Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tio Ridwan dan Johanes Hutabarat dari kumparan ngobrol panjang bersama Dea Anugrah . Kami membicarakan Hemingway, pekerjaan Dea sebagai wartawan, cara kerja media yang rombeng, novelnya yang tak jadi-jadi, dan bagaimana menjadi pesimis akan menyelamatkan hidup kita semua.
Mas optimistis melihat arah jalannya dunia ini?
Tentu saja sebetulnya aku orang yang pesimistis.
Tapi pesimisme itu bukan berarti kita membayangkan masa depan serba gelap. Artinya (aku) justru siap ketika yang ideal itu nggak terwujud. Dia siap gitu kakinya patah dua-duanya, (ternyata) patah satu, ya, “Oh, cuma patah satu." Ketika misalkan ada Perang Dunia III gitu, meledak semua. “Oh, masih ada sisa waktu 50 tahun ternyata ya. Kirain 15 tahun." Hahaha.
Buatku pesimisme tuh ya begitu. Bukan berarti, "Waduh, gelap gulita nih." Justru yang gelap gulita adalah yang optimistis.
Maksud Mas?
Karena dia nggak siap, dia membayangkan, "Oh, nanti masa depan begini, hidupku akan begini." Ketika itu nggak terwujud ya gelap semua kan.
Mas mengklaim diri sebagai pesimis tapi melihat hidup dan dunia ini serba indah ya? Seperti judul buku Mas: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya.
Justru menurutku, orang bisa melihat keindahan hidup kalau dia pesimistis. Kalau dia optimistis, dia nggak siap kecewa. (Kalau) kamu nggak siap kecewa, ketika ekspektasimu patah, ya gelap semua. Ya nggak ada indah-indahnya hidup.
Misalkan aku nih, membayangkan tahun ini aku akan punya rumah mewah, pokoknya aku optimistis bangetlah. "Rumah mewah nih," tanpa rumah mewah keberadaanku nggak punya arti. Ketika aku nggak punya, ya gelap semua, karena pikiranku hanya ada di rumah itu.
Tapi kalau nggak optimistis, "Oke aku pengen ini (sembari memegang cangkir Americano-nya), tapi kalau nggak juga nggak apa-apa." Jadi pandangannya lebih luas. “Oh, minum es cendol juga indah," gitu. Jadi sebetulnya standar keindahan yang diturunkan.
Bagi Dea Anugrah, menjadi pesimis adalah pilihan yang bijak dalam menjalani hidup. Ia tak suka muluk-muluk dalam banyak hal dan sikap ini terefleksi pada persoalan macam:
Pertama: mengapa belum ada buku puisi atau kumpulan cerpen atau kumpulan esainya yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Dea mengaku, sering didesak teman-temannya untuk mencari penerjemah dan mengirim sampel naskahnya ke penerbit luar. Dea bilang dia malas, “Males aku.”
Dea punya dua alasan: “Pertama, di dunia berbahasa Inggris, penulis yang lebih bagus dariku tuh banyak. Apa perlunya dia baca ceritaku?” Yang kedua, “Aku merasa nggak ada urgensinya. Tanggung jawabku sebagai penulis selain ke diriku sendiri ya ke bahasaku. Ketika aku nulis dalam Bahasa Indonesia, ya tanggung jawabku menulis dalam Bahasa Indonesia sebaik-baiknya.”
Kedua: mengapa ia mengambil pendidikan sarjana Filsafat di UGM ketimbang menjadi perwira via Akademi Kepolisian. Ia pernah ribut dengan ayahnya berhari-hari. Alasannya, Dea menolak orang tuanya menggunakan uang tabungan ‘yang tak seberapa’ untuk memastikan dirinya masuk Akpol. Dea memilih kuliah saja.
Negosiasi dilakukan dan Dea boleh kuliah meski dengan syarat. “‘Syaratnya kamu harus kuliah di Jogja, karena biayanya murah, dan kampusnya harus negeri.’ Berangkatlah aku tanpa bayangan Jogja itu seperti apa,” kenang Dea. “Berangkat, tinggal di kos-kosan PKS. Aduuuuuuh.”
Ia akhirnya mendaftar UGM lewat jalur SPMB, seleksi tingkat nasional fase terakhir. Pilihan pertamanya adalah jurusan Hubungan Internasional yang tinggal bersisa lima kursi. Jurusan kedua dijatuhkannya ke Filsafat, yang sisa kursinya masih 15.
“Karena kupikir bisa jadi Dubes kan. Tentu saja itu fantasi orang lugu, paling juga cuma jadi anak buah di Kemenlu. Cuma kepikiran, ‘Wah jadi Dubes pertama di keluarga saya!’ Apalagi Dubes kan dipanggil Yang Mulia, hahaha.”
Ketiga: atau mengapa ia memilih menjadi penulis. Pekerjaan yang, bahkan menurut seorang Sapardi pun, sulit membuatmu kaya.
Entah sudah berapa kali Dea Anugrah ditanya mengapa ia mau jadi penulis profesional. Kami bahkan, kurang lebih, sudah tahu jawabannya: karena ia tak punya bakat lain, sebagaimana selalu jawabnya di obrolan-obrolan sebelumnya. Namun toh kami tetap bertanya hal yang sama.
