Konten dari Pengguna

Mencari Makna di Tengah Hiruk-Pikuk

Laurensius Matthew Pramudya Agung
Hello! My name is Laurensius Matthew Pramudya Agung, and I am a student at Multimedia Nusantara University, majoring in Digital Journalism.
9 Januari 2025 10:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laurensius Matthew Pramudya Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Papa… Mama…, aku ingin pergi dari sini. Aku ingin mengadu nasib di kota besar itu.”
ADVERTISEMENT
“Lho… Nak, mengapa harus jauh-jauh ke Jakarta? Sukses tidak harus di Jakarta, kan?”
“Banyak sekali orang yang meragukan anakmu ini, Pa… Salah satunya Papa sendiri yang tampaknya belum siap melepasku ke kota yang konon keras itu.”
“Papa dan Mama hanya tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Namun, jika ini memang keinginanmu, Papa dan Mama akan tetap mendukungmu.”
“Terima kasih, Pa… Ma… Ini adalah keputusanku. Aku ingin membuktikan kepada mereka yang selalu meremehkan keluarga kita bahwa anak dari keluarga sederhana pun dapat sukses di kota yang katanya keras ini.”
“Baiklah, Nak… Yang penting, di sana jaga diri, dan jangan lupa dengan keluarga, ya Nak.”
“Baik, Pa. Aku pasti kembali.”
Itulah percakapan antara aku dan Papa ketika aku hendak meninggalkan kampung halamanku di Semarang. Tujuanku merantau ke Jakarta adalah untuk membuktikan kepada orang-orang yang pernah meremehkanku bahwa orang kecil juga memiliki impian.
ADVERTISEMENT

Suara yang Menusuk Telinga

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung
Aku ingat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta lebih dari satu tahun silam. Bunyi klakson yang bersahut-sahutan, langkah kaki yang terburu-buru di trotoar sempit, dan asap kendaraan yang membumbung, semuanya terasa bagaikan orkestra yang tak pernah hening. Di kota inilah, ribuan mimpi berkelindan, beradu, bertarung, dan berusaha bertahan.
Saat fajar merangkak naik, aku melintas di sebuah gang sempit di bilangan Tanah Abang. Gang itu dipenuhi para pedagang yang sibuk menata dagangan, bersiap menghadapi pagi yang padat. Seorang ibu paruh baya dengan kerudung pudar tampak cekatan membungkus nasi uduk yang dijualnya seharga Rp10.000 per bungkus. Ia menatapku dengan senyum tipis, seakan mengerti bahwa di tengah kekerasan dan kekacauan metropolitan, secercah kehangatan masih tersisa dalam hal-hal sederhana.
ADVERTISEMENT

Amat Padat

Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/vehicle-in-road-at-golden-hour-210182/
Jakarta adalah kontradiksi tiada henti. Menurut Sensus Penduduk 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 10.562.088 jiwa (BPS, Sensus Penduduk 2020). Dengan luas wilayah sekitar 662 km², kota ini memiliki kepadatan sekitar 16.000 jiwa per km², menjadikannya salah satu kota terpadat di dunia. Ia ibarat sebuah teka-teki raksasa: setiap keping manusia dengan mimpi dan perjuangannya sendiri saling berhimpitan dalam ruang yang kian menyempit.
Aku menyaksikan kendaraan roda empat dan roda dua berbaris panjang di Jalan Sudirman pada jam-jam sibuk. Menurut TomTom Traffic Index 2021, tingkat kemacetan Jakarta mencapai sekitar 36%, menempatkan kota ini dalam jajaran kota besar dengan lalu lintas terpadat di dunia (TomTom Traffic Index). Kemacetan ini bukan hanya persoalan teknis transportasi, tetapi juga metafora tentang bagaimana ruang gerak dan kesempatan hidup kian tersekat, menuntut daya juang ekstra setiap harinya.
ADVERTISEMENT

Demi Lembaran Uang

Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/stock-exchange-board-210607/
Di sisi lain, peluang ekonomi selalu menggoda. Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2023 ditetapkan sebesar Rp4.901.798 (Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1153 Tahun 2022). Di atas kertas, angka ini terdengar menjanjikan. Namun, saat biaya hidup melangit, tetap saja banyak warga yang terjebak dalam lingkaran kerja keras, utang, dan ketidakpastian. Menurut data BPS DKI Jakarta, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2023 sebesar 7,77%, sementara tingkat kemiskinan pada Maret 2023 berada di kisaran 4,71% (BPS DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2023). Di balik angka-angka ini, tersimpan cerita manusia yang berjuang dari pagi hingga malam demi sekadar mengamankan esok hari.
Malam itu, aku berkunjung ke sebuah warung kopi kecil di kawasan Mampang Prapatan. Seorang pemuda dengan mata lelah, tetapi optimisme yang tak padam, berbicara panjang lebar tentang mimpinya menjadi desainer grafis profesional. Meski setiap hari harus berjibaku dengan pekerjaan sambilan dan kemacetan, ia tetap merangkai harapan, menyulamnya dari fragmen-fragmen harian yang mungkin luput dipandang orang lain.
ADVERTISEMENT

Makna Hiruk-pikuk

Photo by Download a pic Donate a buck! ^: https://www.pexels.com/photo/silhouette-of-person-sitting-beside-body-of-water-54379/
Lantas, di mana makna yang kucari di tengah hiruk-pikuk ini? Mungkin makna itu terletak pada keberanian setiap orang untuk terus melangkah, meski medan di depan tak pernah terasa lunak. “Jakarta Keras” bukan sekadar slogan; ini adalah realitas yang mempertemukan kita dengan batas ketahanan. Di sela deru dan debu jalanan, aku menyadari bahwa manusia mampu mencipta makna dari kondisi sekeras apa pun.
Di atas jembatan penyeberangan orang yang menggantung di antara deretan gedung tinggi, aku berdiri sejenak, memandangi cahaya lampu kota yang berkelap-kelip. Barisan beton dan baja, hiruk-pikuk kendaraan, serta riuh suara manusia yang tak pernah berhenti, kini menjelma menjadi sebuah mantra tentang keteguhan hati. Jakarta mungkin keras, tetapi justru itulah yang menantang kita untuk terus mencari makna di sudut gang sempit, di balik kemacetan yang membara, dan dalam setiap langkah kecil menuju masa depan yang kita ciptakan sendiri.
ADVERTISEMENT