Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pengakuan Pelaku Tarung Gladiator: Demi Nama Baik Sekolah
1 Desember 2018 9:49 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:20 WIB
ADVERTISEMENT
Sore itu Jakarta terlihat tak jauh berbeda seperti hari-hari biasanya. Deru mesin kendaraan bermotor saling beradu. Rentetan bunyi klakson saling bersahutan dengan harapan mampu mengurai kemacetan yang memang sudah jadi makanan sehari-hari para warga Jakarta.
ADVERTISEMENT
Namun, Jumat sore di awal tahun 2018 itu akan jadi salah satu hari ‘yang tak terlupakan’ buat Satria (nama samaran) dalam masa putih abu-abunya.
Tak berselang lama setelah bel pulang sekolah berdering, Satria ditemani oleh beberapa orang temannya sedang bersiap untuk menuju sebuah taman di bilangan Jakarta.
Jalannya tegap dan mantap. Tatapannya fokus memindai keadaan di sekitar taman. Di satu sudut taman, langkahnya sedikit tertahan. Tatapannya tak bisa lepas dari sekumpulan pelajar dari sekolah lain yang memang sudah lebih dulu menunggu kedatangan Satria dan teman-temannya.
Bukan tanpa alasan. Kedatangan Satria dan teman-temannya ditujukan untuk menyelesaikan dendam yang terjadi antara Satria dan Rocky (nama samaran), beberapa hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Beda nama, satu makna
Tarung gladiator punya banyak nama di Indonesia. Di kawasan Jakarta, ia dikenal dengan sebutan ‘partai’. Namun jika kita bergeser ke kota Bogor, para pelajar di sana lebih mengenalnya lewat istilah ‘bom-boman’.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, apapun namanya, tarung gladiator merujuk pada satu tindakan perkelahian satu lawan satu tanpa menggunakan senjata, yang kerap dianggap sebagai 'solusi alternatif' dan menjadi fenomena di tengah pelajar SMA. Gladiator berbeda dengan tawuran, yang dilakukan secara ramai-ramai dan menggunakan senjata.
“Waktu itu, tembok sekolah gue dicoret sama sekolah A. Gue dan teman-teman enggak terima, akhirnya kita memutuskan untuk partai,” ujar Satria kepada kumparan sambil menunjukkan lokasi di mana ia melakukan partai.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa apa yang ia lakukan saat itu bukan semata-mata lantaran ketidaksukaannya pada pelajar lain di sekolah tertentu. Buat Satria dan teman-temannya, partai lebih besar dari apapun. Sebab saat itu, ia tak hanya membawa harga dirinya, tapi juga nama besar sekolahnya.
Itu sebabnya, Satria tak mau main-main dalam pertarungannya. Segudang persiapan sudah ia lakukan. Cowok bertubuh kurus ini mengatakan bahwa ia sengaja menghindari pelajaran olahraga untuk menjaga staminanya sore itu.
Tak hanya mengatur pola makan dan stamina, nyatanya, Satria juga sengaja mengikuti ekstrakurikuler bela diri di sekolahnya hanya untuk menuntaskan dendamnya.
Warisan turun-temurun
Partai yang diikuti Satria saat itu rupanya bukan satu-satunya. Ia mengaku bahwa sudah beberapa kali mengikuti kegiatan serupa. Pun dengan beberapa temannya. Sebab menurutnya, tarung gladiator sudah menjadi semacam ‘warisan turun-temurun’ di sekolahnya, bahkan digelar menjadi tradisi tahunan.
ADVERTISEMENT
"Di sekolah gue ada tradisinya. Jadi tiap tahun biasanya sekolah gue sama sekolah A atau B, dan dijalani (rutin). Gue pertama kali ikut partai emang disuruh sama kakak kelas, waktu itu gue masih kelas X. Disuruh partai dan dicari yang sepantar badannya sama gue. Jadi gue bakal partai yang emang fisiknya sama, tinggi, dan berat badan mirip," aku Satria kepada kumparan.
