Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Pada malam Minggu, 30 Oktober 2021, sehari sebelum perayaan Halloween, saya meminta izin istri untuk berkencan dengan beberapa mahasiswi. Bukan satu, bukan dua, melainkan tiga mahasiswi.
“Eh, kok gitu?” katanya. Perhatiannya berpindah dari layar ponsel ke wajah saya, sorot matanya menusuk.
Kami baru dua bulan menikah. Segalanya terasa segar dan menyenangkan, dunia seolah-olah belum lama diciptakan, tetapi bukan berarti keadaan tak bisa tiba-tiba berubah jadi horor karena kesalahan komunikasi. Maka saya buru-buru menjelaskan: bukan kencan sungguhan, hanya virtual blind date, dan ini merupakan tugas dari kantor.
Pandemi COVID-19 meniadakan kehidupan kampus. Kegiatan perkuliahan pindah ke ruang-ruang maya, dan itu berarti kesempatan mahasiswa berinteraksi dengan sesamanya, termasuk untuk mencari pasangan, jadi kian terbatas. Lantas muncullah gelaran virtual blind date (VBD) di mana-mana.
Semasa saya kuliah, 2014-2018, setahu saya tak ada kegiatan semacam ini. Karena kebaruannya, VBD menarik minat kami di kumparan. Saya diminta editor untuk mengikuti gelaran ini secara langsung.
“Oh, ya sudah,” kata istri saya memberikan persetujuan, dan saya beringsut menjauh, kembali bekerja. Kadang-kadang, wartawan memang terpaksa menyerempet bahaya.
Daftar VBD sebagai Alumni
Saya mulai dengan mencari gelaran-gelaran VBD terdekat. Awalnya, saya meminta akses kepesertaan dari salah satu penyelenggara untuk meliput. Panitia menolak dengan alasan acara eksklusif bagi peserta yang telah mendaftar.
Saya kemudian mengubah strategi: mendaftar sebagai alumni, atau, kalau terpaksa, berpura-pura jadi mahasiswa. Sasaran pertama saya adalah acara “Unpad x IPB Virtual Blind Date.” Acara itu memperbolehkan alumni turut serta.
Saya memasukkan nama, alamat email, nomor WhatsApp, angkatan, domisili, dan usia pada borang pendaftaran. Saya mengunggah kartu tanda mahasiswa untuk memverifikasi bahwa saya memang alumnus salah satu kampus yang terlibat dan bukti pembayaran kepesertaan sebesar Rp15 ribu. Saya juga diminta mencantumkan preferensi teman kencan: lebih muda, lebih tua, atau seumuran.
Setelah mendaftar, saya diarahkan masuk ke grup Line Open Chat yang berisi para peserta dan panitia yang menginfokan berbagai hal seputar acara.
Hari H Kencan Buta
Undangan acara, berisi link Zoom dan tata tertib acara, dikirimkan via email.
Untuk mengantisipasi kebingungan peserta saat mengobrol dengan pasangan blind date, panitia menyiapkan 51 pertanyaan yang bisa jadi bahan obrolan. Mulai dari "Kalau ngerjain tugas kuliah suka di mana?" hingga "Gimana tipe pasangan ideal menurut kamu?"
Diselenggarakan sehari sebelum Halloween, Sabtu (30/10), tema blind date ini pun menyesuaikan. Peserta diminta masuk ke ruangan Zoom menggunakan nama-nama samaran berbau horor. Misalnya, pembawa acara menggunakan nama samaran HantuPinjol, ada pula peserta yang pakai nama Kunti.
Mula-mula, pukul 19.30-20.00, seluruh peserta diminta berkumpul di main room. Dari 79 orang yang masuk, ada dua pembawa acara dan dua anggota panitia lain. Artinya, malam itu ada 75 peserta VBD.
Pembawa acara mengatakan bahwa ini bukan kali pertama ada blind date di kalangan mahasiswa Unpad dan IPB. Di Unpad sudah tiga kali, di IPB dua kali. Maka, dia bilang, VBD kali ini diselenggarakan atas hasil evaluasi kegiatan dan masukan peserta yang sudah-sudah.