Menulis itu kan sulit, membosankan, dan jarang bisa membuatmu kaya. Kenapa Mas masih mau menulis?
Kenapa aku mau menulis secara profesional gitu ya? Karena nggak ada keterampilan lain.
Beneran cuma itu alasannya?
Beneran, beneran. Karena terlanjur. Jadi waktu aku mulai nulis itu sebetulnya aku nggak tahu mau apa dengan hidupku. Aku mulai nulis itu SMA, sekitar kelas dua. Waktu itu aku bener-bener nggak punya cita-cita, nggak punya tujuan hidup.
Setiap hari yang aku lakukan cuman, kalau nggak tidur-tiduran di depan rumah, di teras. Ngeliatin awan bergerak, ngelamun, terus ketiduran. Atau keliling kota. Aku tinggal di Sungailiat, kota kecil di Bangka. Ya kalau nggak tidur-tiduran, aku naik motor aja keliling-keliling kota nggak pake helm. Rambutku mohawk dulu waktu SMA hehehe. Muter-muter gitu, ya nggak ada tujuan hidup.
Aku nggak bisa membayangkan nanti aku mau jadi apa? Apa yang bisa ku lakukan? Orang di kelas aja, di sekolah, aku tidur mulu. Nih kalau lagi jam pelajaran tidur, bangun-bangun udah ganti gurunya. Nggak terbayang gitu masa depan seperti apa sih yang aku mau. Ya paling ya kerja, tua, mati, gitu. Nggak punya ambisi. Kan butuh ambisi untuk mencapai sesuatu. Mau jadi orang kaya juga enggak, mau kawin juga enggak. Enggak punya pikiran apa-apa tadinya, pada saat itu.
Sampai pada akhirnya ia bertemu guru SMAnya pada sebuah warnet. Dea baru tahu, dari gurunya yang kesulitan mengirim puisinya ke surat kabar via email, bahwa seseorang bisa dapat duit dari menulis.
“Itu hal yang aneh sekali buatku waktu itu. ‘Bisa ya ngirim tulisan? Emang ada yang mau memuat tulisanmu?’ Aku baru tahu ada industri seperti itu. Aneh juga, karena sebetulnya aku sudah lama baca buku,” terang Dea di sela-sela asap rokoknya yang Gudang Garam.
“Kupikir semua orang jadi PNS hehe. Ngetik-ngetik, main Zuma gitu. Mungkin waktu itu aku berpikir semua buku ada di perpus dan semua buku adalah milik negara kali ya?”
Yang pertama dibuat Dea setelah pembukaan ilham di warnet itu adalah sebuah puisi. “Udah lupa soal apa, jelek banget pasti,” katanya. Namun, puisi buruk tadi menjadi titik balik: bahwa tak cuma membaca, seorang remaja mohawk dari Bangka boleh-boleh saja menjadi penulis. Setelah itu Dea tak berhenti menulis sampai saat ini.
“Setelah itu baru merasa, ‘Wah aku mau jadi penulis.’ Setelah jadi penulis (baru terpikir), ‘Kenapa aku nggak bikin start up saja ya dulu?’ Nadiem Makarim tuh cuma tujuh tahun lebih tua dariku, dan duitnya ratusan kali lipat lebih banyak,” candanya, ada sedikit kebenaran di situ.
Lagipula, di hadapan Pak Menteri Nadiem, siapapun halal bercanda soal duit yang tak seberapa.
Pertengahan Oktober kemarin, kami ngobrol lumayan panjang dengan Dea Anugrah di Reading Room, Kemang, Jakarta Selatan.
Saat kami tiba, di lantai atas cuma dua meja yang terisi—satu oleh seorang laki-laki ber-headset yang khusyuk di depan laptop, satu lagi oleh perempuan muda yang bersender di bahu lakinya. Di depan mereka cangkir kopi dan gelas bening panjang yang masih terisi separuh. Tenang dan temaram. Apabila melongok agak dulu, lantai dua Reading Room jelas punya waktu yang lebih jaya. Ada kabar, meski kabur, bahwa rencana tutup sedang dipertimbangkan.
Dea datang bersama Nadya Noor, ilustrator editorial Tirto.id yang juga pacarnya sendiri. Nadya duduk di samping Dea, sesekali menimpali, namun lebih banyak diam dan menggambar.
📚📚📚
Mas masih merokok ya?
Heeh. Kalian nggak merokok ya?
Sedang tidak, Mas. Dalam sebuah wawancara, Mas sempat bilang takut mati dengan demensia seperti Gabriel García Márquez atau Ernest Hemingway.
Oh, iya.
Kami baca, rokok itu salah satu faktor buat demensia loh.
KAMU JANGAN NGOMONG ITU DI DEPAN DIA, DIA SENENG. HAHAHA
(Nadya, mendengar angin obrolan bergerak pelan ke topik yang didukungnya, tertawa dan berseru, “Terus, terus, terus!”)
Tapi membantu nggak sih merokok itu buat proses menulis? Mas harus merokok ketika menulis?
