Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Mengenal Gig Worker karena Sulitnya Lapangan Kerja Formal: Ojol hingga Berdagang
21 Mei 2024 23:42 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Generasi muda kian mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan di sektor formal. Pasalnya jumlah angkatan kerja baru, tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa tahun terakhir, tren penurunan penciptaan lapangan pekerjaan di sektor formal.
Selama 2009-2014, serapan tenaga kerja di sektor formal ada sebanyak 15,6 juta. Jumlah itu menurun menjadi 8,5 juta orang pada 2014-2019, dan turun lagi menjadi tinggal 2 juta orang pada periode 2019 hingga 2024.
Direktur Research Institute Of Socio-Economic Development (RISED) Fajar Rakhmadi, mengatakan, angkatan kerja saat ini memang memiliki tantangan yang lebih berat dibanding generasi-generasi sebelumnya.
Oleh karenanya banyak dari angkatan kerja baru masuk ke sektor informal. Bahkan menurut data BPS per Februari 2024, penduduk Indonesia yang bekerja pada kegiatan informal sudah sebanyak 84,13 juta orang atau 59,17% dari total penduduk bekerja.
Fajar mengatakan, banyaknya yang masuk ke sektor informal salah satunya dikarenakan adanya ketidaksesuaian antara pendidikan atau keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan industri atau pasar tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Saat ini sebagian besar dari angkatan kerja baru banyak yang memilih sebagai gig worker atau bekerja di sektor informal seperti ojek online, e-commerce, dan lainnya.
“Gig worker memberikan alternatif pekerjaan bagi Gen Z yang sesuai dengan karakteristik generasi mereka. Fleksibilitas yang ditawarkan jenis pekerjaan ini membuat Gen Z punya kesempatan mengeksplorasi minat dan passion mereka. Hal ini terbukti dari pendeknya durasi rencana kerja mereka,” kata Fajar, Selasa (21/5).
Berdasarkan Survei Motivasi & Kesejahteraan yang dilakukan RISED mengungkap pekerja gig melihat pekerjaannya sebagai pekerja gig hanya sebagai pekerjaan jangka pendek.
Sebanyak 50% responden yang disurvei RISED berencana bekerja sebagai gig worker hanya selama 1-2 tahun lagi. Dan hanya 30% yang berencana bekerja sebagai gig worker lebih dari 5 tahun. Itu artinya, gig ini dijadikan sebagai pekerjaan alternatif sampai mereka mendapatkan pekerjaan lain yang mereka nilai sesuai dengan bidangnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Survei RISED juga mengungkap gig work tidak hanya diminati mereka yang belum bekerja, tetapi juga orang yang telah memiliki pekerjaan tetap. Sebab gig work dinilai menjadi pilihan dalam meningkatkan kesejahteraan atau tambahan pendapatan.
Ada sekitar 62% pekerja menjadikan gig work sebagai solusi dalam memperoleh tambahan pendapatan.
“Gig worker memberikan kesempatan pekerja tetap meningkatkan kesejahteraannya dari tambahan pendapatan sebagai pekerja Gig, bahkan survei kami menemukan pendapatan tambahannya rata-rata bisa sebesar 50% dari pendapatan pekerjaan tetapnya,” ungkap Fajar.
Namun kemudahan bekerja di salah satu bidang gig work yaitu ojek online sepertinya akan terkendala dikarenakan Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) akan mengatur mengenai jam kerja.
Hal itu dinilai kontra produktif dan berpotensi untuk membatasi dampak ekonomi dari pekerjaan itu sendiri. Sebab menurut Fajar, daya tarik utama pekerjaan gig yaitu aspek fleksibilitas.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya wacana pembatasan jam kerja untuk pekerja gig seperti ojek online oleh pemerintah akan berpotensi mengurangi kemampuan sektor ini dalam memberikan alternatif pendapatan yang mudah bagi masyarakat.
“Pembatasan jam kerja tentunya berpotensi membuat pekerja gig kehilangan benefit dari pekerjaan gig-nya karena kurangnya fleksibilitas. Ini tentunya berpotensi mengurangi kesejahteraan semua pekerja fig, termasuk pekerja ojol,” pungkas Fajar.