Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jalan Panjang Mahasiswa FH UI Akali Aturan SBMPTN
4 Juli 2018 15:00 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:25 WIB
ADVERTISEMENT
Anton (bukan nama sebenarnya) memilih Fakultas Hukum (FH UI) sebagai tempatnya berlabuh pada 2016. Meski sempat kuliah selama tiga tahun di sastra pada 2012, serta di saat teman-temannya sibuk bikin skripsi, dia justru sibuk mengurus administrasi kuliah sana-sini, mulai lagi dari nol.
ADVERTISEMENT
Tapi paling tidak, itu sudah berjalan sesuai dengan rencananya, berhasil mengakali SBMPTN dengan Paket C dan diterima di FH UI.
Ragam pertanyan lantas mengemuka. Bagaimana mungkin pria kelahiran 1994 itu bersedia memanipulasi tahun kelulusannya demi mendaftar SBMPTN dengan ijazah Paket C. Bukankah itu hanya akan buang-buang waktu?
Anton jelas punya jawaban. Dan itu bukan soal ambisi semata.
“Gue lulus tujuh tahun dari jurusan (FIB) yang akreditasinya enggak A. Dan IPK pas-pasan. Gue mau ngapain?” ujar Anton blak-blakan kepada kumparan, di Fakultas Hukum UI, Jumat (29/6).
Sejak 2012 lalu, Kuliah Anton di sastra memang berantakan. IPK-nya terjun bebas. Tak ada harapan lagi untuk bangkit. Kalau itu diteruskan, kata dia, dirinya hanya akan gagal dan menjadi pengangguran di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, dia sangat khawatir tentang hal itu.
“Siapa sih yang enggak merasa khawatir begitu. Pas gue Maba (mahasiswa baru) , ada senior gue yang habis wisuda bukannya nyari kerja malah nongkrong di Kansas (Kantin Sastra),” ucapnya lirih.
Tekadnya untuk keluar dari fakultas itu semakin mendidih kala Kepala Prodi memvonisnya lulus enam hingga tujuh tahun. Bagi Anton, hal itu jelas tak bisa dibenarkan untuk hidupnya.
Oleh sebab itu, kata dia, mencoba peruntungan dengan mendaftar Paket C, mengikuti bimbingan belajar (bimbel), ujian SBMPTN dan SIMAK, hingga kuliah lagi dari nol merupakan satu hal yang layak untuk diperjuangkan.
“Kalau gue bisa 3,5 tahun di sini (FH). Artinya kan gue sama aja lulus tujuh tahun dengan tambahan satu semester gitu. Ya sama aja kan, gue lulus tujuh tahun. Enggak masalah artinya. Enggak buang-buang umur juga pada akhirnya,” tegas mahasiswa yang bercita-cita jadi hakim ini.
ADVERTISEMENT
Menurut Anton, semua rencana yang dia susun dengan matang itu sudah didiskusikan dengan kedua orang tuanya. Memang, sempat ada sedikit perdebatan dari sang ayah soal ide ‘ekstrem’ ini. Selain perkara buang-buang waktu, sang ayah juga memikirkan soal biaya yang harus dikeluarkan untuk memuluskan semua rencana anaknya tersebut.
“Orang tua gue sebenarnya terbelah dua. Kalau nyokap tuh lebih support. Menganggap gue sebagai pribadi yang dewasa. Kalau bokap ada resisten,” jelas dia.
Namun sekali lagi, Anton berusaha meyakinan agar kedua orang tuanya dapat setuju dengan idenya tersebut. Saat itu dia sangat yakin bahwa upaya ini dapat terlaksana dengan baik, pasti sesuai rencana.
Di keluarga, Anton merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Orang tua Anton memang sangat sayang padanya. Sejak kecil orang tuanya selalu menaruh perhatian besar bagi pendidikan anaknya tersebut.
ADVERTISEMENT
Bukan hal yang mengherankan jika hati orang tuanya luluh dan bersedia memberikan anaknya itu kesempatan kedua untuk menjadi seorang sarjana.
“Orang tua gue pokoknya bikin gue anak yang biayanya mahal lah begitu,” terang dia.
Sebetulnya, tanpa perlu mengambil jalan memutar berupa ikut Paket C dan mengikuti SBMPTN 2016, Anton sangat bisa diterima di FH UI dengan ijazah SMA 2012 asalkan memilih Ilmu Hukum kelas pararel di SIMAK UI.
Kelas pararel memang merupakan pendidikan S1 di UI yang tak mensyaratkan batas tahun usia kelulusan SMA. Pendaftar dari berbagai usia dapat mengikuti program tersebut. Problemnya, biaya kuliah di kelas pararel sangat mahal. Tidak seperti kelas reguler yang bahkan bisa mencapai Rp 0 rupiah per semesternya.
ADVERTISEMENT
Biaya kelas pararel di FH UI membutuhkan dana sekitar Rp 10 juta per semester. Belum lagi uang pangkal sebesar Rp 12 juta ketika pertama kali masuk. Hal ini jelas berbeda dengan kelas reguler yang uang per semesternya disesuaikan dengan pendapatan orang tua. Di kelas reguler juga tak ada uang pangkal sama sekali.
Hal-hal semacam itulah yang menjadi pertimbangan Anton dalam mengejar Paket C.
“Dengan keadaan gue yang tanpa paket C itu berat sih. Gue waktu itu ada beberapa option. Gue punyalah kayak misalnya ikut sertifikasi keahlian biar bisa kerja. Gitu-gitulah. Kalau gagal kuliah (reguler) yaudah fokus buat cari kerja,” kata Anton.
Namun nasib baik pada akhirnya benar-benar berpihak padanya. Dia di terima di FH, kelas reguler pula. Kegiatan perkuliahan dia jalani dengan semangat, beda dengan dahulu.
ADVERTISEMENT
“So far performa gue di sini enggak jelek. IPK Gue masih di atas 3. Di sini sangat ketat kasih nilainya. So far so fun sih di sini, gue bahagia banget. Secara intelektual passion gue lebih tersalurkanlah,” ujar pemuda berusia 24 tahun tersebut.
Lantas apakah Anton menyesal telah mengakali SBMPTN dengan Paket C?
Jawabannya tidak.
“SBMPTN itu kan kompetisi terbuka. Ya kalau sekalipun gue pakai Paket C, kalau secara kualitas gue enggak masuk ya gue enggak masuk dong harusnya. Jadi pikiran kedua ini yang mengobati rasa bersalah gue,” tandasnya.