Konten dari Pengguna

Dunia Maya dalam Dadu: Kontroversi Judi Online di Indonesia

Laurensius Matthew Pramudya Agung
Hello! My name is Laurensius Matthew Pramudya Agung, and I am a student at Multimedia Nusantara University, majoring in Digital Journalism.
28 Desember 2024 18:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laurensius Matthew Pramudya Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto dibuat oleh AI
zoom-in-whitePerbesar
Foto dibuat oleh AI
ADVERTISEMENT
Di suatu malam yang lengang, ketika langit Jakarta enggan berbagi cahaya bulan di atas atap-atap kumuh hingga gedung-gedung tinggi, sebuah layar telepon genggam memantulkan cahaya redup ke wajah seorang pria muda. Ia bukan sekadar menatap telepon genggam, melainkan menimbang nasibnya di meja digital, meja tanpa kaki, tanpa kain hijau, hanya deretan angka dan simbol yang berputar dalam algoritma misterius. Di dunia maya yang seolah tak bertepi itu, ia terperangkap dalam tarian dadu virtual: sebuah transaksi antara keberuntungan dan kerugian, adu kecerdikan dengan mesin tanpa emosi.
ADVERTISEMENT
Judi, menjanjikan kemenangan
Judi, menjanjikan kekayaan
Bohong, kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong, kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan
Penggalan lagu "Judi" ciptaan Rhoma Irama seharusnya dapat menyadarkan kita bahwa perjudian merupakan awal dari kehancuran. Dunia judi daring di Indonesia menjelma fenomena yang tak dapat diabaikan. Meskipun dibalut ilegalitas, laju pertumbuhannya justru kian deras. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) menyebutkan bahwa sejak tahun 2018 hingga Agustus 2022, pihaknya telah memblokir 534.183 situs web terkait perjudian daring. Angka ini bukan sekadar kumpulan statistik kering, melainkan pantulan sebuah realitas digital yang terus bergulat dengan hukum dan moralitas.
Di balik layar komputer jinjing atau telepon pintar, para "bandar" tak lagi butuh ruang gelap penuh asap rokok atau meja hijau yang kusam. Mereka hanya memerlukan koneksi internet dan rekayasa daring untuk menarik para peminat. Sementara itu, para pemain, baik yang iseng ataupun yang memang terperosok dalam jebakan kecanduan, bisa mengakses "meja judi" dengan beberapa ketukan jari. Kesederhanaan ini meniadakan sekat geografis sehingga dari Sabang hingga Merauke, peluang menang dan kekalahan seakan berputar bagaikan roda nasib di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Penetrasi internet di Indonesia yang terus meningkat menjadi lahan subur bagi tumbuhnya praktik ini. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dalam surveinya tahun 2022, menunjukkan penetrasi internet telah mencapai 77,02 persen. Besarnya populasi pengguna internet yang dipadukan dengan kemudahan transaksi digital membuka pintu selebar-lebarnya bagi platform judi daring. Perbankan digital serta dompet elektronik kian memudahkan pemain untuk menyetor dana tanpa harus datang ke tempat fisik yang mencurigakan.
Namun, di balik janji keuntungan yang menggiurkan, bayangan kerugian mengintai. Pada tahun 2022, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) mengungkap setidaknya 79 sindikat judi daring yang beroperasi di Indonesia. Para pelaku kejahatan siber ini tak segan menyelinap di balik identitas palsu, memanfaatkan kerumitan jejak digital, serta beroperasi lintas negara. Ketika para pemain kalah, dan kekalahan itu akan datang cepat atau lambat, mereka meninggalkan lubang finansial yang kian dalam. Tak jarang, kelemahan mental pun bergemuruh: perasaan bersalah, ketergantungan, dan kehampaan setelah uang terbakar sia-sia.
ADVERTISEMENT
Dari sudut lain, kita menyaksikan drama etis: apakah pemerintah telah cukup tegas? Sudahkah masyarakat mendapatkan edukasi yang memadai tentang bahaya perjudian daring? Bagaimana dengan peran institusi keuangan dalam memastikan transaksi tidak menjadi karpet merah bagi bisnis hitam ini? Pertanyaan-pertanyaan ini berkelindan di antara denyut ekonomi digital yang terus tumbuh.
Pada akhirnya, berjudi secara daring di Indonesia adalah pertarungan tak kasat mata antara harapan dan kehancuran, antara langkah maju dan terjerembap di tanah. Dunia maya yang kerap dipuja sebagai ruang berekspresi, berbisnis, serta berbagi pengetahuan, kini juga menjadi medan tak beraturan untuk menggulung dadu nasib. Para pemainnya, dari aparat hukum hingga masyarakat awam, tengah dituntut menghadapi realitas pahit: bahwa di era digital ini, batas antara hiburan dan kehancuran finansial sehalus sapuan jari di layar telepon genggam.
ADVERTISEMENT
Dengan kontestasi berlapis-lapis inilah, "Dunia Maya dalam Dadu" menjadi cermin yang mencengangkan. Ia memperlihatkan betapa ringkihnya garis moral dan hukum yang tercabik oleh ketukan jari di atas layar. Di tengah riuhnya kontroversi, di ujung hitungan kerugian maupun kemenangan semu, satu pertanyaan mendasar menggelayut: mampukah kita, sebagai bangsa yang menggenggam harapan, menaklukkan godaan digital ini atau justru terjebak dalam pusaran dadu yang tak pernah benar-benar menguntungkan?