Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Melihat Peluang Generasi Milenial di Kancah Politik
28 November 2017 16:53 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:32 WIB
ADVERTISEMENT
Meningkatnya jumlah generasi milenial yang memasuki kancah politik, menjadi tanda dimulainya proses perpindahan tonggak kepemimpinan dalam dunia dunia politik.
ADVERTISEMENT
Mengikuti hal tersebut, tidak sedikit anggapan yang beredar bahwa generasi milenial banyak ‘’diuntungkan’’ dalam hal kecepatan memperoleh informasi, berkat adanya kemudahan teknologi saat ini. Namun, apakah hal tersebut lantas membuat generasi milenial mampu bersaing secara kompetitif di kancah politik?
Untuk membahas isu tersebut, kumparan (kumparan.com ) meminta tanggapan dari Zaenal A Budiyono, seorang pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI).
Dihubungi kumparan pada Selasa (28/11), Zaenal menjelaskan bila kemunculan generasi milenial (generasi Y) ke dalam dunia politik merupakan sesuatu yang harus disambut baik. Sebab, pada masa orde lama, politik merupakan sesuatu yang menakutkan serta cenderung tidak dekat dengan anak muda.
“Kita patut bersyukur karena semakin banyak anak-anak muda, khususnya generasi millenial, yang tertarik dengan politik. Kita tahu (bahwa) pada era orde baru, politik dianggap sebagai sesuatu yang menyeramkan dan jauh dari kesan anak muda. Akibatnya, anak-anak muda saat itu hanya menjadi penonton dari akrobat politik yang dilakukan politisi-politisi tua,” tutur Zaenal.
ADVERTISEMENT
Ditanyai soal seberapa besar peluang generasi milenial untuk mampu bersaing di dunia politik saat ini, Zaenal menjelaskan, generasi milenial harus selalu siap beradaptasi dengan bentuk-bentuk persaingan yang ada dalam dunia tersebut. Namun, tidak lantas sampai harus meninggalkan sisi idealisme yang mereka miliki sebagai anak muda.
Selain itu, dia juga menambahkan, generasi milenial yang akan terjun ke dunia politik sebaiknya tidak hanya terpusat di sektor partai politik saja, melainkan menyebar ke berbagai lini politik lain. Sehingga, peluang mereka untuk mendapatkan posisi-posisi kunci semakin memungkinkan.
“Yang namanya politik tentu ada power struggle dan persaingan antar kelompok. Gen Y harus mampu beradaptasi dengan situasi yang ada. Namun, di saat yang sama (juga harus) mempertahankan idealisme mereka,” jelas Zaenal.
ADVERTISEMENT
“Pilihan untuk berkumpul di salah satu spot politik saja, tidak (akan) terlalu baik untuk jangka panjang. Lebih baik, Gen Y menyebar ke semua lini politik seperti partai, NGO, ormas, dan lain-lain, untuk kemudian mengambil peran-peran kunci di masing-masing institusi,” tambah dia.
Menurut dia, Meskipun masih terdapat beberapa partai yang terkesan menutup diri dari kehadiran orang-orang baru (new bloods), keterlibatan generasi milenial di dunia politik, cepat atau lambat, akan mampu memperbaiki citra partai politik yang saat ini cenderung menurun di mata masyarakat.
“Di saat yang sama, citra partai yang sempat menurun belakangan ini, dapat membaik dengan hadirnya orang-orang baru (new bloods) dari Gen Y. Orang-orang baru ini (masih) menjadi keniscayaan dalam rekrutmen politik di partai, dan partai yang menolak atau alergi (dengan) hadirnya orang-orang baru, cepat atau lambat akan ditinggalkan,” jelas Zaenal.
Kedekatan generasi milenial dengan teknologi, jelas Zaenal, akan berdampak terhadap gaya berpolitik mereka. Menurutnya, mereka tidak akan lagi menggunakan cara-cara tradisional dalam menuangkan gagasan, tapi akan memanfaatkan teknologi yang secara dampak pun akan lebih besar.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kultur yang membangun generasi tersebut juga akan membuat mereka lebih terbuka dengan tren yang terjadi di seluruh dunia. Sehingga, ada kemungkinan bagi generasi milenial untuk turut menerapkan tren tesebut di Indonesia.
“Gen Y jauh lebih dekat dengan media baru, sehingga memiliki gaya berpolitik yang sama sekali berbeda dengan Gen X. Misalnya, mereka tak lagi mengandalkan jaringan tradisional (kekerabatan) dalam menggulirkan suatu ide, melainkan memompa ide tersebut melalui teknologi dan media sosial. Dalam banyak kasus, cara kedua ini jauh lebih besar pengaruhnya di era sekarang ini,’’ jelas dia.
“Gen Y memiliki kultur yang terdidik dan open minded karena (adanya) dukungan teknologi. Sehingga, apa yang menjadi tren global, pasti akan mereka ikuti dan terapkan di Indonesia,” tutur Zaenal.
ADVERTISEMENT
Diakhir, Zaenal berbagi tips dengan generasi milenial yang tertarik untuk berpartisipasi aktif dalam dunia politik. Pertama, ia menyarankan agar para milenial belajar politik sebagai ilmu terlebih dahulu, supaya kesan pertama terhadap politik tidak buruk.
Kedua, jangan mudah terbawa perasaan (baper). Sebab, dalam era demokrasi media seperti sekarang, sangat memungkinkan suatu hari akan ada pemberitaan negatif yang menyerang. Di saat seperti itu, haruslah cerdas dalam menanggapinya.
Ketiga, Zaenal menyarankan agar generasi milenial tidak terlena dengan kemudahan yang ada, serta menginginkan semuanya berjalan serba instan. Menurutnya, teknologi itu hanya merupakan alat pendukung. Sedangkan, dalam politik, kita harus mengenal banyak hal yang hanya bisa dipelajari di lapangan.
Yang terakhir, jangan membuat pandangan yang kontraproduktif terhadap institusi-institusi demokrasi. Misalnya, membuat anggapan buruk terhadap partai politik atau DPR. Sebab, menurut dia hal tersebut tidak akan mempercepat konsolidasi demokrasi.
ADVERTISEMENT