3 Alasan Mahasiswa Lebih Pilih Bekerja di Start Up

6 Mei 2022 10:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perusahaan start up di Indonesia saat ini semakin berkembang. Perusahaan ini dapat memberikan peluang besar bagi mahasiswa dan juga fresh graduate untuk dapat memilih bekerja di bidang yang sesuai dengan kemampuan dan juga passion.
ADVERTISEMENT
Dilansir laman UNAIR, Putra Rizqi Agung, selaku Senior Manager Head of Shipper Academy yang mengisi webinar yang bertajuk Innovate Like a Startup ini menyebutkan bahwa ada 3 alasan mengapa mahasiswa lebih memilih bekerja di start up.
Hal pertama yang membuat mahasiswa dan fresh graduate tertarik untuk bekerja di start up adalah karena benefit yang kompetitif.
“Pertama itu benefitnya kompetitif. Kedua, kariernya fast track, dan yang ketiga itu youth culture,” ungkap Putra.
Menurutnya benefit yang kompetitif ini berdasarkan pada perbandingan perusahaan biasa dengan start up. Ia juga memberikan contoh perbandingan, orang yang bekerja di posisi entry level mendapatkan gaji yang berbeda. Orang yang bekerja di perusahaan mendapatkan gaji Rp 4,5 juta setara UMR, sedangkan untuk orang yang bekerja di start up dengan gaji Rp 5,5 juta.
ADVERTISEMENT
Alasan kedua kenapa start up menarik minat anak muda karena pengembangan dan inovasi yang lebih diutamakan.
“Start up berawal dari organisasi kecil. Tapi, saat teman-teman excel di satu hal, maka hasil kerja akan dilihat langsung oleh atasan. Jadi, jenjang kariernya pun pasti akan cepat,” tambahnya.
Selain itu, inovasi juga berkaitan dengan anak muda. Sehingga banyak dari perusahaan start up yang didominasi oleh anak muda yaitu generasi milenial dan generasi Z.
“Anak muda identik dengan technology savy. Enggak lagi manual. Kalau bisa menggunakan aplikasi dan sistem sehingga menjadi cepat, kenapa harus manual? Jadi, jiwa muda dan teknologi ini membuat kita cepat berkembang,” ujar Putra.
Putra menambahkan, secara teoritical, start up disebut sebagai perusahaan rintisan yang berada di fase pengembangan untuk menemukan pasar atau pengembangan produknya. Dari pengembangan tersebut, selalu berkaitan dengan teknologi, berbeda halnya dengan CV perusahaan atau koperasi.
ADVERTISEMENT
Sehingga, start up memiliki misi untuk menciptakan sesuatu untuk menghasilkan manfaat bagi para stakeholder dengan pemanfaatan teknologi digital.
Selain itu, start up juga erat kaitannya dengan inovasi proses, produk, dan problem solving.
“Salah satu implementasi inovasi dalam start up adalah pengganggu atau disruptor. Pengganggu ini memberikan value added namun dalam arti yang baik,” tegasnya.
Putra memberikan contoh studi kasus disruptor di brand-brand terkenal seperti Starbucks yang didisruptor dengan produk dari Kopi Kenangan.
Value Starbucks itu identik dengan rumah ketiga dan lifestyle minuman kopi yang diganggu oleh brand Kopi Kenangan. Brand Kopi Kenangan ini memulai konsep untuk menjual Kopi 1 Liter yang akhirnya juga diikuti oleh Starbucks.
Inovasi pun dimulai ketika konsumen punya masalah. Ia memberikan contoh inovasi dengan teknologi seperti ojek pangkalan lalu muncul aplikasi Gojek. Di antara permasalahan tersebut, Putra mengutip dari buku Steve Blank yang berjudul The Four Step of Epiphany. Ia memaparkan dua tahap untuk memulai start up yaitu search dan execute.
ADVERTISEMENT
“Untuk mengetahui masalah, biasanya pakai value proposition canvas yang umum digunakan untuk menerjemahkan innovate like a start up. Ada satu lagi tools yaitu business model canvas,” ujar Putra.
Laporan Afifa Inak