Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Dari Jalanan ke Parlemen: Ketika Idealisme Dikorbankan di Meja Kekuasaan
25 Januari 2025 10:21 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Michelle Gultom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ungkapan ini menjadi mantra ampuh untuk membakar semangat anak muda pada masanya. Sejarah mencatat bagaimana peran pemuda dengan idealisme yang membara mampu membawa perubahan besar, seperti yang terjadi pada tahun 1998. Keresahan yang menyatu dengan keberanian berhasil mendorong reformasi, menciptakan momentum perubahan yang hasilnya masih kita rasakan hingga kini.
Namun, mempertahankan idealisme bukanlah perkara mudah. Banyak mantan aktivis ’98 yang akhirnya 'menjilat ludah sendiri.' Mereka yang dulu lantang bersuara di jalanan kini justru menjadi pembungkam. Janji manis kekuasaan dan kemewahan perlahan-lahan menggerogoti idealisme mereka.
"Ah, tidak. Justru kami sedang memperjuangkan rakyat dari dalam sini," kata mereka setelah menikmati pengkhianatan akan kemewahannya di lingkaran penguasa.
Nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, hingga Fadli Zon menjadi contoh nyata bagaimana suara lantang idealisme berubah menjadi kepentingan pragmatis partai. Perjalanan mereka itu kini dikenal sebagai fenomena 'dari Jalanan ke Parlemen' adalah pola klasik yang terus berulang, menggambarkan bagaimana idealisme pemuda sering kali tenggelam dalam pragmatisme politik.
ADVERTISEMENT
Anak muda yang kritis semestinya mempertahankan peran sebagai pengawas eksternal, menjaga keseimbangan sistem politik. Namun, jika memilih masuk ke dalam sistem, mereka harus tetap berpegang pada idealisme agar tidak mengkhianati prinsip awal perjuangan. Meskipun itu terlihat mustahil karena alih-alih memperbaiki dari dalam mereka justru menyelam semakin dalam.
Teriak karena lapar,lalu diam karena sudah kenyang. Di Awal berkomentar, akhirnya menjadi pemeran. Mungkin begitu kata-kata yang menggambarkan bagaimana pola klasik karier politik aktivis kampus dari dulu hingga saat ini.
Peran pemuda yang kaya akan kemewahan seperti yang dimaksud oleh Tan Malaka ternyata sulit ditemukan di negeri ini. Padahal peran mereka teramat penting.
Fenomena Berulang Aktivis yang Masuk Sistem
Mantan aktivis mahasiswa, seperti Gielbran Mohammad Noor, menjadi contoh terbaru. Ketika menjabat sebagai Ketua BEM KM UGM, ia dikenal lantang mengkritik pemerintah. Namun, kini ia bergabung dengan partai politik sebagai Wakil Ketua Harian PKB. Langkah ini memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana konsistensi idealisme yang pernah diperjuangkannya?
ADVERTISEMENT
Tekanan Politik dan Kompromi Kepentingan
Masuknya aktivis ke sistem politik sering kali diiringi tekanan untuk berkompromi. Banyak laporan dan pengamatan menunjukkan bahwa kader partai politik sering kali merasa kesulitan mempertahankan idealisme mereka akibat tekanan internal dan tuntutan kepentingan partai. Hal ini menunjukkan bahwa masuk ke dalam sistem tidak selalu berarti membawa perubahan, tetapi justru berisiko larut dalam pragmatisme politik.
Pentingnya Kritikus Eksternal
Kehadiran pemuda sebagai pengawas eksternal sangat diperlukan untuk menjaga akuntabilitas pemerintah. Gerakan mahasiswa pada tahun 1998, misalnya, berhasil menekan pemerintah untuk melakukan reformasi politik yang substansial. Ini menjadi bukti bahwa suara kritis dari luar sistem mampu menciptakan perubahan besar tanpa harus terjebak dalam kompromi politik yang melemahkan.
Anak muda yang kritis seharusnya menjadi pengawas eksternal yang menjaga keseimbangan sistem, memastikan pemerintah tetap akuntabel. Mereka harus berpegang teguh pada idealisme agar tidak menjadi 'badut partai' yang dicemooh oleh generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, pemuda memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kemewahan idealisme mereka, sebagaimana yang dikatakan Tan Malaka. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjaga kehormatan pribadi, tetapi juga memenuhi harapan masyarakat yang menggantungkan perubahan pada suara lantang mereka.