Aku nggak tahu sih, karena sebenernya sih buatku lebih ke kebiasaan aja. Kalau nggak merokok kan kosong gitu tangannya, nggak tahu mau ngapain. Tapi sebelum merokok aku juga udah nulis.
Biasalah, perokok kan secara psikologis itu biasanya ngerasa kalau merokok itu kan ngasih jeda gitu ya, ngetik gitu, mikir, ngerokok. Sambil baca ulang. Nah, mungkin kebiasaan itunya. Ritmenya jadi terganggu mungkin (kalau tidak merokok). Cuma aku nggak tahu ya, mungkin pembenaran saja.
Soal Hemingway. Mas sering sekali menyebut Hemingway dan berkata karyanya amat berpengaruh. Apa saja dari Hemingway yang membuat Mas tertarik?
Aku tuh merasa, pertama dari segi cara nulisnya ya, Hemingway itu cara nulisnya ritmis. Orang tuh kalau baca kan kadang sambil membunyikan dalam kepala ya, itu enak banget. Ritmis. Kayak kalau ceritanya cepat, itu dia tepat bikinnya kayak gitu. Kalau ceritanya harus melambat, dia tahu kapan harus melambat. Dan itu berjalinan sama gambarnya. Karena cara nulisnya kan filmis banget, Hemingway, kayak kamera yang bergerak ke mana-mana. Ritmenya, cara deskripsinya, itu padu.
Terus, dia kan bahasanya nggak ruwet sebenarnya. Beda sama (William) Faulkner. Faulkner itu pernah ngeledek Hemingway, dia bilang, 'Hemingway ini kalau nulis pembacanya nggak perlu buka kamus.' Terus dibales sama Hemingway, 'Ya, perasaan yang besar kan tidak (harus) tercipta dari kata-kata yang besar.'
Di situ aku senang sama Hemingway. Kan yang boleh baca bukan cuma orang terdidik, misalnya. Semua orang boleh baca. Dan bukan berarti kalau disampaikan secara simpel trus jadi nggak bagus. Yang penting tepat.
Oh, yang paling indah dari tulisan Hemingway itu bagaimana dia bisa ngomongin satu hal, tanpa ngomongin hal itu sendiri. Kayak misalnya ada cerpen dia itu berjudul Bukit-bukit Putih seperti Gajah (Hills Like White Elephants, 1927). Di situ tuh cuma dialog, anak muda cowok cewek, yang di stasiun transit menuju suatu tempat yang kita nggak pernah tahu itu di mana, dan kita tak tahu mereka dari mana, cuma mereka bawa koper, mereka ngobrol dan situasinya udah berantem.
Si Ceweknya bilang, 'Lakukan nggak ya?' 'Lakukan deh. Tapi gini-gini-gini.' Trus cowoknya bilang, 'Ya, aku sih sebenarnya bukan kamu harus melakukan itu, tapi aku mikirin ini-ini.' Panjanglah, obrolannya segala macam. Kita nggak pernah tahu apa yang mereka perdebatkan. Tapi di akhir cerita, kita nangkep, kayaknya kira-kira ngomongin aborsi deh.
Itu dari cara penulisan. Yang lain?
Sebenarnya ada banyak masalah, Hemingway ini, dari segi sikap dia sebagai orang. Kalau sekarang istilahnya toxic masculinity. Nggak mau banget terlihat rentan, nggak mau banget terlihat rawan. Pokoknya paling hebatlah, paling gagah. Dan bahkan dia menghidupkan mitos itu dalam keseharian dia.
Jadi suatu kali Hemingway ini mau berburu di Afrika, naik pesawat kecil gitu sama istrinya. Pesawatnya jatuh. Mereka nggak kenapa-kenapa, tapi pintunya kekunci, nggak bisa keluar. Nah, orang mah kalau normal ya pintu itu ditendang aja, atau didobrak pakai bahu. Sama Hemingway disundul. Dia menjadi banteng. Hahaha.
Dia cedera, kepalanya luka. Nah, ekstrem banget gitu menunjukkan kegagahannya. Dan itu muncul juga di karakter-karakternya. Kalau orangnya aja sampai hidup kayak gitu, apalagi fiksinya?
Di buku-bukunya kita bisa lihat orang kayak si Pak Tua yang tetap berusaha melawan walaupun tahu akhirnya akan kalah. Di novel dia yang The Sun Also Rises (1926), kita juga melihat bagaimana Jake Barnes juga kayak gitu. Dia kan impoten sebenarnya, tapi dia tetap berusaha mencintai si perempuan, Lady Brett Ashley.
Kalau kalian pernah baca kutipan dia kan kayak, 'Orang bisa dihancurkan tetapi tidak bisa dikalahkan.' Ya kayak gitu, keras kepala. Pada satu sisi aku suka imajinasi tentang diri yang kayak gitu. Tapi di sisi lain ya Hemingway itu banyak problem.
Jadi, selain mencermati karya tulisnya, Mas juga mengamati kehidupan penulisnya ya?
Tergantung konteksnya untuk apa. Kalau untuk kritik, membahas karyanya, menurutku nggak penting. Malah seringnya nggak relevan biografi pengarang. Kalau mau dikaitkan dengan urusan luar teks ya urusan sosial politik yang terjadi di masanya.
