Kisah Anak di Keluarga Toksik: 'Aku Lebih Percaya sama Teman daripada Keluarga'

10 Desember 2022 9:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak dengan orang tua bercerai. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak dengan orang tua bercerai. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Bagi aku yang hidup di keluarga toksik, menurut aku pertemanan itu yang benar-benar deket ya, itu benar-benar bisa jadi pengganti dari keluarga aku lah," ujar A, mahasiswa usia 22 tahun yang besar di keluarga toksik.
ADVERTISEMENT
A mengaku tidak mendapatkan fungsi melindungi dan jadi tempat 'pulang' yang mestinya ia peroleh dari keluarga. Justru rasa nyaman dan dihargai A dapatkan dari teman-temannya.
"Bahkan aku lebih percaya sama teman-teman aku daripada sama keluarga aku. Sampai segitunya saking maybe pendapat aku, opini aku nggak pernah didengar sama keluarga aku. Jadinya aku yaudah larinya mau nggak mau pasti ke teman-teman terdekat aku gitu," terang A kepada kumparan, Kamis malam (9/12).
Memilih Tinggal Terpisah
A kini tinggal di Bandung. Ia memilih merantau dengan dalih berkuliah di luar kota dibandingkan tinggal dengan orang tuanya di Sumatera. A mengaku masih tidak nyaman bila harus tinggal satu rumah dengan orang-orang yang menurutnya 'toksik'.
"Jujur saya merasa sangat nggak nyaman ya. Jujur atmosfernya (di rumah) benar-benar nggak enak. Jadi jujur saya lebih milih tinggal terpisah," bebernya.
Ilustrasi anak dengan orang tua bercerai. Foto: TORWAISTUDIO/Shutterstock
Meski tinggal tidak dengan orang tuanya, A mengaku masih berusaha untuk tetap terhubung dengan kedua orang tuanya melalui saluran telepon. Menurutnya cara ini adalah cara terbaik dibandingkan tinggal satu rumah tetapi harus bertengkar setiap bertemu.
ADVERTISEMENT
"Kadang-kadang tetap nelepon, nanya kabar gitu, daripada setiap hari satu rumah ketemu terus berantem terus mental saya juga kena gitu ya lebih baik kita jauh dulu aja," jelas A.
Perlakuan Toksik dari Keluarga
Meski tidak menjelaskan secara detail perilaku toksik yang A terima dari orang tuanya, A mengaku tidak pernah didengar di keluarganya. Opininya sering dianggap tidak penting dan diabaikan.
A juga menyebut perilaku toksik juga hadir dari saudaranya. A sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara mengaku sering dibandingkan dengan kakak-kakaknya serta dicemooh saat tidak bisa melakukan sesuatu.
Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Kmpzzz/shutterstock
"Kita tumbuh di satu rumah yang sama dengan orang tua yang sama, kita punya ketoksikan masing-masing, dan sebenarnya lebih banyak ke toxic-nya tuh lebih ke apa ya ngebanding-bandingin sih," ujar A.
ADVERTISEMENT
Ia juga menyebutkan saat ada masalah, alih-alih dibicarakan, anggota keluarga A lebih sering mendiamkannya, atau istilah sekarang 'silent treatment'.
'Kadang saya berantem nih, di silent treatment-nya lama banget. Karena kita jujur sekeluarga dari kecil itu tidak diajarkan gimana cara berkomunikasi jadi nggak bisa mengekspresikan diri gitu," jelas A.
Merasa Iri dengan Teman
Bagian tersulit saat hidup di lingkungan keluarga toksik menurut A adalah saat membandingkan diri sendiri dengan keluarga lain. A mengaku merasa iri dengan teman-temannya yang punya hubungan baik di keluarga.
Salah satu yang paling A rasakan adalah saat teman-teman A diminta untuk pulang ke rumah oleh orang tuanya. A mengaku ia juga ingin diperhatikan dan punya hubungan dekat dengan orang tuanya seperti keluarga lain.
ADVERTISEMENT
"Misalnya nih saya kumpul sama teman-teman saya dan mereka dicariin sama orang tuanya waktu lagi di luar, disuruh pulang,diperhatiin dan segala macamnya. Itu jujur saya iri 'Oh my god' kok orang-orang yang bisa ya disayang sama orang tuanya kayak gitu, dicariin, sedekat itu sama orang tuanya, sementara aku mau deket aja tuh kayak gengsi banget gitu loh," ucap A.
Berharap Orang Tua Mau Berubah
A berharap orang tuanya mau berubah. Sebagai orang tua, menurut A juga perlu mendengarkan dan menerima saran dari anak-anaknya. A menekankan segala masalah juga dapat dilakukan dengan kepala dingin bukan dengan emosi.
"Misalnya ada edukasi yang diberikan dari anaknya kah atau dari kerabat-kerabat yang lain itu mungkin bisa diterima dengan kepala dingin, tidak dengan emosional," ujar A
ADVERTISEMENT
"Jadi kadang kan ada tuh orang-orang zaman dulu dikasih saran malah nggak nggak nggak. Saya mah udah lebih lama hidupnya. Aku sih berharapnya mereka bisa lebih mau untuk belajar parenting lagi sih walaupun sudah berumur dan segala macam," jelasnya.