Pernikahan Usia Muda: Permasalahan Klasik Perempuan Indonesia

Konten dari Pengguna
22 April 2018 7:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mia Padma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Setiap tahunnya tanggal 21 April sebagai Hari Kartini diperingati oleh banyak orang dengan banyak cara. Di sekolah-sekolah umumnya dilakukan berbagai macam lomba untuk diikuti oleh anak-anak. Ketika saya masih usia sekolah yang paling umum ditemui dulu adalah lomba memakai kebaya, yang kemudian berkembang menjadi lomba memakai pakaian tradisional dari berbagai daerah, diikuti tidak hanya oleh murid perempuan tapi juga murid laki-laki.
ADVERTISEMENT
Selain itu yang umum ditemui juga adalah lomba memasak, merangkai bunga atau lomba-lomba lain untuk kegiatan-kegiatan yang dilekatkan dengan peran perempuan sebagai homemaker. Tidak salah memang, karena dilakukan untuk meramaikan suasana, dan memperingati peran perempuan secara umum.
Ya, di Indonesia ini, hari Kartini memang dekat dengan image perempuan. Pemberdayaan perempuan tepatnya. Tapi sayangnya banyak kegiatan maupun lomba-lomba yang dilakukan hanya terkait dengan satu sisi perempuan, tidak multidimensional. Seperti layaknya sosok perempuan sesungguhnya.
Di tahun 2018 ini, perempuan Indonesia sudah merasakan kemajuan, dan suasana kehidupan yang lebih baik dari pada masa kehidupan R.A. Kartini dulu, dengan terbukanya akses pendidikan bagi setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, dan juga kaburnya sekat-sekat yang membatasi dalam pilihan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin.
ADVERTISEMENT
Dunia sudah lebih terbuka, dan memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan pekerjaan yang diinginkan, tentu sesuai dengan tingkat kemampuan atau pendidikan yang dimiliki. Maka tidak sedikit kita temukan pimpinan suatu perusahaan, atau institusi adalah perempuan. Demikian juga menteri, pilot, penegak hukum, ilmuwan, guru, tentara, dan banyak profesi lainnya yang diisi oleh srikandi-srikandi pertiwi nan cerdas dan tangguh.
Tapi di sisi lain, kita tidak dapat menutup mata, dan berpura-pura bahwa situasi sudah ideal bagi perempuan. Lebih dari 100 tahun sejak masa kehidupan R.A. Kartini permasalahan yang dihadapi perempuan-perempuan Indonesia masih banyak yang bersifat mendasar.
Permasalahan akan hal-hal yang sangat mendasar dan sepele, bahkan mungkin menimbulkan rasa malu bagi kita yang membacanya. Malu karena hal-hal tersebut masih dipermasalahkan pada masa kini. Masalah pemilihan pakaian yang merupakan hak pribadi namun diributkan oleh publik, masalah pendidikan yang di beberapa tempat masih terkungkung nuansa patriarki, dan juga pernikahan muda.
ADVERTISEMENT
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, menyatakan bahwa saat ini pernikahan di usia sangat muda masih menjadi salah satu permasalahan yang membayangi perempuan. Minggu lalu kita membaca berita dari Makassar mengenai sepasang anak sekolah menengah yang melangsungkan pernikahan di usia sangat muda, tepatnya berusia 14 tahun.
Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan secara jelas bahwa perkawinan diizinkan bila usia laki-laki adalah 19 tahun, dan perempuan 16 tahun, dengan caveat diperbolehkannya dispensasi dengan meminta izin pengadilan. Itu pun untuk saat ini tentu masih terhitung sangat muda. Dapat kita bayangkan, anak-anak pada usia tersebut yang belum memiliki kedewasaan emosional dan psikologis, dan akan menemui sejumlah tantangan yang bahkan orang dewasa pun mungkin sulit menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif dari pernikahan usia muda akan membawa permasalahan khususnya bagi perempuan. Masalah yang muncul dari pernikahan muda mulai dari hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, ketidaksiapan mental yang dapat berujung pada berakhirnya rumah tangga, dan risiko ancaman dari penyakit reproduksi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2016 telah melakukan kerja sama penelitian dengan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama mengenai jenjang pendidikan anak yang telah melakukan perkawinan di bawah atau di atas 18 tahun. Hasil penelitian menyatakan bahwa lebih dari 94% perempuan berusia 20 hingga 24 tahun yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun, putus sekolah. Sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4.38%.
Sungguh disayangkan, padahal pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga kedewasaan berpikir bagi anak. Pendidikan di sini tentu tidak hanya kemampuan memahami disiplin ilmu tertentu, namun juga kemampuan anak untuk memiliki konstruksi berpikir yang kritis, dan strategis, serta kedewasaan dalam bertindak.
Anak sekolah. (Foto: Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Anak sekolah. (Foto: Antara)
Efek yang ditimbulkan dari tidak siapnya seseorang menjalani pernikahan tidak hanya berhenti di keluarganya sendiri. Perkawinan pada usia anak yang sangat muda juga memiliki risiko perceraian yang besar.
ADVERTISEMENT
Bilamana pada perkawinan dini tersebut telah memiliki anak, maka bisa efek negatifnya akan diturunkan ke anak, dengan kesempatan yang lebih sedikit untuk mendapatkan pendidikan dibandingkan anak-anak dari perkawinan yang masih utuh dan upbringing yang tidak maksimal. Seorang yang tidak mendapatkan pendidikan juga tidak akan dapat meraih, dan memenuhi potensi diri terbaiknya, malah mungkin menjadi beban sosial di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sungguh miris bahwa di masa modern di mana akses terhadap pendidikan, dan dunia di luar rumah sudah lebih terbuka untuk anak perempuan, sesuatu yang dicita-citakan oleh R.A. Kartini, namun justru masih ada anak yang berkeinginan untuk menikah muda dengan ketidaksiapan mental, fisik dan psikologis. Maka pendampingan bagi anak, dan sekali lagi pendidikan, menjadi jawabannya. Anak-anak perempuan perlu memahami bahwa kemandirian berpikir, dan bersikap akan membantu mereka lebih siap dalam menjalani kehidupannya.
***