Tapi kalau kita mau memahami bagaimana cara berpikir orang, bagaimana sih dia bisa sampai di keputusan jadi orang kayak gini. Ya sebagaimana memahami semua orang, ketika kita tahu ceritanya membantu kan. Tapi kalau kebutuhannya kritik nggak selalu.
Berarti untuk memahami Bakat Menggonggong (2016) atau Misa Arwah (2015) yang Mas tulis, kami tidak perlu tahu Mas dan segala postingan Mas di media sosial ya?
Nggak sih. Aku jenis penulis yang sebetulnya, kalau memakai bahan dari hidupku sendiri, itu sedikit bangetlah. Biografiku jadi nggak relevan. Kebanyakan bahan yang kupakai ya hasil observasi. Kebanyakan malah teks penulis lain.
Aku sering banget mulai dengan teks penulis lain. “Mau kuapain ya teks ini?” Misalnya ada satu cerpen yang di Bakat Menggonggong itu yang cuma dialog, suami istri yang mau bercerai. Itu sebenarnya dilakukan oleh David Foster Wallace di buku cerpennya, judul buku cerpennya Brief Interviews with Hideous Man (1999).
Modifikasi ya?
Modifikasi. Menulis ulang, gitu.
Tidak malu ya mengakuinya?
Enggak. Sastra, ya penulisanlah, itu kan nggak ada penulis yang tiba-tiba muncul lalu berdiri sendiri. Dia selalu jadi bagian dari tradisi. Misalnya aku nulis dalam bahasa Indonesia, otomatis aku bagian dari tradisi sastra Indonesia yang pernah diisi Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, oleh Subagyo Sastrowardoyo.
Begitu juga dengan pengaruh sejarah membaca. Aku nggak bisa bilang, ‘Aku original nih, nggak ada yang pernah memikirkan ini sebelumnya.’ Ya enggak, karena aku baca, aku tahu ada yang menulis kayak gini, kayak gitu.
Aku nggak percaya dengan orisinalitas. Karena nggak mungkin ada yang baru. Satu-satunya orang yang berpikir bahwa hal yang dia lakukan itu baru adalah orang yang nggak pernah keluar goa. Dia nggak tahu apa yang terjadi di luar.
Tapi aku percaya dengan otentisitas. Aku lupa siapa yang bilang, tapi otentisitas itu dia bilang ‘...lahir dari dua hal yang sudah ada.’ Ya kamu gabungin jadi hal yang baru.
Meski tak muluk-muluk dalam banyak perkara, Dea bisa dibilang perfeksionis dalam urusan menulis. Dalam beberapa kesempatan, ia tak segan mengkritik penulis-penulis buruk dan beberapa karya. Dalam wawancara bersama Whiteboard Journal , menjawab pertanyaan soal ‘gaya penulis’ yang kadang membuat pembaca bingung, Dea mengambil sikap keras.
Sementara, Dea juga tidak ragu menyebut beberapa karya kurang maksimal atau buruk sekalian. Misalnya saja pada novel Pulang (2013) karya Leila Chudori dan dua cerpen yang terbit di Jakarta Post (25/6/2016) dan Kompas (29/11/2015). Untuk dua cerpen terakhir, Dea sampai memelas, “Tolong, dong, berhenti menulis cerita seperti ini.”
Ditanya soal standar sastranya yang tinggi dan kritik-kritiknya yang pedas itu, Dea tertawa. “Bercanda! Memang, kalau melihat aktivitasku di media sosial, kadang-kadang rada ekstrem. Hehe. Tapi sebenarnya kalau kenal gitu nggak serius, nggak kayak marah-marah gitu dengan berkerut,” jawabnya.
“Kadang kan terpengaruh juga, kalau ada karya buruk terus penulisnya bertingkah seolah-olah itu masterpiece dan anti-kritik, ya seneng aja aku ngejekin,” ujar Dea.
“Perlu disadari bahwa,” ia tertawa kecil, “karya yang kuanggap jelek sekarang, itu bisa jadi lima tahun lalu kuanggap bagus. ‘Wah, Leila Chudori keren sekali!’ Di kemudian hari ketika aku baca lagi, kan pembaca bertumbuh. Pengalaman membacanya semakin banyak, dia kenal teks yang semakin beragam, makin luas kan makin ngerti bedanya bagus sama jelek. ‘Oh, yang kemarin itu nggak sebagus yang kubayangkan.”
Dea sendiri, meskipun pada khalayak mencitrakan diri sebagai orang yang santai, mengaku amat keras memperlakukan dirinya sendiri terkait karya-karyanya. Ia mengaku puisi-puisi yang ia tulis 4-5 tahun lalu sudah tak ada lagi arsipnya. “Karena sekitar beberapa bulan setelah jadi manuskrip, itu kubakar, kubuang, atau kuhapus di komputer.”
📚📚📚
Mengapa membakar karya sendiri?
Bebannya berat banget buatku menghasilkan karya yang buruk. Sampai sekarang, setiap kali ada bukuku yang terbit, misal buku ini (ia menunjuk bukunya, Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya), udah lebih dari tiga bulan kan. Aku udah muak sebenarnya, untuk baca lagi atau melihat. ‘Aduh kesalahannya banyak banget. Aduh seharusnya ini nggak usah terbit sekarang,' gitu.