Meski begitu, pemicu gladiator enggak melulu tradisi sekolah. Ada pula yang disebabkan karena hal-hal pribadi, seperti rebutan cewek hingga alasan membela nama sekolah.
"Kita lagi nongkrong, tiba-tiba 'gue enggak suka, nih, sama orang ini'. Terus berkelanjutan sampai besok, dan jadi partai. Atau ya iseng aja, pengin cari nama. Istilahnya sekolah lo pengin terdengar sama sekolah lain. Kalau emang sekolah gue jago partai, ya, iseng kontak sekolah lain untuk partai. Emang sengaja biar sekolah gue dapat nama, sih," lanjut Satria.
ADVERTISEMENT
Amnesia hingga struk ringan
Satria enggak sendirian. Gopang (nama samaran), pelajar asal Jakarta, juga mengaku kerap melakukan kegiatan serupa. Alasannya sama, selain karena dendam pribadi, nama baik sekolah yang dipertaruhkan.
Melakukan duel ala gladiator bukan tanpa risiko. Satria dan Gopang paham betul sederet risiko yang menghantuinya. Wajar, mengingat ‘pertarungan jalanan’ para pelajar ini tidak dilengkapi dengan perlengkapan keselamatan dan terkadang tak ada aturan.
“Risikonya banyak, ada yang tangannya patah. Ada juga temen gue partai, dia sampai amnesia, bahkan struk ringan. Akhirnya dibawa ke rumah sakit. Banyak, deh,” kenang Gopang.
Meski begitu, seluruh risiko fatal yang menghantui Satria maupun Gopang akibat tarung gladiator dianggapnya enggak begitu penting. Sebab ketenaran dan kebanggaan yang menjadi imbalannya, telah menunggu mereka yang berhasil memenangi pertarungan.
ADVERTISEMENT
Satria mengakui, memenangkan duel gladiator membuat namanya dipandang oleh teman-teman di sekolah bahkan luar sekolah. Ia merasa dihormati, dan ditakuti lawan-lawannya yang lain.
Selain namanya terkenal, memenangkan pertarungan gladiator membangkitkan rasa patriotisme dalam diri Satria dan Gopang. Mereka bangga bisa membela nama sekolahnya, lewat operasi ‘bawah tanah’.
"Pas gue kelas 10 kalau gue partai pasti pengabdian banget untuk sekolah. Buat nama sekolah jadi naik di antara tongkrongan sekolah lain. Kalau enggak ikut partai gue juga merasa enggak enak banget sama teman-teman. Soalnya mereka sudah membela sekolah sampai bonyok. Tapi di kelas 11 dan 12, gue mikir itu hal yang sia-sia, sih," pungkas Satria.
Gopang setuju dengan Satria. Ia enggak masalah sekolah enggak memberikannya penghargaan atas pembelaan yang dilakukan. Karena yang terpenting, ia membulatkan tekad untuk maju melawan.
ADVERTISEMENT
"Sekolah enggak tahulah pengorbanan gue. Sekolah gue dikatain, diejek, gue yang bela. Bangga, sih, pasti gue sebagai anak tongkrongan. Walaupun banyak negatifnya juga," ungkap Gopang.
Buat Satria dan Gopang, tarung gladiator atau partai mungkin dirasa jadi satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah antarsekolah. Padahal, di luar itu, masih ada banyak hal lain yang bisa mereka lakukan, untuk tetap menjaga ‘pride’ sekolah, salah satunya adalah adu prestasi dengan menggelar pentas seni atau pensi.
Sebab, atas dasar apapun, sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang nyaman untuk mendukung proses belajar mengajar. Bukan malah jadi arena duel para pelajar, sekaligus melanggengkan warisan belajar menghajar. Haruskah menunggu sampai ada korban lagi hanya untuk meneruskan tradisi barbar?
-------------------------------------------------
ADVERTISEMENT
Simak ulasan lengkapnya di kumparan dalam topik Warisan Belajar Menghajar .