Memahami Quarter Life Crisis yang Menyerang di Usia Seperempat Abad

20 November 2017 20:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Quarter Life Crisis (Foto: Dok. Max Pixel)
zoom-in-whitePerbesar
Quarter Life Crisis (Foto: Dok. Max Pixel)
ADVERTISEMENT
“Cause I wonder sometimes about the outcome of a still verdictless life.”
ADVERTISEMENT
Penggalan lirik lagu John Mayer yang berjudul “Why Georgia” di atas seolah menjadi ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang mengalami krisis seperempat baya atau quarter life crisis (QLC).
Liza Marielly Djaprie, seorang psikolog klinis menjelaskan, QLC dapat terjadi pada seseorang pada kurun usia 20 hingga 30-an akhir yang sedang mengalami masa pencarian jati diri.
Menurutnya, pada masa-masa tersebut seseorang sedang gemar melakukan banyak percobaan dalam hidupnya. Namun, percobaan tersebut tidak selalu menggunakan logika atau nalar yang baik, sehingga menimbukan kehebohan tersendiri.
“Waktu remaja mereka mengalami krisis, karena waktu itu sedang pencarian jadi diri, jadi heboh, kan. Lalu, setelah itu ikut-ikut temannyalah, ada yang coba ini, coba itu, jadi kadang-kadang dapat menimbukan kehebohan sendiri. Karena mungkin coba-cobanya itu tidak menggunakan daya logika atau nalar yang baik, karena masih remaja,” tuturnya.
Mempertimbangkan Banyak Hal (Foto: Dok. Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Mempertimbangkan Banyak Hal (Foto: Dok. Pixabay)
Namun, ungkap Liza, fase tersebut perlahan akan berakhir saat orang tersebut mulai menemukan kestabilan dalam berbagai aspek dan mulai mampu menata hidupnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, QLC dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal bisa disebabkan oleh situasi di dalam diri yang belum kokoh. Sementara, faktor eksternal dapat berupa tawaran-tawaran yang berdatangan dari lingkungan sekitar.
Liza menyarankan pada siapa pun yang sedang mengalami QLC untuk lebih dapat mempertimbangkan banyak hal sebelum akhirnya melakukan sesuatu.
“Ketika titik itu datang, dan mau melakukan sesuatu, ditimbang-timbang saja. Ini positif atau negatif? Membawa manfaat tidak bagi diri sendiri maupun orang lain?” ujarnya.
Anna Surti Ariani, seorang psikolog anak dan keluarga, juga mengungkapkan fenomena QLC dapat terjadi karena adanya masa pencarian jati diri. Namun, menurutnya, hal itu terjadi karena setiap usia itu memiliki ‘developmental task’ masing-masing. Bagi mereka yang sekarang berada di usia 25, tugas perkembangan mereka adalah untuk mencari jati diri.
ADVERTISEMENT
“Transisi dari setiap tahap perkembangan ini akan ada krisisnya, karena perubahan dari tugas perkembangan yang satu ke tugas perkembangan yang lain. Nah, di usia remaja kan 'tugas perkembangannya' adalah mencari jati diri, dan itu baru mantap di usia sekitar 25 tahun,” ujarnya.
Lalu, tugas perkembangan tersebut menurutnya juga akan terus berlanjut. Setelah selesai di fase 18 menuju 25, seseorang akan masuk ke fase dewasa muda (young adulthood), yakni pada jenjang usia 25 hingga 40 tahun. Hal tersebut akan terus berlanjut hingga memasuki fase dewasa akhir (late adulthood) pada jenjang usia 60 tahun ke atas.
Senada dengan Liza, Anna juga memberi saran bagi yang sedang mengalami QLC untuk tidak mengambil keputusan secara mendadak dan berusaha memikirkannya dalam-dalam.
ADVERTISEMENT
“Jangan mengambil keputusan secara mendadak. Usahakan untuk memikirkannya dalam-dalam, dan berkonsultasi dengan orang lain yang bisa dipercaya,” jelas Anna.
Berdiskusi Dengan Keluarga (Foto: Dok. Wikimedia commons)
zoom-in-whitePerbesar
Berdiskusi Dengan Keluarga (Foto: Dok. Wikimedia commons)
Selain itu, ia menyarankan untuk tidak membandingkan diri sendiri dengan orang lain, terutama dengan melihat dari media sosialnya, serta untuk memiliki mentor bila memang kondisinya memungkinkan.
Meskipun demikian, keduanya mengatakan bahwa QLC merupakan hal yang wajar untuk dialami mereka yang berada di kisaran usia tersebut.