Nah, karena punya kecenderungan kayak begitu, ketika aku merasa satu karya sudah harus terbit, ya terbit sajalah. Kebencian yang datang di kemudian hari terhadap diriku sendiri ya dipikir nanti.
Itu esai dan cerpen saja atau..?
Semua. Jadi setelah Misa Arwah terbit itu aku nggak puas-puas nulis puisi. Itu 2015. Baru sekarang aku bisa ngumpulin 20an puisi. Hampir 5 tahun.
Susah banget untuk keluar dari situ. Karena jengkel kan aku sama yang begitu, 'Anjing, aku nulis jelek banget.' Gimana ya caranya biar nggak mengulang? Gitu kan. Keledai saja hanya jatuh dua kali pada lubang yang sama. Kalau sampai satu buku kan sampai berapa tulisan tuh.
Semakin banyak tulisan yang terbit semakin jadi beban dong?
Iya. Semakin banyak tulisanku yang beredar sebetulnya semakin berat. Karena ketika aku baca lagi, atau aku denger lagi orang membicarakan itu, kayak, 'Kenapa aku melakukan ini? Kenapa aku menulis ini?' Susah sih.
Mungkin ada untungnya ya, misalkan aku dapat kritik gitu, ya kayak terasa seperti pujian. Karena tidak sekasar dan tidak sekeras kebencianku terhadap diri sendiri. Hahaha.
Ada beberapa kritik, 'Oke saya setuju nulisnya bagus, tapi ada poin ini saya nggak setuju.' Aku jawab, ‘Oke, saya sepakat, saya! (sambil jempolnya naik dari bawah meja dan ia merenges seperti bocah berhasil berbohong ke emaknya dan tidak ketahuan). Jadi tidak ada pembantahan. Jadi nggak bisa sakit hati sama komentar orang, karena udah sakit hati sama diri sendiri.
Menjadi penulis apa harus tebal muka?
Tergantung. Muka tebal itu kan artinya dia tahu dia nggak sanggup, dia tahu dia nggak pantas, tapi hantam terus, gitu kan?
Tidak tepat seperti itu ya?
Dalam satu sisi iya sih, harus keras kepala. Kalau kita mau nulis nih, baru dua tiga biji, terus mau langsung berhasil. Ya nggak bener juga. Hemingway tuh pernah nulis, apa saja sih yang dibutuhkan untuk menjadi seorang penulis hebat?
Ya dia bilang ada integritas, ada disinterestedness, kayak nggak oportunislah. Yang paling penting tuh daya tahan, dia bilang. Daya tahan untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum mati.
Aku setuju sih. Kupikir penulis, dan mungkin pekerjaan lain, yang paling penting tuh ya daya tahan. Orang bisnis kan juga begitu. Tadinya jualan bakso terus kepleset, 'Ganti, ah, jualan kain aja.' Ya kapan pinternya?
Daya tahan ya...
Aku sering banget denger cerita dari temen-temen yang baguslah, aku nggak cerita namanya. Nulisnya bagus, novelnya bagus. Ya hampir gila karena putus asa sama tulisannya sendiri, "Kok aku nggak bisa naik kualitasnya, nggak tambah bagus. Bahkan aku nggak tau cara menggambarkan adegan ini kayak apa.” Mikirin satu kalimat lama sekali. Ada beberapa temen yang cerita kayak gitu. Aku nggak sampai situlah. Nggak sampai nyaris gilalah. Tapi, setahuku ya, penulis-penulis yang berhasil, nggak pernah gampang jalannya.
Tapi biasanya kalau di depan orang menunjukan dirinya sebagai orang yang santai aja.
"Apakah Anda bekerja keras?"
"Oh tidak. Saya tidur-tiduran aja." Hahaha.
Sebaliknya, ada tuh orang yang setiap ini (wawancara) ngomong, “Nanti ditulis ya saya bekerja keras.” Kayaknya saya bekerja tiga kali lebih keras tapi nyantai aja gitu. Karena kan apa gunanya, sebenarnya, pembacamu tahu bahwa kamu keras sekali bekerja untuk menyelesaikan itu? Kan nggak ada manfaatnya.
Karena pada akhirnya yang dibaca adalah karya-karyanya.
Iya. Apa gunanya, misalkan, pembaca Harry Potter tahu tiga bulan J. K. Rowling nggak bisa berak gitu mikirin, "Asramanya apa ya namanya?" Kan nggak ada urusannya.
Dan karena itulah, urusan terbesar penulis, setahuku, sejauh yang kualami, sejauh yang kulihat di sekitarku, pertaruhan terbesar tuh sama dirinya sendiri.
Kini Dea bekerja di Asumsi.co. Di laman resmi Asumsi, nama Dea diberi predikat sebagai Copy Editor. Sebelumnya, ia sempat bekerja sebagai editor advertorial dan wartawan di Tirto.id.
“Orangnya baru sedikit. Aku editor sebenarnya, tapi penulisku baru tiga biji,” katanya.
