Wawancara Khusus: Yang Fana adalah Waktu, Sapardi Abadi

19 Juni 2017 9:04 WIB
·
waktu baca 2 menit
clock
Diperbarui 28 Juli 2022 22:45 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Clip on kami tersangkut di jaketnya dan Sapardi minta maaf.
“Saya pakai jaket karena kalau di ruang sidang dingin, sudah tua begini.”
Sapardi baru saja menguji sebuah sidang tesis mahasiswa S2 Institut Kesenian Jakarta, dan dalam 30 menit harus menguji sidang lainnya lagi, ketika menerima kumparan di ruangan pengajar IKJ, Kamis (8/6).
Sapardi Djoko Damono (Foto: Youtube/ Lontar Foundation)
Jaket blouson biru tua itu membungkus tubuh kurusnya. Tampilan necis selalu menjadi gaya konsisten Sapardi. Saat ini blouson, di lain waktu ia terlihat nyaman menggunakan jas dengan rona kalem.
Menutupi rambutnya yang sudah rata beruban, flat hat bertengger di sana. Pada umurnya yang sudah 77 tahun, Sapardi tetap mempertahankan kesan penyair-akademisi dengan cermat meski sederhana.
Sapardi Djoko Damono. Foto: Tio/kumparan
Hanya, sejak beberapa tahun belakangan, ia harus mengenakan tongkat untuk berjalan. Pada tahun 2014 kakinya pernah patah karena terpeleset di kamarnya sendiri.
Namun umur tua hanyalah angka. Periode Maret hingga Mei kemarin, Sapardi baru saja meluncurkan sebuah novel (yang kedua dari sebuah trilogi) dan enam buku puisi --dan keenam-enamnya telah dicetak ulang.
Novel Sapardi yang berjudul Hujan Bulan Juni bahkan akan diproduksi menjadi film dan direncanakan tayang akhir tahun ini.
Untuk melihat api abadi seorang Sapardi Djoko Damono, simak wawancara kami dengannya.
Klik di sini: Playbuzz.