam, menghormati sesama, dan hidup selaras dengan lingkungan.
Pendekatan ini juga relevan dalam menghadapi tantangan modern. Bagaimana jika alih-alih menertawakan mitos buaya, kita justru mencari tahu bagaimana komunitas tersebut bisa mempertahankan ekosistemnya? Atau, alih-alih menolak mentah-mentah cerita tentang pohon keramat, kita justru mempelajari bagaimana kearifan lokal itu membantu menjaga keanekaragaman hayati? Ini adalah pendekatan yang ditawarkan oleh etnoekologi, sebuah bidang studi yang mencoba memahami bagaimana masyarakat tradisional berinteraksi dan memahami lingkungan mereka.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada Fikret Berkes dalam bukunya Sacred Ecology (2012), penelitian di bidang etnoekologi secara konsisten menunjukkan bahwa pengetahuan tradisional dan sistem kepercayaan seringkali mengandung prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, yang telah terbukti efektif selama berabad-abad. Oleh karenanya, mitos-mitos yang ada bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap kearifan ini. Tentu saja, pendekatan tersebut tidak menyarankan kita untuk kembali ke zaman prasejarah, melainkan untuk memetik pelajaran berharga dari masa lalu dan mengadaptasinya dalam konteks modern.
Tantangan bagi kita saat ini adalah menemukan cara untuk menjembatani rasionalitas ilmiah dengan kearifan tradisional. Ini bukan tentang memilih salah satu dan menolak yang lain, melainkan tentang mencari titik temu dan sinergi. Mungkin, daripada mencoba meluruskan mitos agar sesuai dengan sains yang tidak bisa mencapai titik temu kecuali cocoklogi-cocoklogi, kita justru punya potensi menggunakannya sebagai gerbang awal untuk diskusi yang lebih luas tentang konservasi, keadilan sosial, atau keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (unesco.org), mereka mengakui dan mempromosikan peran penting pengetahuan tradisional, termasuk cerita dan mitos, dalam upaya konservasi dan pembangunan berkelanjutan, sebagai bagian dari kekayaan warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage). Pengakuan ini menunjukkan bahwa narasi budaya, meski tidak selalu rasional dan ilmiah dalam artian saintifik, terkadang masih memiliki nilai praktis yang tidak bisa diabaikan.
Pada akhirnya, menghormati budaya lokal dengan ragam mitosnya adalah bentuk penghargaan terhadap pluralisme pengetahuan. Itu adalah pengakuan bahwa kebenaran tidak selalu hanya satu dimensi, dan bahwa ada banyak cara untuk memahami dan berinteraksi dengan dunia. Mitos-mitos yang tampak irasional itu bukanlah tanda keterbelakangan, melainkan seringkali merupakan artefak kecerdasan adaptif yang telah teruji selama ratusan hingga ribuan tahun.
ADVERTISEMENT
Hari ini mitos-mitos tersebut sudah banyak yang tidak mempercayainya, tidak disakralkan bahkan mungkin ada yang sudah meninggalkan tradisinya, pembalakan hutan baik oleh individu atau korporasi seringkali melanggar banyak aturan yang bahkan jelas-jelas ada ancaman hukuman pidananya. Sungai yang menjadi urat nadi kehidupan pun mulai tercemar oleh perusahaan-perusahaan besar, buaya yang katanya dapat melindungi pemilik atau turunannya pun kini tak dapat melindungi dirinya lagi. Maka, dengan segala tantangan yang ada, kita dituntut belajar dari sejarah dalam bagaimana nenek moyang kita dulu berhasil merawat alam melalui mitos-mitos tersebut, lalu memodifikasinya untuk keberlangsung alam Indonesia kedepan.
(Nz)