Hal ini, mau tak mau, membuatnya seringkali turun liputan, jauh lebih sering dibanding dulu ketika masih di Tirto, misalnya pada huru-hara 22 Mei, demonstrasi besar-besaran di DPR bulan lalu, juga untuk program #AsumsiDistrik yang baru dimulai akhir Oktober kemarin. Ia juga sempat menulis kolom mingguan meski kini terhenti.
📚📚📚
Banyak penulis yang bilang bahwa menulis adalah pekerjaan yang sepi. Menyedihkan, bahkan, karena harus terus-menerus di ruang privat, menyepi, dan lain-lain. Mas sendiri?
Aku nggak ada bayangan romantik tentang kerja menulis. Praktis aja gitu. Misalkan kalau ngeliat orang gitu, ada temen gini, nggak apa-apa, bisa nulis. Cuma keganggu suara. Aku suara kecil, sekecil apapun itu, bisa nge-distract. Jadi biasanya aku kerja malem sih, karena keganggu banget denger suara orang ngobrol, tadi lagi mikirin apa terus lupa.
Kan ada penulis-penulis yang mensakralkan pekerjaannya tuh. Hahaha, jadi Tuhan aja, Bos!
Aku sih praktis ajalah gitu. Karena menurutku orang nulis tuh kerjaan aja. Sebagaimana tukang jahit atau tukang kriya gitu yang bikin asbak. Cuma aku mungkin kalau jadi tukang jahit udah lama ditinggal pelanggan karena bajunya nggak jadi-jadi. “Kawinannya lusa nih jadinya bulan depan.”
Deadline di media massa kan lebih tidak bisa ditolerir ketimbang menulis fiksi. Menghadapinya bagaimana?
Gimana ya. Kadang aku semena-mena sama deadline. Kadang aku bisa nepatin deadline. Kadang misalnya deadline-nya hari Senin nih, hari Minggu sore aku udah kirim, jarang tapi. Seringnya tuh misalnya deadline-nya Senin, udah hari Selasa pagi belum selesai tulisannya. Hehe.
Mungkin aku beruntung aja sih, bekerja di tempat-tempat yang mau memaklumi. Mungkin kalau aku ada di satu tempat lain yang nggak mau memaklumi, ya udah lama dipecat gitu baru kerja seminggu.
Mas sendiri pernah nulis, "Kerja di media itu seperti mesin-mesin bubut." Itu maksudnya sudah lelah sekali atau seperti apa?
Iya, itu karena aku sebelumnya nggak pernah kerja dengan pace yang cepat. Walaupun sebenernya pace-ku itu waktu kerja di Tirto itu udah lebih lambat yang lain. Kalau temen-temen itu nulis empat seminggu, aku cuma dua.
Memang lebih panjang, risetnya kadang lebih banyak, tapi lebih sedikit. Cuman mungkin ya karena nggak kebiasa gitu, karena nggak kebiasa nulis cepat. Intinya selesai nih aku nulis soal pisang deh, misalnya. Trus besok kan harus nulis baru lagi nih, misalnya soal Facebook.
Nah itu dalam jangka waktu tertentu, katakanlah setahun-dua tahun berganti-ganti terus kayak gitu, harus baca banyak, harus ngejar tenggat. Ada efek yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Blank gitu. Kayak duduk, tapi nggak mikirin apa-apa.
Tidak semua wartawan punya kemewahan seperti itu kan. Ada yang malah sehari harus bikin 10 berita.
Dan aku merhatiin ada fenomena itu. Kalau temen-temen wartawan itu kadang-kadang, duduk tatapannya kosong gitu. Atau jalan gitu, terus ditegor, "Woi!" Nggak noleh gitu. Kayak ada kabel yang putus gitu.
Nggak cuma di Mas saja ya?
Iya, nggak cuma di aku. Tapi mungkin tekanan yang mereka rasakan lebih berat karena bebannya lebih banyak kan. Aku ngerasa sebetulnya nggak beranilah kalau ngaku wartawan gitu ke teman-teman yang kerjanya lebih keras. Aku merasa dapat banyak privilege.
Tapi kalau ngeliat teman-teman kadang kasihan. Apalagi reporter. Reporter tuh kan kerjanya paling berat, gajinya paling kecil. Di media-media sekarang sih rata-rata, dari yang kudengar, kalau dari segi gaji ya udah lumayanlah. Cuman kan masih banyak tuh yang kayak sebulan cuman dikasih 300 ribu. Liputan hampir ke luar kota gitu, nggak ada duit bensin. Nah itu tuh pasti menumpuk kan di kepalanya.
Kerja dia sehari-hari aja tuh udah melelahkan. Ke sana-sini, nulis berita 10, tambah lagi sama beban hidup. Kalau kayak gitu kan otomatis dia nggak bisa membayangkan masa depan. Gimana bayangin mau beli rumah, orang mau beli bensin aja susah. Problem.
Kayak aku berapa kali denger cerita temen wartawan udah nggak kuat gitu, mau bunuh diri. Ya nggak tau sih, kupikir industri media massa gitu di Indonesia harus banyak berbenah.
