Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pasal-Pasal Kontroversial RUU KUHP Tentang Gelandangan
18 April 2024 12:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari mikhalajaret tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemiskinan adalah persoalan global yang meresahkan banyak pihak di seluruh dunia. Selain menjadi masalah sosial yang melanda berbagai negara, kemiskinan juga dianggap sebagai hambatan utama dalam mencapai kesejahteraan dan kemajuan peradaban. Dalam konteks ini, upaya untuk mengatasi kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga merupakan agenda bersama bagi semua pihak dipemerintahan sebagai pihak yang berwenang dalam membuat kebijakan. Kebijakan sendiri merupakan sebuah produk dari adanya hukum, maka dalam mengambil keputusan yang tepat pemerintah juga perlu mempertimbangkan hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Chambers mengatakan bahwa kemiskinan bukan hanya tentang kekurangan uang dan pendapatan rendah, tetapi juga melibatkan lima dimensi utama. Pertama, kemiskinan (proper) yang berkaitan dengan keterbatasan dalam akses terhadap kebutuhan dasar. Kedua, ketidakberdayaan (powerless) yang mencakup ketidakmampuan untuk mengatasi masalah dan mempengaruhi keputusan yang memengaruhi hidup seseorang. Ketiga, kerentanan terhadap situasi darurat (state of emergency) yang membuat seseorang sulit menghadapi kondisi kritis. Keempat, ketergantungan (dependence) yang membuat seseorang tergantung pada bantuan dari pihak lain. Kelima, keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis, yang membuat seseorang terpinggirkan dan sulit untuk bergabung dalam masyarakat. Dengan demikian, hidup dalam kemiskinan bukan hanya berarti kekurangan materi, tetapi juga berdampak pada kesehatan yang buruk, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap kejahatan, serta ketidakmampuan dalam mengambil kendali atas kehidupan mereka sendiri. (Nasikun, 2002)
ADVERTISEMENT
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan pedoman UU dalam mengatur tindak pidana dan pelanggaran hukum di Indonesia. KUHP yang berlaku di Indonesia sendiri bersumber dari hukum colonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie. UU KUHP sendiri sudah berjalan sejak tahun 1946 di Indonesia secara nasional, namun beberapa kali pernah mengalami pembaharuaan oleh Pemerintah dan DPR. Beberapa pasal yang mengalami revisi ternyata menimbulkan pro-kontra dari masyarakat, salah satunya adalah pasal yang mengatur tentang gelandangan yang berbunyi “Setiap Orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan atau dikena; istilah gelandangan diancam denda Rp 1 Juta”.
Dalam pembentukan undang-undang masyarakat memiliki hak dalam menyampaikan aspirasinya. Maka dalam melihat RUU KUHP ini masyarakat menilai bahwa pasal ini melanggar UUD 1945 pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara". Selain itu masyarakat juga menilai konten ini belum cukup penting dibahas seperti undang-undang koruptor dan KPK karena dalam peraturan Daerah sudah memiliki aturan administrasi yang mengatur tentang permasalahan gelandangan tanda adanya denda dan pidana. Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu juga berpendapat bahwa pasal ini harus segera dihapus karena masih dinilai sebagai warisan konolian yang menilai bahwa gelandangan sebagai orang tidak berguna akibat kesalahan dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pemerintah juga bertanggung jawab dalam menciptakan kesejahteraan bagi gelandangan dan pengemis yang dinyatakan dalam pasal 3 UU no. 11 tahun 2011 tentang penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan untuk :
Berdasarkan hal ini negara yang belum mampu memenuhi tanggung jawab pemeliharan fakir miskin maka tidak boleh memberikan hukum pidana pada gelandangan diaman dalam KUHP pasal 505 ayat 1 dikatakan “Barang siapa dengan tidak mempunyai pencaharian menggembara kemana-mana, dihukum karena pelancongan, dengan kurungan selama-lamanya 3 bulan”.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya upaya perevisian UU KUHP ini menimbulkan penolakan dari berbagai pihak yang kemudian melahirkan Demo besar Mahasiswa di tahun 2019 . Topik dari demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut adalah mahasiswa menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang beberapa pasal yang dianggap bermasalah. Melalui tindakan ini Bambang Soesatyo selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan akan menunda RUU yang dianggap bermasalah (25/9/2019). Kemudian pada November 2022 RKHUP yang mengatur tentang gelandangan pasal 429 telah dihapus dan dikembalikan pada peraturan daerah. Meski sudah dihapuskan dan memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini, sebagai masyarakat perlu untuk tetap memperhatikan setiap pembentukan undang-undang dan menilai apakah dalam implementasinya sudah memberikan output yang diharapkan atau malah tidak menghasilkan apa-apa.
ADVERTISEMENT
References :
Adi Kurniawan L. (2016). Pemidanaan Terhadap Gelandangan di Kota Yogyakarta Pasca Dikeluarkannya Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum.
Deri A, Dede K, dan Rusman. (2023). Pasal-Pasal Kontroversi dalam RKUHP 2019 Ditinjau dari Pembaharuan Hukum. Jurnal Iman dan Spiritualistas. Vol 3, No. 2. Hlm 287-294.
Fridolin R. Kwalomine. (2021). Kemiskinan dan Struktur Sosial di Maluku dalam Perspektif Social Capital. Jurnal Ilmiah Teologi dan Studi Agama. Vol.3 No.1. e-ISSN : 2715-775X https://ojs.ukim.ac.id/index.php/arumbae/index
Nasikun. (2002). Penanggulangan Kemiskinan: Kebijakan dalam Perspektif Gerakan Sosial. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. hlm. 1–16. doi: 10.22146/jsp.11091.