Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pilkada 2024 dan Wajah Lama: Gerontokrasi yang Menghambat Kaderisasi
31 Agustus 2024 12:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mia Abz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pilkada 2024 kembali dihiasi oleh wajah-wajah usang yang sudah lama wira-wiri di panggung politik. Nama-nama seperti Khofifah Indar Parawansa, Pramono Anung, Ridwan Kamil, Emil Dardak, kembali muncul sebagai calon kepala daerah menunjukkan seakan tidak ada sosok baru yang bisa diandalkan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menunjukkan bahwa partai politik belum mampu mencetak kader baru dan muda yang mampu bersaing, sehingga kursi kepemimpinan terus diisi oleh figur-figur yang sama. Keberadaan politisi-politisi tua seolah memperlihatkan bahwa regenerasi kepemimpinan hanyalah sebatas formalitas tanpa substansi nyata.
Kondisi politik ini menggambarkan pemerintahan masih diisi oleh orang-orang tua atau disebut dengan istilah gerontokrasi. Dari Presiden hingga anggota DPR, banyak yang usianya di atas 60 tahun. Meskipun usia yang tua sering dihubungkan dengan kebijaksanaan dan pengalaman, kenyataannya, generasi muda sering merasa tidak terwakili dalam pengambilan keputusan penting yang memengaruhi masa depan mereka.
Lalu, apa yang membuat gerontokrasi terjadi? Dan apa dampaknya jika gerontokrasi terus terjadi?
Pusaran Elite Enggan Kaderisasi
ADVERTISEMENT
Teori Elite yang diambil dari pemikiran Vilfredo Pareto menjelaskan bahwa dalam sistem politik, kekuasaan cenderung berputar dalam lingkaran kelompok-kelompok elite tertentu.
Pareto menjelaskan bahwa prinsipnya masyarakat selalu terbagi menjadi dua kelompok; yakni elite dan massa. Elite adalah mereka yang berada di puncak hierarki kekuasaan dan memiliki sumber daya untuk mempertahankan posisi mereka.
Kelompok elite cenderung mempertahankan kekuasaan mereka melalui jaringan patronase dengan membangun dan memelihara jaringan pendukung yang setia. Mereka juga mengontrol sumber daya untuk mengendalikan akses terhadap sumber daya ekonomi dan informasi.
Tidak hanya itu, kelompok politik elite juga memanipulasi proses politik sedemikian rupa untuk dapat menghambat munculnya pesaing baru.
Sementara massa adalah mayoritas yang tidak memiliki akses yang sama terhadap kekuasaan dan sumber daya.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, menurut Pareto dalam kelompok elite politik ada juga konsep "peredaran elite" atau circulation of elites, di mana dalam teori idealnya, mereka akan "mewariskan" posisi ini kepada orang-orang baru.
Meskipun begitu, orang-orang elite baru ini masih menjadi satu lingkaran yang tidak sepenuhnya terlepas dari kekuasaan orang-orang elite lama. Proses pengkaderan kelompok elite politik biasanya untuk tujuan "balas budi" atau "investasi" dalam jangka panjang.
Akibat konsep circulation of elites ini, partai-partai politik gagal menciptakan kader-kader muda yang siap mengambil alih tampuk kepemimpinan berdasarkan keahlian dan kemampuan.
Gerontokrasi Abaikan Representasi
Dominasi elite tua di panggung politik juga berdampak pada kualitas representasi politik. Hanna Pitkin, seorang filsuf politik, menegaskan bahwa representasi bukan hanya tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi juga siapa yang mereka wakili. Ketika kebijakan didominasi oleh mereka yang berusia lanjut, isu-isu yang penting bagi generasi muda seperti teknologi digital, pendidikan modern, dan perubahan iklim sering kali terabaikan.
ADVERTISEMENT
Pada RUU Penyiaran yang sempat membuat gaduh beberapa waktu lalu misalnya, jelas menunjukkan bahwa perumus kebijakan tidak berpihak kepada digital labour yang sangat terancam pekerjaannya karena dililit banyak aturan tak masuk akal.
Penanganan masalah serangan ransomware PDN, di antaranya, juga mengindikasikan pemimpin yang tidak kompeten dan meremehkan pentingnya teknologi data informasi. Jika saja kementerian dan lembaga dipegang oleh orang yang ahli di bidangnya masing-masing dan mengesampingkan kepentingan politik, agaknya pekerjaan rumah tangga negara akan dikerjakan lebih baik.
Hanna Pitkin, seorang filsuf politik, mengembangkan teori representasi yang memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana representasi politik bekerja dalam praktik.
Pitkin menguraikan beberapa dimensi penting dari representasi yang melampaui sekadar kehadiran fisik wakil rakyat dalam badan legislatif. Salah satunya adalah substansive representation.
ADVERTISEMENT
Substantive representation, dalam pandangan Pitkin, adalah tentang sejauh mana pemimpin politik benar-benar memperjuangkan kepentingan konstituen mereka dalam kebijakan dan tindakan politik. Hal ini mencakup lebih dari sekadar kehadiran fisik, tetapi tentang hasil konkret dari tindakan politik yang mencerminkan kepentingan dan kebutuhan konstituen. Politisi harus responsif terhadap isu-isu kontemporer yang relevan bagi konstituen mereka.
Ketika mayoritas politisi berasal dari generasi tua, kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi generasi muda. Hal ini terjadi karena wakil yang lebih tua mungkin tidak memiliki pemahaman mendalam tentang isu-isu yang dihadapi oleh generasi muda.
Gerontokrasi cenderung menghambat inovasi dan responsivitas dalam pembuatan kebijakan.
Oleh sebab itu, partai politik mesti menjalankan tugasnya dalam proses kaderisasi dan pendidikan politik yang ideal. Sehingga ambisinya tidak hanya menguasai kursi kepemimpinan, tapi ideologi politik dan aspirasi masyarakat dapat tertuang dalam bentuk kebijakan dan pembangunan negeri.
ADVERTISEMENT
Bukan berarti orang tua pasti buruk untuk menjadi politisi, tapi kita harus mendorong lebih banyak representasi anak muda untuk memberikan lebih banyak perspektif, keahlian, dan isu-isu yang lebih kontemporer.