Memotret Kristupa dari Lensa Darwis Triadi

9 Juli 2017 18:28 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fotografer Kristupa Saragih (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Fotografer Kristupa Saragih (Foto: Wikipedia)
ADVERTISEMENT
“Rasanya juga di sana, di nirwana, mungkin saja dia juga tetap enjoy di fotografi. Kita enggak pernah tahu, hehe.”
ADVERTISEMENT
Ungkapan ikonis fotografer senior Darwis Triadi itu menyingkap sebuah kelaziman dalam benak seorang manusia: bahwa kehidupan seseorang dikenang melalui apa yang dikerjakannya.
Stroke batang otak telah mengistirahatkan tubuh Kristupa Saragih untuk selamanya. Namun potret kehidupan sang fotografer tetap terpasang dalam galeri ingatan orang-orang terdekat. Kisah dan kesan dari potret kehidupan itu terbuka untuk dikenang dan direpetisi sebagai pelajaran kehidupan--yang mungkin tidak akan ditemui dalam bangku sekolah--bagi mereka yang masih bermukim di dunia.
Kematian Kristupa di usia 40 tahun, pada Sabtu (8/7), meninggalkan duka yang mendalam bagi dunia fotografi di Tanah Air. Kepada kumparan (kumparan.com), Darwis membuka galeri ingatan tentang sahabatnya itu.
Awal perkenalan Darwis dengan Kristupa bermula ketika ia mengadakan lomba fotografi di Jawa Barat sekitar tahun 2001-2002. Saat itu, Kristupa dengan semangat seorang pemuda merupakan salah satu peserta yang mengikuti lomba dan berhasil menuliskan namanya sebagai fotografer peringkat kedua.
ADVERTISEMENT
Keinginan kuat Kristupa untuk mendalami fotografi diungkapkan pada Darwis di mula-mula pertemuan mereka. Karya dan kemauan kerasnya itu membuat Darwis menyimpulkan Kristupa sebagai bagian dari seorang fotografer berkaliber dari generasinya.
Perkenalan dengan Kristupa kemudian berlanjut pada hari-hari dan tahun-tahun berikutnya. Darwis mengisahkan, ia dan sahabatnya itu mulai mengenal lebih dalam satu sama lain ketika sering berkunjung ke Solo, Jawa Tengah. Kebetulan di kota batik itulah Kristupa bermukim. Mereka pun sering berkomunikasi dan bertemu. Kedekatan Darwis dengan laki-laki kelahiran Jambi 18 Desember 1976 itu juga kian dipupuk saat Kristupa tinggal bersama Darwis di Jakarta selama sekitar satu tahun untuk suatu keperluan.
Darwis Triadi (Foto: Instagram/@darwis_triadi)
zoom-in-whitePerbesar
Darwis Triadi (Foto: Instagram/@darwis_triadi)
Darwis mengenang sosok Kristupa sebagai seorang fotografer dengan dedikasi tinggi yang, kata dia, tidak banyak jumlahnya di Indonesia. Di negeri permai ini, Darwis menyebut nasib profesi sebagai fotografer tidak setegak sebagaimana yang ada di luar negeri. Keduanya sering mendiskusikan persoalan-persoalan fotografi.
ADVERTISEMENT
“Saya melihat bahwa dia adalah orang yang mempunyai dedikasi di dalam fotografi. Artinya di dalam mengembangkan fotografi terutama di Indonesia. Karena masalahnya, kan, bahwa berprofesi sebagai fotografer di Indonesia ini harus punya dedikasi dan loyalitas. Dia inilah salah satu yang saya lihat punya hal seperti itu,” ujar Darwis kepada kumparan, Minggu (9/7).
“Fotografi di Indonesia ini sangat spesifik. Tidak seperti di luar negeri, ada semua industri fotografi. Kalau di sini kita harus membuat pasar, harus membuat komunitas, dan harus membuat lapangan. Dan salah satu yang Kristupa kerjakan itu membuat komunitas Fotografer Net,” jelas Darwis.
Fotografer Net merupakan buah kerja keras Kristupa bersama Valens Riyadi yang mendapat apresiasi tinggi dari Darwis. Situs yang diluncurkan pada Desember 2002 itu membawa pengaruh yang tidak kecil bagi fotografer maupun penikmat seni ‘membekukan’ waktu di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak keliru kiranya jika Fotografer Net disebut sebagai sebuah situs yang membantu menambah ruang kelas sekaligus ruang galeri bagi para pelaku fotografi. Disebut ruang kelas sebab situs itu menyediakan tutorial dan kanal berdiskusi tentang fotografi. Sebagai ruang galeri pula, Fotografer Net membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin memamerkan karyanya--untuk kemudian dikomentari atau dikritik oleh publik penikmatnya.