“Di dua blind date sebelumnya, kan, durasi obrolan dalam kencan cuma 10 menit dan 20 menit. Itu nggak kerasa. Sekarang 30 menit,” kata HantuPinjol yang mengaku sebagai mahasiswa dari Unpad.
Dalam sesi pengantar ini, peserta diminta untuk mematikan kamera. Ada tebak-tebakan bergaya riddle. Peserta yang berhasil menjawab mendapat door prize dari penyelenggara. Beres di main room, peserta dipindahkan ke break out room untuk kegiatan utama. Karena saya alumnus Unpad, saya dipasangkan dengan mahasiswi atau alumnus IPB. Setiap peserta mendapat jatah berbincang dengan tiga orang berbeda secara bergantian.
Berbeda dari sesi di main room, kali ini peserta boleh mengaktifkan atau menonaktifkan kamera, tergantung kesepakatan kedua belah pihak, dengan syarat tidak ada pembicaraan mengenai seks dan SARA.
Canggung, Mutualan, hingga Tak Sesuai Harapan
Sesi 1
Saya bertemu seorang mahasiswi Jurusan Ekowisata IPB. Dia mengaku baru pertama kali ikut blind date.
"Nyari teman ngobrol aja, sih. Karena kalau kuliah online, kan, di rumah aja," katanya menerangkan alasan ikut kegiatan ini. Sepanjang pembicaraan kami, tak sekali pun dia menyebutkan namanya. Saya juga tidak mengenalkan diri.
Kami ngobrol off cam. Saya yang lebih banyak bertanya. Dia bercerita soal kuliah online yang bikin pusing, tentang sulitnya bikin tugas laporan sepanjang 62 halaman, dan sedikit mengenai keluarga. Setelah sekitar 15 menit, obrolan kami terhenti. Situasi menjadi canggung. Pasangan kencan saya mematikan mikrofon, menulis pesan “Bentar, ya” di kotak chat, dan menghilang sampai sesi berakhir.
Istri saya yang ikut mendengarkan percakapan kami berkomentar, “Lagian, kamu nanyanya kayak wartawan, sih. Jadi kaku.”
Sesi 2
Mungkin istri saya benar. Di sesi kedua, saya tak lagi bertanya melulu. Sesekali saya menunggu giliran untuk bercerita. Obrolan pun jadi lebih luwes. Kemudian, saya dan teman kencan sepakat untuk on cam. Dia mengenakan topeng Halloween virtual, sementara saya pakai masker medis. Kita tahu, penanganan pandemi di Indonesia adalah cerita horor tersendiri.
Teman kencan saya banyak menceritakan tugas kuliah online dari dosennya, yang menurutnya aneh-aneh. Dia juga sempat mengajak adiknya, yang baru berumur tiga tahun, untuk ikut mengobrol dengan saya. Jam menunjukkan pukul 22.00.
Saya berhasil melewati sesi ini dengan obrolan penuh. Semenit sebelum sesi berakhir, teman kencan saya meminta kami mutualan alias saling mengikuti di Twitter.
Sesi 3
Berbeda dari dua sesi sebelumnya, kali ini saya bertemu seorang mahasiswi yang lebih senior. Pasangan kencan saya sudah semester lima di Jurusan Teknik Pangan IPB.
Sejak awal, kami on cam dan memperkenalkan diri secara resmi, mulai dari nama, jurusan, dan angkatan. Khusus soal angkatan, saya tak mau menyebutkan, tapi dia menebak dari isi obrolan kami. Akhirnya saya mengaku bahwa saya sudah bukan mahasiswa.
Sepanjang blind date, ia selalu dipasangkan dengan lawan bicara yang lebih tua. Memang saat mengisi borang ia memilih preferensi tersebut, namun mengira hanya bakal dipasangkan dengan yang satu atau dua angkatan di atasnya.
“Aku ngelihat ada alumni, kirain alumni baru, tapi enggak expect angkatan berapa. Tadi aku ketemu 2017, terus ketemu yang 2013," katanya.
