Peradilan Sosial Internet (Part 3)

Michael Wibowo Joestiawan
Mengisi masa karantina dengan menulis
Konten dari Pengguna
5 September 2021 18:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Michael Wibowo Joestiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

PENUTUP

“Lembaran Akhir”

“Saya ingin memulai artikel ini dengan sebuah pertanyaan statis: Apakah peradilan sosial internet itu nyata? Jawabannya sangat sederhana yaitu 404”

Foto : positivewriter.com
ADVERTISEMENT
Oleh : Michael Wibowo Joestiawan, S.H.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup dari rangkaian Peradilan Sosial Internet, bahwasanya Galat 404 menandakan bahwa sumber yang diminta akan tersedia pada masa mendatang. Meski jawaban belum tersedia sepenuhnya, perlu adanya komunikasi dua arah yang pada gilirannya dapat menciptakan pemahaman yang sama (common understanding).
Misunderstanding dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat dalam mengatasi perubahan atau hukum-hukum yang dapat digunakan untuk mengatur stabilitas masyarakat. Simplenya soal ujiannya udah ada, cuma jawabannya belum ada, parahnya udah harus dikumpul ?! Kalau udah gitu jawabnya suka-suka deh.
“Asal Bunyi” merupakan kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisasi. Dalam hal ini mencoba menyamaratakan argument dengan dasar yang bersifat umum, dengan mayoritas tanpa ada validasi terlebih dahulu. Over-generalisasi terjadi dalam pemikiran saat memperhatikan sesuatu, fenomena atau kejadian sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini mengambil perumpamaan melalui Penalaran Induktif. Dengan rumusan proses penarikan kesimpulan universal berdasarkan data, pengalaman atau fakta terbatas sebagai premis yang kita miliki. Mudahnya adanya unsur kesamaan (simialirity) antar hal atau kasus yang di bandingkan.
Untuk hasilnya? Kebenarannya hanya sampai tingkat kemungkinan atau probabilitas semata. Premis-premis argument induktif, entah berapa pun jumlahnya, tidak menjamin kepastian penyimpulan induktif.
Contoh mudahnya, seorang perempuan yang baru saja putus cinta dengan kekasihnya mulai mengeluarkan keluh kesah di media sosial. “Semua cowok sama saja, semuanya penipu! Gak ada cowok setia di dunia ini!”. Jika hal-hal tersebut sering terjadi di media sosial dengan konteks yang sama yaitu penyama-rataan, berpotensi menimbulkan konflik atau rentan terhadap pengaruh buruk orang lain.
ADVERTISEMENT
Faktor utama didasari adanya platform-platform seperti Instagram, Facebook dan Media Sosial lainnya memberi akses atau kemudahan bagi mereka yang ingin tampil (Dr.dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ). Keberadaan media sosial berkesinambungan dengan generasi milinieal yang merupakan bagian dari kesehariannya. Faktanya dalam masyarakat saat ini, media sosial adalah sebuah kewajaran baru (a new normal).
Media sosial yang telah menjadi bagi dari kehidupan sehari-hari ini, kita sebagai pribadi, tentu tidak bisa mengabaikan keberadaannya. Di masa yang akan datang, dalam perkembangannya media sosial tidak akan hilang. Dimungkinkan jika adanya suatu aplikasi media sosial yang hilang atau tidak diminati seperti Path, Friendster, dan aplikasi lainnya akan muncul aplikasi media sosial yang baru dengan fitur yang lebih baru serta menyesuaikan demand masyarakat yang akan menggunakannya. Hal ini juga merefleksikan harus adanya penyesuaian terhadap suatu permasalahan sosial dari keberadaan penggunaan media sosial itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, saat terjadinya over-generalisasi di media sosial yang mana menjadi titik dasar untuk dimintai pertanggung jawaban? Apakah individu serta sekumpulan individu lainnya yang misunderstanding atau disini nilai dan norma yang menjadi pedoman masyarakat dalam berperilaku yang tidak tersampaikan di karenakan proses sosialisasi yang tidak sempurna?
Penulis mengaitkan dengan nilai dan norma, dengan analogi seperti ini. Saat terjadi penyimpangan termasuk saat penggunaan media sosial, disebabkan adanya penyerapan nilai dan norma yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat. Sehingga, kedua hal tersebut cukup berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seseorang sehingga menghasilkan perilaku yang menyimpang serta adanya kekaburan norma perihal hal tersebut.
Ketidakmampuan hukum sebagai wujud nilai dan norma dalam mengatasi masalah-masalah sosial di luar hukum akan berakibat pada kewibaan hukum itu sendiri yang tidak menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Sudah bahwasannya hal tersebut adalah instiusi normative, Ia akan kehilangan fungsinya apabila tidak bisa tampil dalam kekuatannya yang demikian, yakni menundukkan perilaku masyarakat ke bawah otoritasnya.
ADVERTISEMENT
Ada harapan galat 404 di masa yang akan datang menemukan jawabannya. Dengan kita yang lebih berhati-hati dalam menyaring informasi di media sosial atau adanya pembaruan suatu hukum. Bagaimana menurut kalian?