Ekspektasi versus Realita Jadi Anak Magang

14 Oktober 2019 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Magang Foto: Unsplash/Annie Spratt
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Magang Foto: Unsplash/Annie Spratt
ADVERTISEMENT
Magang menjadi salah satu mata kuliah wajib buat mahasiswa semester tua. Lewat magang, mereka bisa sedikit mencicipi dunia kerja selama tiga sampai enam bulan ke depan.
ADVERTISEMENT
Makanya, enggak heran kalau magang menjadi sesuatu yang dinanti mahasiswa. Bayangan bahwa akhirnya bisa merasakan kehidupan kantor, mengaplikasikan ilmu yang selama ini dipelajari di kampus, sampai bertemu dengan 'kakak senior' di tempat kerja, bisa bikin semangat.
Tapi, terkadang realita berkata lain. Bisa jadi, perusahaan enggak kunjung merespons lamaran magang kamu, jam kerja yang lebih padat dibandingkan jadwal kuliah, sampai kerjaan yang menumpuk.
Kayak yang dialami oleh lima mahasiswa yang lagi menjalani magang ini, nih. Gimana ceritanya? Simak di bawah, ya!
Ekspektasi: Kebayang kalau magang itu kaku banget. Even dari lingkungan kerja atau jam kerjanya. Kayak harus masuk dan pulang sesuai jam kantor. Selain itu, gue juga mengira kerjaan anak desain cuma duduk di depan komputer seharian penuh.
ADVERTISEMENT
Realita: Ternyata salah besar. Sehari-harinya gue harus ketemu klien, ikut rapat, foto produk, menyiapkan beberapa kebutuhan kalau ada kunjungan kantor, mengerjakan konten Instagram, dan masih banyak lagi. Jadi orang sibuk, deh, pokoknya. Dari sini gue juga mendapat banyak banget ilmu.
Ekspektasi: Bayangan gue, tuh, magang bakal diperbudak sama atasan. Dikasih tugas yang enggak sesuai jurusan kuliah. Terlebih lagi, banyak cerita anak magang dari jurusan kuliah gue, kerjaannya cuma fotocopy atau nge-print.
Realita: Kenyataannya, gue bersyukur banget, sih. Orang-orang kantor gue super baik, dan ngebebasin anak magang untuk berpendapat. Gue-nya aja yang malu-malu dan negative thinking duluan.
Penanggung jawab gue juga benar-benar santai. Setiap gue enggak selesai transcript dan harus lembur, dia malah minta maaf, dong? Padahal, kan, gue yang salah. Seharusnya gue yang bilang minta maaf.
ADVERTISEMENT
Syaban dok Instagram @syabanalif
Ekspektasi: Kata orang kalau mau magang harus ada channel (dengan bantuan orang dalam). Jadi gue berpikir, kalau ada 'orang dalam' bakal gampang diterima magang.
Realita: Meski gue harus menunggu tiga bulan, dan digantungin sama perusahaan, ternyata usaha sendiri justru lebih membuahkan hasil.
Ekspektasi: Ketika wawancara, gue nanya soal jam kerja. Katanya normal, dari pukul 10.00-20.00 WIB. Ya, menurut gue biasalah. Masih dikategorikan bisa ditoleransi.
Realita: Udah kurang lebih tiga minggu gue magang, sampai detik ini enggak pernah merasakan pulang pukul 20.00 WIB kayak perjanjian awal. Gue pertama kali masuk, pulangnya langsung pukul 23.00 WIB. Besoknya malah pukul 00.00 WIB. Bahkan, pernah pukul 01.00 WIB.
ADVERTISEMENT
Selain itu, lingkungan kerja gue toxic banget. Selalu membandingkan anak-anak magang. Ya, gue tahu cuma anak magang, enggak dibayar juga enggak masalah. Asalkan mereka menghargai hasil kerja gue.
Ekspektasi: Berharap ketemu sama senior yang asyik. Terus, bakal bekerja dalam tim.
Realita: Hari pertama kerja, langsung dilepas sendiri. Padahal, gue enggak biasa wawancara orang penting dan artis. Itu semua gue lakukan sendiri.
Selain itu, seniornya enggak asyik. Pengin sekali-kali buat Instastory tentang aktivitas magang. Tapi, enggak pernah bikin, karena enggak mau pura-pura senang.
Reporter: Aulania Silviananda