Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
QnA Peneliti Media Ross Tapsell soal Milenial dan Politik di Indonesia
30 Januari 2019 19:31 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:18 WIB
ADVERTISEMENT
Dalam wacana media, generasi milenial kerap dianggap sebagai generasi anak muda yang suka foya-foya. Mereka suka travelling hanya untuk mengisi feed Instagram supaya cantik. Soal politik pun apatis, karena dianggapnya itu urusan orang tua. Mereka rata-rata adalah kelas menengah yang sudah mengecap bangku pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun semua wacana itu dibantah oleh seorang dosen Asian Studies dari Australian National University (ANU) bernama Ross Tapsell. Dalam diskusi politik milenial From Vlogs to Votes yang diselenggarakan Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan (29/1), Tapsell mempresentasikan temuannya tentang milenial.
“Bahkan jika kita lihat datanya di Jakarta hanya 10 persen milenial Indonesia sudah selesai S1. Lebih banyak milenial kira-kira 15 persen hanya selesai atau belum selesai SD, sebenarnya,” kata peneliti yang fokus pada isu media tersebut.
Menurut survei yang dilakukan oleh ANU, sebagaimana dikatakan Tapsell, 50 persen responden milenial bahkan hanya makan dua kali sehari. Sebab, separuh dari generasi milenial ternyata kesulitan dalam hal keuangan
Mendekati pemilu yang akan digelar April 2019 mendatang, sebenarnya bagaimana, sih, geliat milenial dalam politik menurut peneliti dari Australia satu ini. Yuk, kita tanya-tanya!
ADVERTISEMENT
Apa yang kamu sanggah dari anggapan mengenai generasi milenial di Indonesia?
Aku bakal mengatakan kalau penting bahwa kita berpikir milenial dari rentang umur 17-35 tahun enggak semua aktif secara online, punya ponsel pintar, menggunakan berbagai aplikasi, atau menggunakan laptop.
Pada faktanya ada proporsi besar milenial yang sangat miskin, terus ada cewek milenial yang tinggal di rumah dan mengasuh anak, dan mereka semua enggak semua aktif di ekonomi digital.
Aku enggak mengatakan bahwa media online enggak penting (bagi milenial) tapi yang kukatakan adalah ada kelompok besar milenial yang enggak aktif secara online yang mana kita selalu abaikan.
Berarti apakah penggambaran milenial saat ini itu salah?
Menurutku (istilah milenial) terlalu dilebih-lebihkan karena kita enggak bicara milenial itu sebatas anak Jakarta Selatan (Jaksel), urban, suka travelling ke luar negeri, aktif dalam ekonomi digital seperti memakai Go-Food, pakai Instagram.
ADVERTISEMENT
Menurutku ada banyak proporsi dari anak muda Indonesia yang hidup di kampung, hidup di kota, yang baru saja memakai internet and mungkin cuma pakai WhatsApp atau Facebook. Dan anak-anak muda itu enggak terlalu aktif Twitter atau Instagram yang biasa kita anggap suka dipakai milenial.
Bagaimana para capres bisa menarik hati para milenial?
Aku enggak berpikir mereka melakukan hal yang spesifik untuk menggaet suara milenial. Seringkali itu adalah apa yang media buat tentang adanya rencana (spesifik) tersebut. Dalam banyak hal Jokowi dan Sandiaga sangat populer di antara kalangan milenial karena mereka memang (berumur) muda.
Menurutku mereka enggak perlu memiliki kebijakan yang mengkhususkan beberapa hal untuk milenial. Mungkin saja kita bisa bicara Sandiaga populer dalam bidang kewirausahaan, di program OK Oce. Meskipun begitu, mereka melakukan kebijakan sebenarnya enggak akan berpengaruh banyak pada kelompok milenial ini.
ADVERTISEMENT
Kita harus berpikir bahwa milenial itu dibagi dalam beberapa grup, dan kita bicara perbedaan kelas (sosial) ketimbang perbedaan umur saat ngomongin soal suara milenial.
Menurutmu apakah penggunaan istilah milenial adalah upaya untuk mengonstruksi suatu generasi?
Iya. Dan menurutku penggunaan istilah ini menyesatkan ketika menaruh semua orang dalam satu kelompok besar yang sama. Padahal kenyataannya generasi ini beragam dalam hal pendapatan, akses kesehatan, pendidikan, dan keyakinan tentang apa yang mereka inginkan terhadap presiden atau partai politik .
Kita enggak bisa menaruh milenial dalam satu kelompok besar dan mengatakan ‘ini adalah masa depan Indonesia dan ini adalah apa yang Indonesia inginkan (ke depan)’. Malahan setiap milenial memiliki banyak keinginan berbeda.
Mengapa kamu bilang kalau milenial ini adalah sebuah konstruksi sosial?
ADVERTISEMENT
Banyak orang membicarakan mengenai suatu generasi, dan dalam literatur akademik media studies, kita bicara ada Gen Y atau milenial. Ada semacam generalisasi yang bisa dibuat. Akan tetapi masalahnya ketika kita bicara milenial di Indonesia, kita seringkali menganggap mereka sebagai anak muda urban, kelas menengah, atau bahkan Jaksel dan faktanya itu enggak mewakili seluruh milenial.
Bagaimana, sih, membuat milenial lebih peduli sama politik Indonesia?
Menurutku milenial sudah peduli dengan politik, dan menurutku enggak ada perbedaan tentang apa yang milenial tahu mengenai politik dengan apa yang diketahui orang tua mereka. Menurutku itu semua bergantung pada situasi anak muda masing-masing.
Menurutku, untuk lebih peduli tentang politik, generasi milenial butuh lebih banyak program literasi digital karena mereka tumbuh di era (digital) seperti ini.
ADVERTISEMENT
Kembali pada tahun 2013, pemerintah SBY mengganti mata pelajaran Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) dengan Agama sehingga TIK dihilangkan dari kurikulum. Menurutku masalahnya di situ untuk generasi milenial. Kita butuh mata pelajaran TIK di sekolah.
Apakah kamu menganggap bahwa istilah generasi milenial itu mitos?
Bukan istilahnya yang menjadi mitos. Akan tetapi ada mitos di mana milenial digambarkan anak muda urban, kelas menengah dan itulah yang merupakan mitos.
Selain itu, terkait suara generasi milenial di politik , itu juga mitos. Anggapan bahwa milenial itu sama adalah salah. Milenial Tegal, Cimaja, Pangandaran, beda dengan milenial Bandung, bahkan dengan anak muda Jawa Barat secara umum.