Ada satu kasus menarik kemarin, waktu aku menulis soal Livi Zheng. Itu beberapa orang memilih komentar kayak gini, “Kenapa kalian membahas Livinya? Bukan membahas media yang membesarkannya? Itu kan kelakuan media juga nulis berita banyak.”
Yang mereka nggak paham adalah bagaimana industri media bekerja. Ketika ada seorang tokoh publik rajin ngirimin press release, itu kan terasa seperti berkah. “Ok, tinggal sembilan,” Kalau 10 gitu. Tinggal diketik ulang. Ya itu besar artinya buat orang-orang yang sehari nulis 10 berita.
Yang kubayangkan sih begitu. Dan apakah itu salah wartawannya? Ya, mungkin satu hal mereka tidak verifikasi, oke. Tapi apa artinya gitu, beban yang berat itu, dibandingkan gencetan pemodal, dan itu setiap hari. Kamu pikir orang sekuat apa? Gajinya kecil lagi kan. Liputan demo, palanya kena batu. Ditangkep polisi. Kadang nggak kira-kira juga ekspektasi orang.
Sekarang jadi editor, apa ada bedanya?
Karena aku ngerasa pernah ngalamin jadi penulis yang kayak gitu, sebenernya sebagai editor pun aku lunak soal deadline. Kutanyain terus, misalnya, “Hambatannya apa? Butuh kontak siapa? Kubantuin.” Ketika, “Oh, aku belum bisa selesai tulisannya.” “Oh, yaudah…” Tapi kan dari segi perusahaan itu sulit ya. Cuma ya urusan nantilah.
Nggak tahu sih, aku sih lebih banyak mikirin well-being penulisku ketika aku jadi editor. Dulu waktu kerja di penerbitan juga begitu, ketika penulisku belum bisa setor walaupun harusnya naskah ini terbit, yaudah nanti. Memang problem kita ini saya pikir adalah kapitalisme, memang anjing! Hahaha.
Karena kamu dipaksa memproduksi sekian banyak: nggak peduli kualitasnya, nggak peduli prosesnya udah bener apa belum, tapi harus produksi terus, produksi terus, produksi terus, kan gila.
Kalau memang barangnya nggak ada, nggak usah diada-adain, aku sih mikirnya begitu ya. Mungkin ya, mungkin, aku nggak tahu juga praktisnya gimana, tapi yang kubayangkan adalah industri ini harus berganti cara berpikir. Cara nyari uang tuh digantilah, jangan lagi dengan klik, traffic. Duitnya kan kecil, recehan, karena duitnya kecil kamu harus kerja seperti kuda, ngumpulinnya sehingga banyak.
Ada alasan kayak, “Ya, kalau mau pake donasi, orang Indonesia belum mau nyumbang.” Pasti ada caranyalah. Jadi pemodal kok manja. Hehe.
Saat ini Dea tengah sibuk menyiapkan buku kumpulan puisi terbarunya. Judulnya Kertas Basah. Rencananya, buku itu akan terbit akhir tahun ini.
Hal ini membuat gemas teman-temannya, salah satunya adalah Sabda Armandio. Dio tahu bahwa Dea tengah mengerjakan novel, hutangnya dari residensi di Meksiko yang disponsori Komite Buku Nasional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang belum kelar sampai sekarang. Di Twitter, Dio beberapa kali menggoda Dea dengan sebutan ‘novelis’—padahal kawannya itu belum menerbitkan novel.
📚📚📚
Kok mau menerbitkan buku puisi? Kami kira malah novel duluan.
Nah itu dia persoalannya, yang ditanyakan temen-temen juga, 'Katanya ngerjain novel?"
Aduh, gimana ya? Sebenarnya itu tuh jalan paralel. Aku nyiapin naskah kumpulan puisi ini udah sejak 2015 akhir. Cuma lambat sekali progresnya, sehingga empat tahun tuh baru sedikit naskah yang terkumpul. Cuma sekarang yang aku merasa paling siap terbit tuh itu. Paling tinggal nambahin semacam catatan pengantar.
Sementara novel itu aku merasa masih jauhlah. Orang belum selesai ditulis juga, masih kurang banyak. Tentu saja cara bekerja yang seperti itu menjengkelkan teman-temanku. Kayak misalkan aku bergaul sama Dio, gitu kan. Dio seorang novelis. Anjing, novelnya udah tiga. Dan sekarang dia lagi ngerjain novel keempat. Dia jengkel banget, novelku satu aja nggak beres-beres.
Jadi kayak, “De, aku udah ngerjain novel baru nih, punyamu gimana?”
“Waduh, gini-gini-gini.”
“Ck, ah. Dikerjain aja!”
Ya nggak bisa, gitu. Dia beda jenis sih. Mungkin pemakluman buat diriku sendiri aja ya. Tapi aku merasa (kami) jenis penulis yang berbeda. Dia orang yang ketika ngerjain satu naskah, dia intens ngerjain itu terus sampai selesai.
Aku tuh kalau misalkan ngerjain naskah puisi, kalau buntu, yaudah ngerjain novel. Novelnya buntu aku ngerjain non-fiksi. Kalau semuanya buntu yaudah, ngetwit. Hahaha. Enggak, yaudah, tidur. Jadi nggak bisa, kayak harus satu sampai tuntas.
