Konten dari Pengguna

Sungai yang Menangis: Ketika Sampah Mengubur Kisah Kali Pesanggrahan

Laurensius Matthew Pramudya Agung
Mahasiswa Jurnalistik yang bertekad menulis dengan prinsip kebenaran.
30 November 2024 18:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laurensius Matthew Pramudya Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
ADVERTISEMENT
“Kowe, dadi anak, kudu tansah bersyukur marang Gusti. Isih akeh ing jaba kana sing berjuwang kanggo urip. Ana sing tinggal ning kolong jembatan, ana sing nggolek panganan seko tong sampah, lan ana sing dadi pemulung ben entuk dhuwit. dina iki kowe mangan sega karo tempe, wis berkah saking Gusti, Matt!”
ADVERTISEMENT
Kalimat tersebut merupakan sebuah pesan yang keluar dari mulut ayah saya ketika saya tidak mau memakan masakan ibu saya. Kalimat tersebut selalu terngiang-ngiang di pikiran saya hingga saya dewasa. Suatu hari, kalimat yang terus menggema dalam pikiran saya itu membuat saya bertanya-tanya "Bagaimana nasib orang yang hidup berdampingan dengan sampah?"
Sebagai anak yang memiliki cita-cita untuk menjadi wartawan, skeptis merupakan sikap yang selalu saya utamakan. Saya tahu bahwa tidak semua orang di Indonesia berada dalam posisi yang layak. Maka dari itu, saya memutuskan untuk terjun langsung ke lapangan agar saya dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Awalnya, saya pikir, ini mudah. Di benak saya hanya ada kata-kata "Saya meliput, saya merekam, saya membuat laporan". Nyatanya, realitas yang ada membuat mata saya perih seperti tertusuk pisau. Saya hanya bisa berkata, "Benar kata ayah, saya yang dulu terlalu sombong dan arogan. Saya yang dulu kurang bersyukur kepada Tuhan."
ADVERTISEMENT

Tuhan Memberikan Mata untuk Melihat

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Senja merangkak perlahan di tepian Kali Pesanggrahan. Riak air yang seharusnya memantulkan cahaya keemasan matahari kini terbungkam oleh lapisan sampah yang mengambang bagai selimut kematian. Di tepian sungai yang membentang sepanjang 66,7 kilometer ini, sejarah panjang peradaban manusia dan alam kini tersandar lesu, mengisahkan cerita pilu tentang ketamakan dan ketidakpedulian. Kali Pesanggrahan, yang mengalir melewati wilayah Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan, dulunya adalah urat nadi kehidupan bagi ribuan penduduk di sekitarnya. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta 2023, sungai yang berhulu di Bogor ini merupakan salah satu dari 13 sungai besar yang mengairi Jakarta. Namun kini, nasibnya tak ubahnya seperti sebuah lukisan yang tercoret oleh kuas ketidakpedulian manusia.
ADVERTISEMENT

Banjir Merupakan Teman Saya

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
"Ketika air meluap itu bablas langsung ke sini, depan rumah saya persis itu. Paling setinggi-tingginya di bawah colokan itu," ujar Pak Santo, seorang penduduk asli Ciputat yang telah tinggal di bantaran Kali Pesanggrahan selama lebih dari dua belas tahun. Matanya menerawang jauh, seolah berusaha menembus kabut waktu untuk mengais serpihan memori indah yang kini telah terkubur di balik tumpukan sampah. Berdasarkan laporan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Tangerang Selatan 2023, setiap harinya tidak kurang dari 20 ton sampah terbuang ke aliran Kali Pesanggrahan. Dari jumlah tersebut, 60 % merupakan sampah plastik, 25 % sampah organik, dan sisanya berbagai jenis sampah lainnya. Angka yang mencengangkan ini bagaikan pisau tajam yang mengiris-iris keindahan sungai yang dahulu menjadi sumber kehidupan.
ADVERTISEMENT

Ini Salah Siapa? Ini Dosa Siapa?

Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Katanya, Pemerintah Kota Tangerang telah melakukan berbagai upaya penanganan. Data dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa sepanjang 2023, telah dilakukan 24 kali operasi pembersihan sungai dengan total anggaran mencapai Rp 2,5 miliar. Namun, apakah itu benar terealisasi? Menurut Radar Banten, Pemerintah Kota Tangerang Selatan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tangerang Selatan 2024 sebesar Rp 4,5 triliun. Uang tersebut akan mengalir ke mana saja? Atau ini juga salah warga yang tidak bisa menjaga kebersihan Kali Pesanggrahan? Semua itu percuma, ibarat menguras air dengan keranjang, upaya tersebut seolah sia-sia ketika tidak ada kesadaran dari masyarakat dan pemerintah. Dr. Suryadi Wijaya, seorang peneliti lingkungan dari Universitas Indonesia, dalam jurnal "Degradasi Lingkungan Sungai Perkotaan" menyatakan bahwa permasalahan sampah di Kali Pesanggrahan bukan sekadar masalah teknis pengelolaan sampah, melainkan cerminan dari krisis moral dan sosial yang lebih dalam. "Kita telah kehilangan kearifan lokal dalam menjaga harmoni dengan alam," tulisnya.
ADVERTISEMENT
Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Sementara air sungai terus mengalir membawa kepedihan, di tepiannya bermunculan permukiman padat penduduk yang seolah tidak acuh dengan nasib sang sungai. Menurut data Badan Pusat Statistik Tangerang Selatan, setidaknya ada 15.000 kepala keluarga yang tinggal di sepanjang bantaran Kali Pesanggrahan. Kepadatan penduduk yang tidak terkendali ini menjadi salah satu faktor penyumbang tingginya volume sampah yang mencemari sungai. Setidaknya ada lima titik kritis penumpukan sampah di sepanjang aliran sungai di wilayah Tangerang Selatan. Titik-titik ini menjadi semacam kantong sampah raksasa yang mengancam tidak hanya estetika sungai, tetapi juga kesehatan masyarakat sekitar.
Foto oleh Laurensius Matthew Pramudya Agung.
Di ujung senja yang temaram itu, Kali Pesanggrahan masih terus mengalir, membawa kisah-kisah pilu yang terselip di antara sampah-sampah yang mengambang. Ia adalah potret buram dari sebuah peradaban yang tengah bergulat dengan dirinya sendiri. Mungkin, seperti kata penyair, sungai ini memang sedang menangis, meratapi nasibnya yang kian terkubur di bawah timbunan sampah dan ketidakpedulian. Namun, seperti air yang tak pernah lelah mengalir, harapan untuk mengembalikan kejayaan Kali Pesanggrahan tidak boleh pernah padam. Sebab dalam setiap tetes airnya yang keruh, tersimpan mimpi tentang masa depan yang lebih bersih, lebih hijau, dan lebih bermartabat. Kali Pesanggrahan, dengan segala kisah sedihnya hari ini, masih menyimpan harapan untuk esok yang lebih cerah, jika saja kita semua mau bergerak bersama untuk menyelamatkannya.
ADVERTISEMENT