Adu Eksistensi dan Pertarungan Kelas di Citayam Fashion Week

2 Agustus 2022 9:00 WIB
ยท
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di area 'Citayam Fashion Week', di Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, Rabu (27/7/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di area 'Citayam Fashion Week', di Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, Rabu (27/7/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Satu bulan belakangan ini kita digegerkan oleh aksi muda-mudi yang berasal dari daerah sub-urban. Bonge, Jeje Slebew, Roy, Kurma, dan kawan-kawan berhasil menjadi pelopor gerakan organik para remaja untuk unjuk eksistensi.
ADVERTISEMENT
Fenomena Citayam Fashion Week menggambarkan paling sedikit tiga hal. Pertama, fenomena ini sebagai perlawanan kelas menengah bawah terhadap budaya high class. Kedua, ajang anak muda adu eksistensi, dan yang ketiga adalah kurangnya pemerintah dalam menciptakan fasilitas publik yang pro anak muda.
Berbeda dengan anak-anak muda kalangan atas yang dengan mudah mengakses segala fasilitas mewah melalui modal yang mereka miliki. Sementara, anak-anak Citayam yang merepresentasikan masyarakat kurang berada harus berjuang keras untuk bisa eksis.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi, aksi anak muda yang nongkrong di kawasan Dukuh Atas itu sebagai bentuk perlawanan. Mereka ingin melawan stigma kalau ibu kota hanya bisa dinikmati oleh kalangan elite saja.
ADVERTISEMENT
Bonge cs mencoba memberikan makna bahwa bukan hanya kalangan kelas atas yang bisa unjuk gigi di berbagai fasilitas yang mewah. Faktanya, dengan segala keterbatasan mereka mampu menerobos stigma tersebut.
"Citayam Fashion Week sebenarnya kan menyinggung para pemilik modal yang biasanya menyelenggarakan fashion show dengan mewah dengan karpet merah dengan menampilkan model berharga mahal. Ini anak-anak kecil yang tidak punya latar belakang model apa-apa mereka bergaya seperti model mereka menguasai ruang publik," beber Sigit saat berbincang dengan kumparan.
Anak-anak yang dijuluki sebagai ABG Citayam itu juga menyematkan diri sebagai anak SCBD alias Sudirman-Citayam-Bojonggede-Depok. Selama ini, SCBD atau Sudirman Central Business District dikenal sebagai kawasan perkantoran bagi orang-orang elite dan tempat perputaran uang triliunan rupiah setiap harinya. Di sana enggak cuma ada perkantoran tapi juga ada mal, hotel, hingga fasilitas publik lainnya.
ADVERTISEMENT
Mereka memelesetkan arti itu untuk mengirimkan pesan agar pemegang kekuasaan dan pemilik modal tahu bahwa SCBD itu artinya Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok. Di samping itu, penolakan Roy atas beasiswa yang ditawarkan Sandiaga Uno sedikitnya menggambarkan adanya pertarungan kelas.
"Bakal kerja aja sih paling kalau sekolah percuma zaman sekarang juga sekolah tinggi cuma paling juga jadi OB paling gampang. Zaman sekarang tuh nyari kerja susah. Makanya cari yang udah ada aja," ungkap Roy.
Aktor Baim Wong (kanan) bersama istrinya Paula Verhoeven (kiri) menyampaikan keterangan pers terkait polemik Citayam Fashion Week di kawasan Tanah Kusir, Jakarta, Selasa (26/7/2022). Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
Meski menggambarkan pertarungan antara kelas bawah dan kelas atas, tetap saja Citayam Fashion Week tidak terlepas dari ajang eksploitasi bagi orang-orang berduit. Banyak kalangan orang-orang kaya yang memanfaatkan fenomena tersebut untuk menambah pundi-pundi cuan mereka.
ADVERTISEMENT
Salah satunya melalui pendaftaran merek Citayam Fashion Week sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Kementerian Hukum dan HAM. Pendaftaran Hak Paten tersebut adalah bukti eksploitasi kalangan kelas atas terhadap kelas bawah.
Meski eksploitasi ini tidak terjadi secara struktural layaknya majikan dan buruh, namun secara kasat mata dengan adanya Hak Paten maka si pemilik Hak Paten tersebut dapat menambah kekayaannya.
Di samping menjadi ajang pertarungan antara kelas atas dan bawah, fenomena Citayam Fashion Week juga menjadi wadah bagi anak-anak muda unjuk gigi. Anak remaja yang berasal dari daerah penyangga sengaja berbondong-bondong datang ke Ibu Kota untuk memenuhi area Dukuh Atas dengan gaya berpakaian mereka yang eksentrik.
Enggak hanya sekadar nongkrong, para muda-mudi juga menjadikan kawasan Dukuh Atas sebagai tempat mereka untuk berekspresi dan adu eksistensi. Adu eksistensi memang tidak terlepas dari pengaruh media sosial. Hal itu diungkapkan oleh Desainer sekaligus National Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC), Ali Charisma.
ADVERTISEMENT
"Mereka yang ngumpul kan bukan sedikit maksudnya ribuan orang, dengan sosial media itu mereka mau enggak mau dampaknya sekian ribu orang juga," ujar Ali.