Di sisi lain, situs tersebut dapat dilihat sebagai refleksi dari visi karier fotografi yang hendak dipanggul Kristupa. Kepada Darwis, ia pernah menyatakan keinginannya untuk mengembangkan fotografi edukasi.
Fotografer Kristupa Saranggih (Foto: Instagram/@kristupa)
zoom-in-whitePerbesar
Fotografer Kristupa Saranggih (Foto: Instagram/@kristupa)
Sulit membayangkan keinginan itu mencuat seandainya dalam diri Kristupa sendiri tidak ada kerendahan hati untuk membagikan wawasannya kepada orang lain. Menurut Darwis, kerendahan hati itu tercatat dalam potret hidupnya. Kristupa memiliki kesibukkan membagikan wawasannya dalam berbagai kesempatan di berbagai tempat. Ia dikenal mudah beradaptasi dan bergaul dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Kesibukkanya tersebut yang membuat Kristupa memutuskan untuk berhenti mengajar di Sekolah Fotografi Darwis Triad, setelah mengajar di sana selama empat sampai lima tahun sejak 2005.
“Tapi memang melakukan suatu aktivitas seperti itu tidak mudah. Perlu keseriusan dan tidak pernah putus. Dan mungkin salah satunya juga Kristupa lupa dengan kesehatan dia. Melupakan kesehatan dia karena begitu semangatnya melakukan kegiatan ini,” kata Darwis dengan nada bicara terdengar melemah.
Kekhawatiran Darwis terhadap kondisi kesehatan sahabatnya itu akhirnya memuncak pada sakit yang Darwis sendiri menyebut “cuma mukjizat” yang dapat memulihkan kesehatan Kristupa. Perihal sakit itu tidak pernah diceritakan Kristupa kepada Darwis. Kendati demikian, Darwis sadar bahwa tubuh manusia ada batasnya. Bahwa sakit merupakan konsekuensi, yang mau tak mau dan rela tak rela harus ditanggung, atas lewat batasnya kemampuan tubuh dalam berkegiatan.
ADVERTISEMENT
Perhatian dan peringatan Darwis untuk menjaga kesehatan barangkali tidak lebih kuat dari semangat Kristupa dalam menggeluti karier seumur hidupnya itu. Pada akhirnya kabar Kristupa dilarikan ke ICU, Darwis tetap memberikan dorongan untuk kembali pulih.
“Pada saat dia mengalami stroke itu tiga malam, terus terang saja, setiap malam jam 12 saya mengirimkan energi ke dia. Dan saya masih punya feeling dia masih tahan. Sampai hari keempat, kemarin malam, saya kok lupa memberikan energi ke dia. Tapi mungkin juga kalau saya pikir ada sinyal dari Tuhan: ‘kamu enggak perlu memberikan energi karena Kristupa sudah akan saya angkat,” ucap Darwis.
“Jadi kemarin malam saya juga heran, kok, saya enggak memberikan energi kepada dia, rupanya ini sudah kehendak-Nya. Kita ini kan hanya menurut dan menunggu,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Sampai penyakit itu mengakhiri hidupnya, Darwis mengenang Kristupa sebagai seorang ‘pejuang fotografi’. Ada satu ungkapan yang paling melekat dalam ingatan Darwis yang pernah disampaikan sahabatnya. Ungkapan yang ia nilai sebagai komitmen atau janji batin Kristupa. Kristupa, katanya, pernah mengungkapkan akan menjadikan fotografi sebagai perjalanan hidupnya.
“Kalau kita kehilangan ya jelas kehilangan. Apalagi di Indonesia ini orang yang punya dedikasi terhadap fotografi, pejuang fotografi, ini kan jarang. Kebanyakan kan pencari kerja sebagai fotografer. Walaupun semuanya ujung-ujungnya mencari uang di sana, tapi pejuang itu jarang sekali,” kata Darwis.
“Akhirnya sampai akhir hidupnya (Kristupa) tetap menjadi fotografer. Ya itulah pengabdian hidupnya,” tutupnya.