Karena saya ketahuan sudah lulus dan bekerja, sesi blind date kami pun dengan cepat berubah menjadi coaching clinic soal pekerjaan. Di akhir percakapan, kami bertukar profil LinkedIn.
Iseng di Tengah Pandemi
VBD ditutup dengan lomba menggombal antarpeserta. Ada doorprize lagi. Kelanjutannya, peserta boleh meminta nomor kontak pasangan yang dirasanya cocok, tetapi tentu dengan persetujuan pihak yang dituju.
Dalam ketiga sesi yang saya ikuti, semua pasangan kencan saya mengaku ikut VBD karena iseng dan senggang. Tapi apa benar ini cuma acara iseng-iseng untuk mengisi waktu luang?
Saya pun bertanya kepada sejumlah penyelenggara VBD. Salah satu yang menjawab adalah Narinta dari @salting.vbd. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat ini mengaku kepengin menyediakan wadah untuk mengobrol bagi sesama mahasiswa.
Untuk memastikan kecocokan pasangan blind date, Narinta punya cara untuk mengelompokkan para peserta: "Sesuai dengan interest, love language, dan preferensi. Jadi setidaknya ada peluang gitu, loh, untuk mereka get along," katanya.
Senada dengan Narinta, Adika Arya selaku koordinator @mars.meetvenus, menyebut saat pandemi mahasiswa tak bisa nongkrong atau bertemu orang baru. Menurutnya, sebagian orang bisa menggunakan aplikasi pencari jodoh, namun aplikasi itu belum tentu membuat para penggunanya bisa ngobrol secara langsung.
"Makanya kita memberikan wadah kepada mereka untuk saling kenalan gitu, bisa juga on cam kayak gini, jadi bisa langsung tanya-tanya, interaksi, sehingga kebutuhan sosial mereka itu untuk berinteraksi secara langsung bisa tercapai gitu," kata Adika via Zoom ke kumparan, Jumat (29/10).
Mahasiswa Kesepian Selama Pandemi
Semasa pandemi COVID-19, kehidupan mahasiswa berubah gara-gara pembelajaran daring dan pembatasan mobilitas. Akibatnya, menurut Martaria Rizky Rinaldi dalam "Kesepian pada Mahasiswa selama Pandemi COVID-19" yang diterbitkan oleh Jurnal Psikologi Teori dan Terapan (2021), para mahasiswa rentan mengalami kesepian.
Riset ini mendefinisikan kesepian sebagai perasaan tidak menyenangkan yang terjadi ketika kualitas maupun kuantitas hubungan sosial seseorang merosot secara signifikan.
Di antara 236 mahasiswa dari 19 provinsi yang jadi responden penelitian tersebut, sebanyak 158 orang (66,95 persen) mengalami kesepian ringan dan 47 orang (19,91 persen) mengalami kesepian. Hanya 31 orang (13,13 persen) yang mengaku tidak merasa kesepian.
Namun, menurut psikolog klinis dan relationship expert Denrich Suryadi, kesepian sebaiknya tak dijadikan motif untuk mengikuti blind date.
"[Orang] bisa merasa, oh, iya, saya kesepian dan enggak ada orang yang mau sama saya. Mungkin saya jelek. Udah, selesai. Ujung-ujungnya, sudahlah enggak dapat pasangan, keikutsertaan dia dalam acara itu malah bikin dia makin hancur," kata Denrich kepada kumparan.
Pembicaraan lengkap dengan Denrich Suryadi tentang virtual dating, mulai dari kiat sampai cara mengantisipasi kekecewaan karena dighosting, dapat dibaca di story berikut ini:
Selain itu, di balik tujuan mewadahi interaksi mahasiswa semasa pandemi, ada juga potensi cuan yang bisa ditangguk oleh para penyelenggara VBD. Bagaimana kisahnya?
Langganan kumparan+ untuk membaca liputan khusus "Kencan Buta Generasi Pandemi" selengkapnya.