Angga Fauzan, Hampir Putus Sekolah hingga Dapat Beasiswa di Edinburgh

20 Agustus 2019 20:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Angga Fauzan. Dok: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Angga Fauzan. Dok: Istimewa
ADVERTISEMENT
Bisa kuliah di luar negeri menjadi mimpi banyak orang. Merantau ke negeri asing sembari menimba ilmu akan menjadi pengalaman yang enggak terlupakan sepanjang hidup. Itulah yang dirasakan oleh Angga Fauzan. Sejak SMP, ia sudah bercita-cita untuk bisa kuliah di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Pemuda asal Boyolali, Jawa Tengah, ini terinspirasi untuk kuliah di luar negeri karena ia rajin membaca buku-buku karya JK Rowling (Harry Potter) dan Andrea Hirata (Endesor, Sang Pemimpi).
Melalui buku-buku yang ia baca, Angga jadi tahu bagaimana kehidupan tinggal di luar negeri. Ia pun mengagumi kota London, tempat di mana Harry Potter dibuat.
"Dulu kan aku enggak punya referensi sama sekali, jadi dengan baca-baca buku itu jadi tahu, ada banyak hal ternyata di dunia luar sana," ujar Angga kepada kumparan.
Buku Harry Potter dengan lambang Hufflepuff. Foto: Eddie Keogh/Reuters
Hidup di bawah garis kemiskinan, sejak kecil Angga harus merasakan kesulitan untuk sekolah. Ia sering di-bully saat duduk di bangku SD karena keadaan ekonominya yang sulit.
Untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, ayah Angga harus alih profesi menjadi pengrajin tembaga. Sedangkan sang ibu bekerja menjadi penjaja gorengan keliling desa.
ADVERTISEMENT
Rumahnya yang ada di Boyolali adalah bekas kandang kambing milik kakeknya. Terletak di pinggir kebun bambu yang kemudian direnovasi seadanya, sehingga menjadi rumah tripleks alas tanah dan semen.
Jadi pustakawan semasa SMP menjadi keuntungan tersendiri bagi Angga. Sebab, Angga enggak mempunyai akses secara bebas terhadap informasi dunia luar. Melalui buku-buku di perpustakan sekolahnya itu Angga menghabiskan masa SMP-nya.
Saking seringnya baca buku, Angga mendapatkan penghargaan sebagai pengguna jasa perpustakaan terbaik di sekolah. Meskipun begitu, Angga jadi melupakan pelajaran sekolah, dan peringkat Angga pun turun drastis.
"Dari peringkat ke 17 sampai ke urutan 150 sampai 200-an," ujar Angga.
Dengan nilainya yang rendah, Angga enggak bisa masuk ke SMA favorit di kotanya. Masuk ke SMA lain pun enggak memungkinkan baginya saat itu karena kurangnya biaya. Angga pun terancam putus sekolah.
ADVERTISEMENT
Punya tekad yang kuat
Ilustrasi ruang kelas Foto: Wokandapix
Angga menolak untuk putus sekolah. Ia membujuk Ayah dan keluarga besarnya untuk mencari pinjaman agar Angga bisa tetap lanjut sekolah. Angga bahkan awalnya sempat ingin dimasukkan ke panti asuhan yang dekat sekolah, agar ongkos perjalanannya lebih murah.
"Tapi ibuku menolak, 'kan aku enggak yatim piatu, jadi dia enggak terima anaknya di situ," ujar Angga.
Perjuangan menyekolahkan Angga enggak sia-sia. Angga mengikuti banyak kegiatan seperti OSIS, Rohis, PMR, Mading, Teater, dan banyak lainnya. Melalui kegiatan ini pula Angga sering ikut kompetisi sampai dapat 14 piagam kejuaraan.
Meskipun kehidupan putih abu-abu Angga terbilang sibuk, Angga enggak melupakan mimpinya untuk bisa kuliah di luar negeri. Ia pun mulai menyiapkan diri untuk bisa menimba ilmu di kota impiannya, London.
Ilustrasi Museum di London Foto: Pixabay
"Sejak SMA ini juga aku rajin ke warnet, nyari-nyari informasi tentang kampus-kampus di Inggris. Bahkan waktu SMA udah ngeprint informasi ketentuan pendaftaran masuk Oxford," ujar Angga.
ADVERTISEMENT
Melalui pencarian informasinya tersebut, Angga mengetahui bahwa ada jurusan visual desain, yaitu jurusan Fine Art di Oxford. Angga yang memang tertarik dengan seni pun memutuskan tujuannya untuk bisa kuliah disana.
Sebelum berangkat, Angga perlu menempuh pendidikan S1. Pilihan kuliah Angga jatuh di FSRD ITB. Angga mencari banyak informasi melalui alumni mengenai beasiswa dan bagaimana cara masuk ITB. Akhirnya Angga daftar ITB melalui jalur undangan.
Sayangnya, Angga enggak lolos seleksi masuk melalui jalur undangan. Nilai Ujian Nasional (UN) Angga kurang bagus, meskipun Angga mempunyai banyak piagam penghargaan semasa SMA.
Angga pun sempat putus harapan karena ia merasa enggak memungkinkan untuk masuk lewat jalur tulis. Sebab, Angga enggak pernah ikut les, dananya pun kurang untuk bisa beli buku latihan ujian tulis.
