Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
Sherina Redjo harus kerja ekstra bersama band-nya, Temarram. Ia dan teman-temannya harus berjibaku dalam membuat lagu, memproduksi, mendistribusikan, hingga mempromosikannya sendiri. Maklum, Temarram adalah band indie atau skena beraliran post-punk, dan tentu saja tak label besar yang menaunginya.
ADVERTISEMENT
"Band gua kan memang indie, indie kan lagi-lagi artinya band tanpa label atau independent. Gua gak punya label, gua gak punya manajemen untuk membantu promosi musik gue. Jadi dengan adanya gigs membantu banget dengan musik-musik yang gue buat," jelas Sherina kepada kumparan, Selasa (26/7).
Menurut Sherina, dirinya habis belasan juta untuk memproduksi sebuah mini album. Namun, kata dia, itu tergantung lagi dengan dapur rekaman yang ia pilih. Praktis, ia dan teman-temannya pun harus putar otak. Salah satunya dengan jualan merchandise berupa kaos band.
Persoalannya, ada sebagian orang yang disebut sebagai polisi skena. Mereka ini biasanya mempertanyakan apakah si pengguna kaos tahu atau tidak dengan judul lagu band tersebut. Dan ini adalah fenomena umum yang biasa ditemui di komunitas skena.
ADVERTISEMENT
"Gua lumayan risih sama orang yang bilang poser-poser atau polisi-polisi skena. Misal, orang tuh pakai baju band apa, terus gak tau lagunya dibilang poser. Menurut gue, soal pandangan kayak poser-poser gitu, kenapa sih harus diribetin, karena memang gak semuanya orang itu penikmat musik," kata Sherina
Nah, poser sendiri adalah orang yang tak memahami betul soal kaos band yang dikenakan. Biasanya, poser adalah orang yang ikut-ikutan dengan hype, tanpa tahu lagu dari kaos yang mereka gunakan. Mereka inilah yang kemudian 'diserang' oleh polisi skena.
"Mungkin dia memang penikmat desain grafis merchandise-nya itu, jadi banyak cara ngedukung band-band lokal, gak cuman dari lirik musiknya aja, dengan beli merch-nya juga lo termasuk mendukung. Kalau lo gak tau lagunya ya gapapa, kita sebagai band yang memang masih kecil, band lokal yang merintis kita bersyukur banget udah dibeli merchandise-nya. Jadi gak perlu dibilang poser atau gimana kalau gak tau lagunya," tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Reki, penikmat skena musik independen. Ia risih dengan sebutan poser hingga polisi-polisi skena yang dinilai membatasi dirinya.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya agak risih ya, tapi yaudah namanya ikuti zaman. Terus memang kan misalnya beli kaos tertentu, aku gak pernah dengerin lagunya, tapi aku suka artwork-nya, juga sebetulnya gak masalah. Kalau polisi skena itu kan 'sebutkan tiga lagu dari band ini, atau memang kamu dengerin band ini?' Itu kan seperti membatasi. Emang beli kaos harus dengerin (lagunya) dulu?," tukas Reki.
Dosen filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Syarif Maulana, melihat penggunaan atribut (misalnya melalui kaos band atau grafis), menjadi cara dalam membentuk identitas kultural skena.
"Jadi itu lumrah ketika ada orang yang merasa eksklusif dari skena atau merasa skena itu eksklusif. Karena memang begitu natural skena (sebagai komunitas), mereka harus menguatkan diri mereka sebagai kelompok, ya biar enggak banyak orang juga, mereka (yang ingin gabung) difilterisasi," kata Syarif.
Persoalannya, kata dia, skena juga harus terbuka dengan perubahan. Mereka harus menyadari bahwa dunia sudah berubah.
ADVERTISEMENT
"Itu yang bikin skena itu bisa lebih diterima. Jadi menurutku kalau sifat eksklusif harus sih kalau skena ya, tapi mereka enggak boleh cuma kayak membeku ya di masa lalu gitu," pungkasnya.