Mengapa Masih Percaya Zodiak?

18 Juli 2019 15:52 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi zodiak Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi zodiak Foto: Pixabay
Zaman sudah berganti, tapi zodiak tak pernah mati. Well, bagi sebagian orang kepribadian memang masih misteri. Hingga akhirnya mereka menggunakan zodiak untuk mencoba menerkanya.
Pertanyaannya, apakah waktu kelahiran bisa mempengaruhi kepribadian seseorang? Misalnya, Aries dikenal sebagai ambisius atau Leo yang mudah bersosialisasi?
Dirunut dari sisi sejarah, premis pengaruh pergerakan planet terhadap watak manusia bukanlah hal baru. Masyarakat Babilonia (sekarang wilayah Irak) mempercayai hal ini ribuan tahun sebelum Masehi melalui ilmu perbintangan (astrologi).
Ilustrasi zodiak Foto: Pixabay
Dalam jurnal Psychological Reports (1990), Richard Cowe menyebut, masyarakat Babilonia mempercayai benda langit terbuat dari ‘zat surgawi’. Kemudian, planet tersebut dikaitkan dengan dewa-dewa. Sebab benda tersebut mengembara di angkasa.
Melalui pengamatan pergerakan benda langit, masyarakat Babilonia menyadari adanya orbit atau jalur pergerakan planet, bulan, dan Matahari. Orbit tersebut dijadikan acuan dalam pembagian 12 zodiak. Dalam hal ini, dengan mempertimbangkan posisi planet lainnya.
Pembagian zodiak berdasarkan tanggal lahir bisa dilihat melalui gambar di bawah ini.
Pembagian zodiak berdasarkan tanggal lahir. Foto: Getty Images
Astrologer (ahli perbintangan) percaya pergeseran posisi antar planet memberikan energi yang berbeda terhadap manusia. Energi itu kemudian bisa mempengaruhi watak dan nasib terhadap 12 zodiak.
Kepercayaan ini semakin meluas setelah masuknya peradaban Yunani pada abad ke-2 Masehi. Richard mengungkapkan, banyak astrologer diperkerjakan untuk meramal nasib baik atau dalam perang dan kampanye politik
Pengaruh Yunani ini menjadi andil besar dalam menyebarkan doktrin zodiak ke wilayah Barat dan Asia. Hingga akhirnya, banyak orang terpengaruh dengan peramalan zodiak untuk mengetahui nasib dan kepribadiannya.
Ilustrasi zodiak Foto: AFP/Nelson Almeida
Doktrin ini pun mengusik akademisi untuk mengujinya. Sayangnya, sejumlah hasil percobaan menunjukkan, zodiak seseorang tidak berkaitan dengan kepribadian. Terutama, ketika dibandingkan dengan serangkaian tes kepribadian dalam psikologi.
Salah satunya, penelitian yang dilakukan pada 1987. Sebanyak 45 astrologer dari berbagai negara dikumpulkan untuk menilai kepribadian dari 240 orang. Hasilnya, memang tidak ada korelasi langsung antara zodiak dan kepribadian. Selain itu, para astrologer juga terkesan hanya mengira-ngira dalam menentukan kepribadian seseorang.
Dengan banyaknya hasil penelitian yang negatif, astrologi dinilai bukanlah sebuah ilmu pengetahuan. Banyak ahli menyebut, astrologi lebih dekat dengan seni dan filsafat. Meski begitu, akademisi mengapresiasi temuan psikolog Prancis Michel Gauquelin (1983) yang dilakukan selama 40 tahun dengan 100 ribu partisipan.
Temuan itu mengatakan, orang dengan zodiak Aries, Capricorn, Libra, dan Cancer lebih agresif dibandingkan dengan zodiak lain. Hanya saja, hal ini hanya berlaku bagi olahragawan. Sementara, di profesi lain, belum bisa dibuktikan.
Namun, banyaknya penelitian yang membantah akurasi zodiak ternyata tidak menenggelamkan kepercayaan para peminatnya. Tesis Fullam F.A (1984) University of Chicago, menunjukkan banyak orang menggunakan zodiak untuk mencari peruntungan. Bahkan, di masa itu, orang membaca zodiak untuk mencari makna hidup.
Birth Chart zodiak dalam astrologi Foto: Pixabay
The Atlantic mengungkap, media memiliki peranan besar terhadap fenomena ini. Dari era cetak hingga online, konten zodiak menyedot banyak audiens. Bahkan, salah satu situs di Amerika Serikat, The Cut, trafik dari konten zodiak naik hingga 150 persen pada 2018.
Sementara itu, bagi generasi milenial, zodiak menjadi tren tersendiri. Laporan The Atlantic menyebut, zodiak menjadi jalan generasi milenial dalam meniti spiritualitas. Bahkan, menjadi cara baru dalam psikologi self-healing.
Tren ini tidak lepas dari kondisi psikologi milenial. Data American Psychological Association menunjukkan, milenial merupakan generasi paling stres di antara yang lain, sejak 2014. Dengan kondisi tersebut, ada kecenderungan milenial melirik zodiak sebagai alternatif penyembuhan.
Ilustrasi stres Foto: Darwin Laganzon/Pixabay
Alasan ini berangkat dari studi yang dilakukan Graham Tyson (1982) dalam disertasinya di University of the Witwatersrand, Johannesburg. Dia menyebut, orang dengan kondisi stres akan mengkonsultasikannya kepada astrologer.
Dalam praktik psikologi, Psikolog Alva Paramitha menilai, zodiak menjadi booming bagi milenial karena ada keterbukaan terhadap metode lain dalam kasus kejiwaan.
“Untuk mencari tahu, apa sih yang sebenarnya yang terjadi sehingga kita bisa melaluinya (dengan zodiak),” ungkap Alva ketika kepada kumparan, Rabu (17/7).
Alva memang tidak menampik jika citra astrologi di Indonesia masih belum bagus. “Kadang kayak ramalan karena isinya cinta dan karier,” beber Alva. Padahal, kata dia, astrologi banyak dimasukkan dalam ilmu psikologi di Eropa.