Tapi waktu Dio kemarin ngeluarin beruntun, novel dan kumpulan cerpen, ada perasaan jadi terburu-buru atau tidak?
Enggak, sih. Justru sebetulnya saya merasa takut karena semakin banyak dia mengeluarkan novel semakin marah dia novelku nggak selesai-selesai. Kayak, 'Kamu mau dipancing pakai apa lagi?' Kira-kira gitulah.
Dalam menulis, entah puisi, cerpen, atau apapun, ada topik yang paling disukai?
Aku tuh seneng ini, ngomongin betapa manusia itu suka melakukan hal yang sia-sia, yang dia tau nggak akan berhasil seperti yang dia bayangkan, tapi tetap dia lakukan.
Misalnya, komunikasi. Komunikasi antar manusia itu selalu ada yang nggak tersampaikan. Ada yang nyangkut, entah karena orangnya kurang artikulatif atau karena keterbatasan kosa kata, entah karena keterbatasan waktu, kondisi emosional.
Cinta. Kan ada saja yang kurang, ada saja yang nggak sesuai khayalan, tapi orang tetap melakukannya. Mengupayakan dunia yang lebih baik. Begitu banyak, kupikir, hal-hal yang dilakukan manusia walaupun dia tau enggak akan jadi 100%.
Kamu tahu kamu bakal kalah, tapi kamu tetap melakukan ini. Itu butuh keberanian. Karena selalu ada opsi untuk tidak melakukan apa-apa, selalu ada opsi untuk bunuh diri. Dan orang kupikir nggak bisa disalahkan ketika dia memutuskan untuk bunuh diri, orang dia nggak milih, dia gak bertanggung jawab untuk sesuatu yang di atas sana karena di atas sana cuman ada kehampaan. Hahaha.
Ya tapi toh orang tetep memutuskan untuk jalan. Kalau kata Albert Camus kan kayak Sisyphus. Menurutku epitom keberanian tuh itu, kamu tahu situasi ini, kamu nggak bakal menang, umurmu terbatas, tapi tetap kamu kerjakan.
Kalau dipikir-pikir ngapain orang ngumpulin duit susah-susah buat beli rumah? Nikmatinnya paling cuman 20 tahun, terbebas dari KPR misalnya. Tapi toh aku tetep mau melakukannya. Padahal selalu ada opsi untuk menjadi gembel kan, atau tinggal di hutan, atau di mana gitu.
Menurutku itu menarik. Ngotot banget kita. Kita nih spesies yang sangat ngotot. Ketika misalkan kita tau, kita cuman sementara, usianya pendek, tapi tetep mengerjakan hal-hal yang jangkanya panjang. Yang kita tahu mungkin akan diteruskan oleh orang setelah kita, mungkin enggak. Mungkin kita akan diingat, mungkin ditertawakan, mungkin terhapus aja, tapi tetep kita lakukan.
(Ryūnosuke) Akutagawa itu pernah nulis cerpen lucu soal ini. Judulnya Kappa (1927). Kappa tuh kayak siluman air gitu, tapi hidupnya Kappa ini kayak manusia, ada penulisnya, ada apa, ada apa.
Nah ada salah satu Kappa ini yang pekerjaannya penulis, dia penasaran, di masa depan dia masih bakal dibicarakan nggak sama orang? Jadi dia sengaja bunuh diri tapi roh nya gentayangan kan. Terus dia sebel sekali ketika orang membicarakan dia dengan cara yang keliru. Ada untungnya kita, hantu-hantu tidak ada kan, tidak mungkin gentayangan.
Jadi tidak pernah muluk-muluk ya.
Iya. Pada akhirnya pikiran akan jadi apa semua ini ya tidak relevan juga ketika orangnya udah mati.
Makanya melihat menulis hanyalah sebuah pekerjaan saja begitu ya. Mas pernah bilang sastra tidak lebih penting dari air ledeng atau deodoran.
Aku merasa sangat menghargai menulis itu sebagai sebuah cabang seni. Kayak ini tuh diupayakan orang, dikembangkan orang, selama ribuan tahun, berlanjut terus. Ada atau nggak ada aku, aku ada disini atau gak ada disini, ini akan berlanjut terus.
Kalau bisa menambahkan sesuatu ya, senang sekali kan menjadi bagian dari tradisi panjang itu. Kalau nggak juga ya gapapa. Bisa nikmatin aja sebagai pembaca. Sebagai penulis yang cuman jadi catatan kaki atau gak dianggep ya nggak persoalan.
Dan ya, tentu saja nggak lebih penting dari deodoran. Misalkan gini, buat orang yang bau badan, kalau dia punya duit Rp 40 ribu ya sebaiknya dia beli deodoran saja nggak usah beli buku.
Karena kan orang sering meromantisir, kayak, “Menulislah supaya abadi.” Ya nggak harus. Kita gak bisa memaksakan standar kita ke orang kan. Ya buatku penting, buat banyak orang lain penting. Ketika dokter langgananku nggak tahu siapa Goenawan Mohamad ya aku nggak ada urusan.
Nggak sepenting itulah, sebagaimana sebetulnya nggak ada urusan yang penting-penting amat di dunia ini.