Sementara Sigit menilai fenomena Citayam Fashion Week sebagai bentuk ekspresi anak muda yang ingin menunjukkan esksitensi.
Mengutip dari laman Ensiklopedia Kemdikbud, eksistensi tidak terlepas dari filsafat eksistensialisme yang dipelopori oleh Jean-Paul Sartre. Dia merupakan bapak eksistensialisme yang mengartikan bahwa setiap orang bebas untuk menciptakan makna bagi alam semesta di luar dirinya.
Begitu pun Bonge dkk. Mereka mencoba memberikan makna bahwa mereka dapat bergaya dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Apalagi di era media sosial dewasa ini, unjuk eksistensi menghinggapi semua kalangan. Baik kelas atas, kelas menengah, maupun kelas bawah.
ADVERTISEMENT
Semua kelas mengekspose eksistensi mereka di berbagai kanal sosial medianya masing-masing. Fenomena ini tentu saja secara tidak langsung melahirkan pertarungan kelas di media sosial.
Sosiolog Unas itu menyebut, adu eksistensi di kalangan anak muda dalam fenomena Citayam bisa dipandang sebagai hal yang positif. Artinya, anak-anak muda Indonesia tidak sedikit pun kehilangan daya kreativitas untuk mengekspresikan siapa mereka sebenarnya.
"Iya bentuk ekspresi anak muda yang ingin menunjukkan eksistensi yang ingin mencari pengakuan," imbuh Sigit.
Masyarakat memadati 'Citayam Fashion Week' di kawasan Dukuh Atas, Sabtu (23/7). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Bila orang-orang kaya dan kelas atas mereka unjuk eksistensi dengan berpelesiran dan berfoto di berbagai tempat mewah di seluruh dunia. Sementara, kalangan menengah kelas bawah enggak mau ketinggalan dengan fenomena tersebut, mereka memanfaatkan fasilitas publik yang sederhana namun terkesan mewah. Mereka mencoba untuk memanfaatkannya.
ADVERTISEMENT
Dengan segala keriuhannya juga menghadirkan berbagai komentar di kanal-kanal berita bukan cuma komentar positif tapi juga respons negatif yang dinyatakan oleh beberapa orang.
Di medsos kita menyaksikan berbagai respons negatif ini seperti komentar-komentar nyinyir yang menganggap fenomena Citayam Fashion Week sebagai fenomena kampungan. Beberapa kalangan kelas atas merasa dirinya terganggu dengan kemunculan fenomena tersebut.
Orang-orang kaya tersebut merasa bahwa hak monopoli mereka atas ekspresi kemewahan terenggut oleh Bonge cs, sehingga mereka menganggap orang-orang kelas bawah tidak pantas mengekspresikan kemewahan tersebut.
Secara psikologi dan emosi anak-anak muda butuh perhatian. Anak-anak kalangan kelas atas sangat mudah untuk mendapatkan perhatian dengan eksis di tempat-tempat mewah, sementara anak-anak kelas menengah bawah harus memutar otak memanfaatkan fasilitas seadanya tapi memiliki kesan mewah.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya Citayam Fashion Week, anak-anak muda pinggiran Jakarta kini tak perlu modal mahal untuk bergaya. Cukup dengan modal Rp 15 ribu saja mereka sudah bisa eksis. Hal ini dirasakan oleh Fahri remaja tanggung asal Priuk.
Untuk bisa mejeng di kawasan Dukuh Atas itu, Fahri cukup mengeluarkan ongkos untuk naik angkutan umum seperti angkot dan commuter line. Ia sengaja datang dari Priok untuk sekadar nongkrong sambil bermain skateboard.
"(Ke sini) Pas sabtu minggu. Kita main skate di sini dari 2020," kata Fahri kepada kumparan.
Fenomena tersebut juga menggambarkan bahwa anak-anak muda butuh ruang ekspresi yang mestinya diperhatikan oleh pemerintah. Selama ini, pemerintah terkesan abai terhadap ruang kreativitas anak-anak muda di daerah penyangga.
ADVERTISEMENT
Bagi Sigit, anak-anak pinggiran juga ingin memanfaatkan ruang publik yang dibangun pemerintah supaya bisa mengekspresikan kreativitasnya.
"Mereka butuh ruang untuk eksistensi tapi tidak disediakan ruang itu, kemudian mereka menciptakan ruang sendiri menurut kemampuan mereka yang mereka bernama Citayam Fashion Week," tutur Sigit.
Sigit menilai fenomena ini juga sebagai bentuk sindiran bagi pejabat publik yang tidak memperhatikan tata ruang kota untuk menciptakan fasilitas publik yang ideal. Seharusnya kota bukan saja menyediakan fasilitas yang baik tapi juga pro terhadap kebutuhan anak muda.
"Yang lebih lucu lagi adalah para pejabat ikut nimbrung. Padahal mereka seharusnya malu karena disindir. Gubernur juga sudah datang seperti itu, menteri pariwisata juga mengomentari di situ tapi kok enggak malu mereka memanfaatkan ruang yang diciptakan anak-anak pinggiran untuk eksistensi anak-anak pinggiran tapi mereka ikut nimbrung memanfaatkan panggung yang dibuat anak-anak ini," tutur Sigit.
ADVERTISEMENT