Benarkah Senioritas saat Ospek Hanya Melanggengkan Kebencian?

16 Agustus 2018 19:27 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:23 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ospek (Ilustrasi). (Foto: Google Plus Rahman Hilmy Nugroho)
zoom-in-whitePerbesar
Ospek (Ilustrasi). (Foto: Google Plus Rahman Hilmy Nugroho)
ADVERTISEMENT
Ospek merupakan salah satu acara rutin dalam rangka penerimaan mahasiswa baru yang selalu dilakukan oleh pihak kampus. Ospek tak hanya dilakukan di tingkat universitas saja, biasanya tingkat fakultas dan jurusan juga menerapkan ospek dalam menyambut mahasiswa baru.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, alih-alih mengedukasi atau dijadikan sarana sosialisasi kampus, acara ospek atau penerimaan mahasiswa baru kerap diselipi bentuk kekerasan baik fisik maupun verbal yang dilakukan senior.
Meski beberapa mahasiswa baru atau junior ada yang cenderung santai dan menganggap senioritas dalam ospek itu biasa saja, tapi tidak semua junior bisa menerima perlakuan seperti itu.
Menurut Liza Marielly Djaprie, seorang psikolog klinis dan praktisi hipnoterapi, penerimaan bentuk senioritas dalam ospek amat berbeda dan subjektif bagi tiap individu.
“Kita harus hati-hati sekali pada saat memberikan treatment saat ospek, seharusnya senior bisa melihat mana junior yang bisa diperlakukan seperti ini, mana yang tidak. Tapi biasanya kan sulit, karena treatmentnya sama, pukul rata. Makanya berdampak ada junior yang justru malah depresi setelah sesi ospek, ada yang justru termotivasi, ada yang lurus-lurus aja dan enggak peduli dengan seniornya,” jelas Liza.
Ilustrasi kekerasan. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan. (Foto: Shutterstock)
Penerapan senioritas di ospek dalam koridor yang salah memang tidak menutup kemungkinan untuk membuka celah terjadinya kekerasan atau bullying. Hingga yang paling tidak disadari, yaitu melanggengkan kebencian antar generasi.
ADVERTISEMENT
Namun Liza berpendapat, bisa jadi senior yang sedang mengospek juniornya tersebut hanya menurunkan apa yang dia tahu. Kemudian senior tersebut memang tidak diizinkan untuk menerapkan perlakuan yang berbeda pada juniornya.
“Mungkin seniornya juga enggak ngeh sedang melanggengkan kebencian, tapi lebih kepada ketakutan jika tidak sesuai dengan aturan yang sudah berlaku sebelumnya,” jelasnya.
Kekerasan dalam bentuk apapun memang tidak dibenarkan ya, guys. Maka, pihak Kemenristekdikti pun telah mengeluarkan surat edaran yang melarang adanya kekerasan verbal, fisik maupun mental dalam sesi penerimaan mahasiswa baru.
Ospek (Ilustrasi ) (Foto: Youtube/PPSMB Palapa UGM)
zoom-in-whitePerbesar
Ospek (Ilustrasi ) (Foto: Youtube/PPSMB Palapa UGM)
Setidaknya, saat ospek berlangsung terdapat pendamping dari pihak kampus seperti pembina atau dosen supaya jalannya acara tidak keluar dari yang sudah disetujui dan meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan karena adanya pantauan dari pihak terakit.
ADVERTISEMENT
Liza menambahkan, supaya tercipta ospek yang ideal, harus disesuaikan dengan institusinya. Dia menyebut contohnya, jika sekolah kepolisian, maka ospek dalam bentuk melatih fisik dan mental tetap dibutuhkan karena polisi memang harus punya fisik dan mental yang tangguh.
Dia juga menyarankan agar ospek diisi dengan hal bermanfaat.
“Daripada sekadar teriak-teriak atau marah-marah, lebih baik ospek diisi dengan seminar atau pelatihan, seperti sex education, campaign anti-bullying, atau pelatihan supaya mereka tetap bergerak, karena kalau penjelasan hanya akan bikin ngantuk. Atau mereka (junior) juga bisa diajak outbond, agar bisa lebih membangun kekompakan,” tutupnya.