Emang Benar, Influencer Modal Exposure Doang?

13 Agustus 2019 9:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Menjadi buzzer dan Influencer. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Menjadi buzzer dan Influencer. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Punya ribuan followers, tiap unggahan di-like banyak orang, sampai kolom komentar yang enggak pernah sepi pujian, adalah beberapa hal yang identik dengan profil akun media sosial seorang influencer. Banyaknya sorotan yang didapat influencer ini juga dimanfaatkan sebagai ladang bisnis untuk mengumpulkan pundi-pundi uang.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memberikan exposure. Menurut kamus Cambridge, exposure berarti perhatian yang diberikan untuk seseorang atau sesuatu, oleh media massa, seperti televisi, koran, majalah, dan lainnya. Tapi seiring berkembangnya teknologi, perhatian ini juga bisa diberikan lewat media sosial.
Influencer memanfaatkan sorotan yang didapatnya untuk memberikan exposure terhadap jasa atau barang yang diberikan. Dengan cara ini, pemilik brand membayar dan atau memberikan produknya secara cuma-cuma, supaya usahanya makin dikenal khayalak. Alias, si influencer cukup unggah di media sosial untuk ‘membayar’ produk yang ia dapat.
com-Influencer Foto: Shutterstock
Tapi, cara ini enggak jarang menimbulkan kerugian bagi pemilik usaha. Di beberapa kasus, pemilik usaha yang telah mengeluarkan modal, enggak merasa sebanding dengan ‘bayaran’ exposure yang diberikan influencer.
ADVERTISEMENT
Apa lagi dengan tingkah influencer yang bermacam-macam. Belum ditawarkan kerja sama, eh, udah meminta diberi produk gratis cuma dengan jaminan diunggah ke Instagram Story.
Influencer sekaligus entrepreneur, Maulaa HR, mengaku kontra akan perilaku seperti ini. Bagi dia, influencer yang meminta di-supply ke pemilik brand yang baru memulai usahanya termasuk kurang beretika.
"Sebagai influencer harus tahu diri, karena kita hidup di (tengah) masyarakat. Di sisi lain, pemilik brand harus mengerti media sosial dimanfaatkan influencer untuk mencari pekerjaan. Jadi balik lagi, harus sesuai dengan kontrak dan perjanjian awal," jelas pemilik akun Instagram @maulaahr ini, kepada kumparan.
Ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira menilai risiko dari kerja sama exposure emang relatif besar. Karena bisnis di media sosial bersifat jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Makanya, ia menyarankan supaya ada kontrak tertulis yang mengikat pemilik usaha dengan influencer. Jadi enggak cuma lewat platform chatting tanpa adanya hitam di atas putih.
“(Exposure) ini, kan, bagian dari paid promotion. Jadi sah aja. Tapi harus ada kontrak kuat supaya kalau dilanggar bakal ada konsekuensi hukumnya. Jadi kedua pihak bisa sama-sama profesional,” ucap dia.
Sebab ada beberapa kasus ketika influencer enggak patuh terhadap kontrak setelah diberikan barang. Di sisi lain, ia menyebut para pemilik bisnis skala kecil juga latah dalam memberikan produk tanpa menimbang dan mengetahui lebih jauh sosok influencer-nya.
"Padahal, imej influencer adalah sesuatu yang penting karena bisa berpengaruh kepada brand yang di-endorse,” papar Bhima.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Karena itu, Restu Tyas selaku Founder brand pakaian Swasti (@swasti_id), enggak mau sembarangan dalam bekerja sama dengan influencer. Menurutnya, pemilik usaha harus punya kriteria khusus agar enggak merasa dirugikan.
ADVERTISEMENT
Restu cenderung memilih influencer yang berada di lingkaran terdekatnya. Bagi dia, hal ini memudahkan untuk mengetahui latar belakangnya. Enggak lupa, ia juga bertanya kepada pemilik brand lain yang pernah bekerja sama dengan influencer tersebut.
“Yang mau aku bangun emang identitas brand. Jadi enggak asal ngasih barang. Karena aku pengin orang yang mengiklankan produkku bisa mewakilkan identitas dari brand yang aku punya,” tutur Restu.
Bagi seorang Fashion Illustrator dan kreator konten, Dinda Puspitasari, influencer sebaiknya menawarkan kualitas, enggak cuma jumlah followers atau likes. Karena kualitas seorang influencer enggak ada yang bisa menggantikan.
"Karena kualitas adalah sesuatu yang unik bagi masing-masing kreator. Jadi apa yang bisa ditawarkan, dan jenis konten apa yang bisa diberikan. Kalau cuma fokus ke angka, suatu hari bakal ada influencer lain dengan jumlah pengikut yang lebih besar," kata Dinda.
ADVERTISEMENT
Influencer yang memiliki akun Instagram @dindaps ini menambahkan, exposure sebenarnya enggak 100 persen negatif. Justru dari situ bisa mendapatkan sesuatu yang lebih, seperti calon klien, sampai memperluas jaringan.
"Aku bingung orang-orang bersuara, 'Kok, influencer udah segede itu (tapi) masih maunya exposure?'. Well, enggak ada yang salah sebenarnya. Mungkin ada aja (brand) yang mau menawarkan exposure. Tergantung kebutuhan kita, dan kebutuhan brand," tutupnya.