Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Mempertanyakan Obsesi Negara Terhadap Militerisme
10 November 2024 12:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mia Abz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prabowo dan Jalan Militerismenya
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Prabowo Subianto mengadakan pembekalan di Magelang memboyong serta anggota kabinet yang baru. Pembekalan ini tak hanya mengundang sorotan publik, tetapi juga memperlihatkan obsesi yang terus tumbuh negara kita terhadap militer dan militerisme. Kejadian ini mengangkat beberapa pertanyaan penting; mengapa militerisme begitu diagungkan, bahkan hingga memengaruhi tatanan sipil, dan sejauh mana negara akan harus mendorong peran militerisme dalam kehidupan masyarakat?
Militerisme sebagai Budaya
ADVERTISEMENT
Semakin hari, tampaknya negara kita cenderung mengidealkan militerisme sebagai simbol kedisiplinan, ketangguhan, dan nasionalisme. Militerisme di negara kita bukan sekadar institusi keamanan, tetapi lambang ketertiban dan stabilitas. Obsesi ini merambah ke dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sampai ke organisasi sipil dan birokrasi pemerintah.
Para antropolog, dalam Cultures of Militarism yang ditulis oleh Hugh Gusterson dan Catherine Besteman, memandang militerisme sebagai suatu sistem budaya; ia terbentuk melalui ideologi dan retorika, diwujudkan lewat tubuh dan teknologi, diatur agar tampak atau tersembunyi melalui kampanye pencitraan dan produksi pengetahuan, serta merambah berbagai aspek kehidupan sosial seperti reproduksi, citra diri, dan konsep tentang komunitas.
Contoh nyatanya adalah upaya negara yang makin menonjol untuk melibatkan pegawai negeri dalam kegiatan berbaris dan latihan fisik ala militer. Padahal, budaya militer yang dipaksakan ini sering kali tidak sesuai dengan esensi kerja sipil, yang semestinya lebih mengedepankan dialog, berbasis pelayanan, empati, dan inovasi ketimbang kedisiplinan yang kaku dan struktur hierarkis.
ADVERTISEMENT
Kembali ke latihan militer bagi kabinet yang baru, upaya ini memberi kesan kuat bahwa militerisme dianggap sebagai jalan utama untuk mengembangkan kedisiplinan dan kepemimpinan di pemerintahan. Namun, apakah benar bahwa sifat-sifat ini hanya dapat dicapai melalui pendekatan militer?
Kecenderungan untuk mengidealkan militer sebagai model utama dalam berbagai bidang kehidupan menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Militerisme juga lekat dengan tekanan terhadap tubuh, mental, dan pengalaman pribadi. Para antropolog mengungkapkan bahwa kedisiplinan dan keteraturan melalui kontrol tubuh sering kali membawa dampak yang berat, baik dalam bentuk trauma psikologis seperti PTSD maupun dalam bentuk budaya subordinasi yang merendahkan martabat individu.
Pada skala yang lebih luas, obsesi negara terhadap militerisme juga tercermin dalam bagaimana negara memperlakukan tubuh sebagai objek yang dapat dibentuk dan dikontrol demi kepentingan keamanan dan stabilitas nasional. Negara melihat bahwa tubuh sipil harus diasah dan diperkeras, seolah-olah untuk menghadapi ancaman yang selalu datang.
ADVERTISEMENT
Hal ini terlihat dari cara negara mengatur gerak pegawai negeri, membentuk identitas mereka, dan menentukan gaya hidup mereka. Negara tidak hanya membentuk tubuh melalui pelatihan fisik, tetapi juga mengontrol narasi besar tentang patriotisme, loyalitas, dan kepatuhan.
Namun, apakah pendekatan ini adil dan bijaksana bagi masyarakat sipil yang berbeda peran dan fungsinya dari militer? Apakah masuk akal bagi negara untuk memaksakan ideal militerisme dalam ruang-ruang sipil, dari pemerintahan hingga pendidikan?
Negara dan Obsesi Memiliterkan Rakyat
Menurut Nikhil Pal Singh dalam tulisannya yang berjudul Enough Toxic Militarism , obsesi negara terhadap militerisme bisa ditarik pada titik masa paling gelap dan menakutkan. Summum malum atau “sesuatu yang lebih buruk” kemudian diatasi dengan mendukung sebagian besar dengan memperkuat pertahanan negara dengan mempertahankan dominasi kekuatan untuk campur tangan di mana saja di dunia, terhadap musuh atau gabungan musuh apa pun, menjaga negara tetap aman, mempertahankan perdamaian global, dan memberikan jaminan terhadap munculnya “sesuatu yang lebih buruk.
ADVERTISEMENT
Padahal, pola pikir menggunakan dan mengagungkan militerisme, dan menjadikannya sebagai solusi atas trauma pos-kolonialisme, dapat membahayakan pluralitas dan nilai kemanusiaan. Pada titik tertentu, gagasan bahwa persatuan, loyalitas, dan ketahanan negara hanya bisa dicapai melalui latihan militer adalah bentuk penyeragaman yang merugikan. Obsesi terhadap militerisme menutup kemungkinan munculnya nilai-nilai sipil yang lebih humanis, yang menghargai keberagaman, toleransi, dan keterbukaan dalam tata kelola.
Obsesi ini juga mencerminkan ketidaksetaraan nilai antara tubuh-tubuh militer yang dianggap berharga dan pantas ditingkatkan dengan tubuh-tubuh sipil yang, dalam struktur militeristik, dianggap kurang penting dan lebih mudah diabaikan.
Dalam analisis global, praktik ini sering disebut sebagai "necropolitik"—di mana tubuh-tubuh bawahan atau subordinat ditandai untuk disiplin, kontrol, bahkan peminggiran. Dalam konteks militerisme Indonesia, hal ini terlihat dalam bagaimana negara terus menata cara pandang dan membatasi ruang gerak individu sipil melalui logika ketertiban militeristik.
ADVERTISEMENT
Penutup
Pada akhirnya, obsesi negara terhadap militerisme mengingatkan kita akan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kedisiplinan dan kemanusiaan, antara stabilitas dan kebebasan, antara keamanan dan keadilan. Obsesi terhadap militer sebagai simbol kedisiplinan dan ketangguhan seharusnya tidak sampai mengaburkan nilai-nilai sipil yang tak kalah pentingnya. Dalam masyarakat demokratis yang sehat, berbagai cara lain untuk membangun disiplin dan solidaritas dapat dan seharusnya dikembangkan, termasuk cara-cara yang menghormati keragaman, martabat, dan hak asasi manusia.