ADVERTISEMENT
Namun tekad Angga belum padam. Dengan uang seadanya, Angga ke toko loak untuk beli beberapa buku latihan ujian tulis. Angga menuliskan ITB di dinding triplek rumahnya dan memasang logo ITB di wallpaper handphone yang ia dapat dari menang lomba.
Angga pun dinyatakan lolos masuk ke ITB. Melalui bidikmisi, Angga melanjutkan cita-citanya dan merantau di kota Bandung. Ia jadi semakin giat mencari info beasiswa dan melatih bahasa Inggrisnya.
"Setelah masuk kuliah pikiranku cuman satu. Lulus dan ambil fine art di Oxford," ujar Angga.
Prestasi Angga pun enggak main-main. Ia mendapatkan banyak prestasi dari lokal maupun internasional. Menuliskannya satu-satu pun akan sangat panjang.
Namun setelah menjalani perkuliahan selama beberapa tahun, Angga menyadari bahwa bidang yang ia jalani di ITB, yaitu DKV, enggak sesuai dengan jalur yang ia impikan di Oxford. Pilihannya pun beralih ke Edinburgh.
ADVERTISEMENT
Pilihannya itu semakin kuat ketika ia mencari tahu lebih banyak soal Edinburgh. Mulai dari kota dengan festival terbesar di dunia, dan kota literatur pertama di dunia. Kota tersebut cocok dengan konstentrasi Angga, yaitu branding tourism.
"Aku juga baru tahu ternyata JK Rowling pernah menulis di Edinburgh. Kastil-kastil di sana pun jadi inspirasi untuk Hogwarts," ujar Angga dengan semangat.
Lulus dari ITB tahun 2016, Angga sempat bekerja di Badan Ekonomi Kreatif dan juga sebuah startup selama dua tahun lamanya. Angga pun mengumpulkan dana dan tetap rajin belajar agar bisa pergi ke Edinburgh.
Gagal bukan suatu halangan
Angga memberanikan diri untuk ikut beasiswa LPDP (Layanan Beasiswa dan Pendanan Riset Indonesia). Ia menyiapkan keperluan essai untuk LDPD, Chevening (beasiswa untuk ke Inggris), dan mengikuti tes TOEFL setiap bulannya.
ADVERTISEMENT
Angga sudah buat beberapa esai LPDP sejak ia masih kuliah. Ia sering minta revisi ke teman-temannya yang sudah berhasil.
"Aku jadi ingat pernah minta saran teman buat koreksiin esai bahasa Inggris untuk konferensi di Praha. Dibaca cuman sekilas abis itu dilempar, katanya sampah," ujar Angga.
Setelah itu, ia bertekad untuk menulis esai LPDP yang lebih oke. Ia pun ikut tes LPDP pada 2016, namun enggak lolos. Sebelumnya, Angga juga pernah gagal lulus tes TOEFL sebanyak empat kali.
Ia pun memutuskan untuk berangkat ke Pare, Kediri, tempat yang terkenal dengan sebutan sebagai kampung Inggris. Setelah les selama sebulan di sana, ia kemudian mengikuti tes IELTS (International English Language Testing System). Kali ini, Angga pun lolos dan mendapatkan sertifikat IELTS.
ADVERTISEMENT
"Jadi pertama itu aku daftar Edinburgh yang jurusan desain grafik tahun 2016, tapi enggak keterima," ujar Angga.
Kegagalan enggak mematahkan semangat Angga. Ia pun mencoba daftar lagi ke jurusan yang berbeda, yaitu jurusan Design and Digital Media, di The University of Edinburgh. Ia pun diterima Unconditional LoA, surat pernyataan telah diterima di sebuah Perguruan Tinggi tanpa syarat.
Enggak hanya daftar di Edinburgh, Angga juga mencoba daftar ke kampus lainnya di Eropa. Ia pun diterima di tiga kampus berbeda, yaitu Coventry, London, dan Nottingham.
"Di pertengahan 2017 pun aku mencoba daftar lagi LPDP untuk mendapatkan beasiswanya," ujar Angga.
Angga menyiapkan LPDP lebih matang setelah gagal sebelumnya. Ia sering minta wawancara dengan banyak orang, membuat ratusan daftar pertanyaan dan jawaban, membuat mindmap untuk beberapa topik dan masih banyak lainnya.
ADVERTISEMENT
Perjuangan Angga enggak sia-sia, karena Angga pun lolos LPDP. Ia pun berangkat ke Edinburgh dan menempuh pendidikan magister.
Angga berpesan bahwa mencari informasi sebanyak-banyaknya adalah prinsip yang ia pegang teguh sedari dulu. Bahwa hasil enggak akan pernah mengkhianati kerja keras.
"Aku aja yang ke sekolah perlu menempuh jarak beberapa kilometer harus ke warnet aja bisa mendapatkan informasi. Apalagi sekarang yang banyak lebih mudah akses internet mempunyai kesempatan lebih besar," ujar Angga.
Ia pun enggak pelit membagikan daftar pertanyaan serta jawaban selama wawancara LPDP.
Angga tentu jadi bukti, bahwa selama ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Dan seberapa pun sulitnya meraih impian dan cita-cita, yakinlah bahwa doa baik pasti menemukan jalannya meski dalam bentuk yang sedikit berbeda.
ADVERTISEMENT
Penulis: Lavira Andaridefia