Pengamat soal Lulusan SMK Banyak Menganggur: Gurunya Tidak Ada

21 November 2018 17:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siswa SMK di tengah pelatihan. (Foto: Fiqman Sunandar/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Siswa SMK di tengah pelatihan. (Foto: Fiqman Sunandar/Antara)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam sambutannya di Seminar Hubungan Industrial Kompetensi Lulusan Politeknik di Era Revolusi 4.0 di Jakarta (19/11), Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, kecewa dengan performa lulusan SMK yang menyumbang paling banyak persentase pengangguran di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SMK (dulunya) jadi andalan malah (kini) jadi penyumbang tertinggi (pengangguran)," kata Hanif.
Menanggapi fenomena ini pengamat pendidikan, Muhammad Ramli Rahim, melihat bahwa masalah utama pengangguran SMK itu berakar dari para guru. Menurutnya, guru di SMK jumlahnya tidak mencukupi untuk mengajar mata pelajaran produktif.
“Di SMK mata pelajaran itu ada tiga, adaptif, produktif, dan normatif. Di SMK ada mata pelajaran produktif yang sifatnya keahlian. Nah, guru-guru keahlian ini tidak ada di sekolah-sekolah itu, kalaupun ada jumlahnya sangat kecil,” terang Ketua Ikatan Guru Indonesia itu.
Pria yang akrab disapa Ramli itu menyebut Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) atau kampus para guru juga berperan terhadap minimnya guru yang bisa mengajarkan keahlian di SMK.
ADVERTISEMENT
“LPTK ini tidak menyediakan guru-guru produktif. Misalnya begini, pernahkah kita mendengar ada sarjana Pendidikan Pertanian, sarjana Pendidikan Peternakan atau Teknik Mesin? Kan, tidak pernah mendengar yang seperti itu,” ujarnya.
Karena minimnya guru yang bisa mengajarkan keahlian praktis kepada para siswa, akibatnya SMK sering terpaksa menunjuk guru tertentu untuk mengajar keahlian ganda.
“Bagaimana caranya kemudian guru Bahasa Indonesia disuruh jadi guru Teknik Mesin, guru Bahasa Inggris kemudian jadi guru Teknik Elektronika? Kan, jadi lucu karena dasar ilmu mereka jauh,” terang pria yang juga guru SMK itu.
Pabrik kelistrikan milik PT ABB Sakti Industri di Tangerang. (Foto: Abdul Latif/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pabrik kelistrikan milik PT ABB Sakti Industri di Tangerang. (Foto: Abdul Latif/kumparan)
Maka dari itu Ramli mewajarkan jika Hanif menyebut bahwa SMK menjadi penyumbang pengangguran tertinggi. Pasalnya, selama tiga tahun belajar para siswa SMK tidak mendapat porsi pendidikan keahlian yang cukup.
ADVERTISEMENT
“Solusinya kalau pemerintah mau serius ngurusi pendidikan, siapkan gurunya betul-betul ahli. Baik ahli di bidang yang diajarkan maupun ahli di bidang pengajarannya. Siapkan guru yang betul-betul ahli dalam mata pelajaran produktif,” tutur Ramli.
Jauh dari industri
Selain menyoroti soal ketiadaan guru keahlian, permasalahan lain yang membuat lulusan SMK banyak menganggur menurut Ramli adalah jauhnya SMK dari industri penyerap lulusan.
“Jadi apa yang dipelajari di sekolah itu ketinggalan dibanding di Industri. Pendekatan teknnologi ada tetapi selalu ketinggalan,” jelasnya.
Ramli bercerita soal contoh SMK yang ideal di Sulawesi Barat. SMK tersebut dibangun di tengah-tengah perkebunan sawit. Segala kurikulum dan pengajaran di SMK itu disesuaikan dengan perkembangan industri sawit yang ada di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
“Sehingga hampir seratus persen alumninya terserap ke industri sawit itu. Ya, karena memang sekolah itu dibina oleh industri sawit tersebut,” jelas Ramli.
Ketua IGI tersebut menyayangkan kebanyakan SMK di Indonesia dibangun tidak disesuaikan dengan potensi industri yang ada di sekitarnya. Industri tersebut, kata dia, juga tidak diwajibkan menampung para lulusan SMK.
“Karena pemerintah tidak memberikan beban kepada industri. Harusnya industri diberikan kewajiban untuk membina sekolah (dan menyerap lulusan) SMK,” pungkasnya.